Rest In Peace Ecca!

(Abba, Ecca, Anak dan Cucu, serta cicit)
Ecca, begitu semua anak dan cucu memanggilnya. Panggilan itu punya cerita kata Ibunya maha, tapi aku tak begitu ingat lagi asal muasal nama panggilan itu. Tapi sejak nenek buyutnya maha itu pergi ke tanah suci beberapa tahun lalu, panggilan Puang Aji juga menjadi sering kami dengar saat seseorang memanggil atau menyapanya. Dan semua cicit-cicitnya termasuk maha diajar untuk memanggil nenek buyutnya itu dengan panggilan Puang Aji. Meski kadang-kadang kalau keisengannya sedang kumat, maha seperti orang dewasa juga memanggil neneknya itu dengan panggilan Ecca
Iya, Ecca adalah nenek dari Ibunya maha. Ia memiliki sembilan orang anak. Tiga orang perempuan dan enam orang laki-laki. Mama, panggilan kami untuk nenek maha dari Ibu Nhytha, adalah anak pertama dari kesembilan bersaudara itu.  Enam orang berdomisili di Bone sementara yang lainnya di Makassar dan Jakarta.
Sejak bergabung menjadi bagian di keluarga ini, Ecca adalah bagian tak terpisahkan dari Abba. Abba adalah suami Ecca yang lebih dulu menghadap Sang Maha Segala tiga tahun lalu. Mereka berdua adalah pasangan yang tak terpisahkan. Menurut cerita Ibunya maha dan yang sempat kusaksikan, mereka berdua memang tak pernah berpisah. Kemana pun Abba pergi Ecca pasti menemani. Kecuali saat Ecca mulai sakit-sakitan. Ecca bermasalah dengan tulangnya yang membuatnya susah berjalan sehingga sejak sebelum Abba meninggal ia sudah menggunakan kursi roda. Kata Ibunya Mahatma, penyakit itu karena Ecca melahirkan begitu banyak anak dan begitu banyak zat kapurnya yang terbuang. Kalau tak salah begitu.
Seperti yang kubilang, Ecca begitu tergantung dengan Abba. Saat sakit, ia selalu bisa tenang setelah di jappi, pengobatan dengan menggunakan ayat-ayat suci. Abba memang sangat terkenal dengan kemampuan spiritualnya itu. Bahkan saat maha masih begitu kecil, kalau ia tak bisa tidur dan menangis tak henti-hentinya dan meraung-raung maka kalau kebetulan Abba ada di rumah di Bone maka Abba akan membacakan sesuatu dan mengelus bagian tubuh maha dan sekejap si kecil akan tertidur pulas.
Karena ketergantungan itu, kepergian Abba tiga tahun lalu membuat Ecca begitu terpukul. Paling tidak begitu yang kuamati. Abba meninggal setelah sebuah kecelakaan sepulang dari menunaikan shalat magrib di masjid yang tak begitu jauh dari rumahnya di Kecamatan Cina, Bone. Ecca yang memang sudah sakit-sakitan saat Abba masih hidup seingatku tak pernah lagi betul-betul ceria. Kehilangan yang sangat amat seolah menggelantungkan kesedihan yang tak terkira. Saat sakit mulai menyerang, Ecca selalu berujar dengan bahasa bugis yang kira-kira artinya “kalau ada Abbamu pasti dijappi-jappi ka’.”  Makanya sejak Abba tak ada, selain “orang pintar”, orang di rumah menjadi pa jappi-jappi. Bahkan tak jarang saya juga disuruh untuk membacakan sesuatu untuk Ecca kalau sedang sakit tapi saya tak begitu percaya diri hingga tak pernah kulakukan.
Sejak Ramadhan kemarin, Ecca dipindahkan dari Cina (di Bone loh..) ke rumah di Watampone karena tak ada yang bisa menjaganya di siang hari. Sejak itu seingatku Ecca lebih sering di tempat tidur. Apalagi saat terakhir saya balik ke Bone kondisinya semakin parah. Ia sudah tak begitu ingat lagi dengan zikir-zikirnya. Bahkan saat saya mengimaminya shalat, biasanya shalat magrib, ia selalu tak menyelesaikan shalatnya. Dan yang lebih sedih lagi, Ecca tak begitu mengenal kami lagi bahkan anak-anaknya sendiri.
Saya sendiri merasa paling bermanfaat untuk Ecca karena selalu menjadi satu-satunya orang yang dipilihnya menjadi imam shalat magribnya. Ya iyalah, di rumah hanya ada dua laki-laki. Kakeknya maha yang selalu memilih shalat magrib di masjid dan saya yang selalu ditegur Ibunya maha karena selalu malas ke masjid shalat khususnya magrib. Tapi ajakan untuk menjadi imam tak serta merta membuatku beranjak dari depan tivi. Butuh beberapa menit untuk beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, itu pun setelah panggilan menjadi imam biasanya dari neneknya maha sudah berkali-kali. Saya yang sering bergerak seperti siput kemudian dijuluki Imam Lelle (alias lambat).
Suatu saat, setelah shalat magrib Ecca dengan bahasa bugis yang tak begitu kupahami karena suaranya yang begitu pelan meminta agar saya memaafkan kesalahannya. Ia juga meminta maaf karena sering menyuruhku menjadi imam, itu dilakukannya karena ia sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Huh, saya yang selalu melankolis dengan hal-hal beginian berusaha menyembunyikan pilu yang mendalam dengan tertawa ringkih dan mengiyakan. Meski dalam hati saya begitu menyesal karena selalu lambat kalau disuruh menjadi imamnya Ecca. Padahal yang disuruhkan ke saya kan hal baik.

Sore kemarin, saat sedang santai bersama teman-teman di kosan, telpon di ponselku bordering. Suara laki-laki terdengar setelah kusapa, “oo, kita K’ Bobhy, saya kira Nhytha.” Itu dari Udi, adik Ibunya maha. Firasatku sudah tak enak. Tak lama berselang ponselku kembali berbunyi dari screen kuliat nomor Puang Maryam, tante Ibunya maha. Tak biasa ia menelponku. Saat kuangkat, sambil tersedu suara yang kemudian kutau itu Ana mengkhabarkan, “Ecca nda ada mi K Bobhy.” Kutarik nafas panjang. Innalillahi Wainnailahi Rajiun. Ecca berpulang ke Sang Maha Segala kemarin sore setelah koma sejak dua hari yang lalu.

Ecca meninggal saat kesembilan anaknya beserta cucu-cucu dan cicit-cicitnya berada begitu dekat dari sisinya.

Selamat Jalan Ecca. Rest In Peace, We All Miss You!

Jogja, 29 Januari 2012

Komentar

Postingan Populer