Bersama Playlist Bone-Makassar….

Suara Giring menjemputku dalam mobil ini, mobil panther milik perwakilan Pak Rahman, sopir Bone Makassar yang sudah kukenal sejak jaman kuliah dulu. Yah, malam ini aku berangkat menuju Makassar, kali pertama tanpa maha sejak tiga tahun lalu. Terasa berbeda, kali ini aku tidak perlu memangku anakku dan berusaha menenangkan tidurnya, mencegahnya agar tidak muntah sepanjang perjalanan yang berliku. Entahlah, sore tadi saat kutahu ia sudah berangkat duluan tiba-tiba aku merasa kehilangan. maha tidak pernah betul-betul kutinggalkan dalam kurun waktu yang lama.
“maha tidak nangis?” tanya kami berkali-kali meyakinkan. Ia mengangguk pasti dan setuju berangkat ke Makassar bersama bapa bebi, mama dan maminya. Aku harus mengisi kelas sampai sore dan baru bisa meninggalkan Bone setelah magrib. Jadilah, malam ini aku ditemani playlist lagu-lagu pilihan Pak Sopir. Bersamaku dalam mobil seorang ibu muda yang belakangan kutahu masih seumur Ana, membawa bayi kecilnya berumur 4 bulan. Sendiri. Mobil melaju menuju perwakilan Pak Rahman. Seseorang kulihat, bertubuh kurus, dengan stelan hitam menunggu di depan. Aku pikir, dia salah satu penumpang. Lama, dan bisa kutebak kalau dia yang akan membawa kami malam ini.
Dia membuka pintu, masuk ke mobil dengan tidak bersemangat. Dia hanya membawa dua penumpang, aku dan perempuan tadi. Seperti biasa, saat aku mengendarai mobil, aku harus  tahu betul karakter sopir dalam membawa mobilnya. Sebuah usaha yang nihil, maksudku toh penilaianku tidak bisa merubah apa-apa. Dia tetap akan membawa mobil ini dengan caranya. Sopir ini masih kelihatan sangat muda, seperti sopir lainnya ia berusaha membuka pembicaraan. Perjalanan bisu sekian ratus kilometer tentunya sangat membosankan, jika kami yang minim ini hanya berdiam diri. Tapi sayang, usahanya tidak begitu berhasil, kami berdua hanya sesekali tertawa tanpa satupun kata  yang keluar dari mulut kami untuk menimpali cerita si sopir tentang temannya yang minggu lalu menabrak seorang pengendara motor dan naasnya pengendara itu mati di tempat. Akku yang biasanya lumayan cerewet dan suka bertanya, kali ini memilih diam apalagi efek antimo terasa mulai bekerja. Tapi untuk langsung tertidur, aku membutuhkan hatiku untuk meyakinkan diri kalau si sopir telah piawai menaklukan tikungan-tikungan sepanjang perjalanan ini. So far…caranya membawa mobil menurutku aman. Seperti sopir muda lainnya, kecepatan selalu dia atas 80 km/jam. Tapi, ia pandai meliukkan mobilnya dengan cantik dan tidak membuat kami penumpangnya maju mundur. Aku siap tertidur…
Usahaku tertidur terhalang lagu yang tiba-tiba ia putar lewat usb hpnya dengan volume yang agak keras. Ia memulai playlist dengan lagu religinya Ungu yang kulupa judulnya. Ia berdendang bersama suara ungu dan suaranya menurutku bagus. Perjalanan masih jauh, sesekali ia mengomel sendiri mengomentari setiap mobil yang melewatinya. Mulai dari merk mobil, atau aksi si sopir yang menurutnya tidak keren. Musik masih berputar, lagu-lagu Ungu, D’ Massive silih berganti. Dan aku tiba-tiba tidak ingin tertidur. Kunikmati setiap lagu yang ia suguhkan lewat sound mobil dengan volume yang cukup keras. Biasanya..saat seperti ini aku juga akan berdendang dan tidak peduli dengan sekitarku. Tapi sayang…setelah beberapa lagu D massive mengalun, aku mulai tertawa sendiri di belakang. Lagu-lagu yang Sopir putar, lagu yang sama sekali tidak pernah kudengar, dengan lirik seadanya dan irama seperlunya, tiba-tiba lagu itu memergoki telingaku. Aku menggeleng mendengar setiap lirik yang keluar dari suara beberapa penyanyi yang juga tak bisa kutebak siapa.
Berjamurnya band baru dan mudahnya mengakses musik membuat kita tidak lagi bisa membedakan banyak suara yang muncul. Dan perjalanan belum lagi seperdua jalan, dan lagu-lagu ini memenuhi telingaku. Aku cukup tahu banyak band-band yang memenuhi tangga musik Indonesia a la dahsyat, inbox yang kebanyakan mengalun dengan mendayu, tapi lagu-lagu ini lebih parah mendayunya. Dari belakang, kuperhatikan sopir menikmati semua lagu yang ia putar. Bahkan menghapalkan semua liriknya.
Dari band-band mendayu, tiba-tiba list lagu berpindah ke gendre dangdut. Aku lebih memilih ini, toh mereka lebih jujur, transparan mengakui kedangdutannya. Hehehe..dan aku memang penggemar music ini. Sayangnya stok lagunya tidak banyak dan mulai berganti dangdut mix. Music a la Dj yang dipadu dengan music dangdut. Beberapa lagunya kukenal, beberapa lagu lama lagunya Roma Irama, lagunya Riita Sugiarto,dan Evi Tamala. Jalan mulai meliuk menyusuri ujung Kecamatam Lapri. Musik berubah, masih dangdut, ditemani Cinta satu malamnya Melinda dan beberpa lagunya yang lain. Dan di sela-sela lagu dangdut tersebut, tiba-tiba muskc kudengar irama yang sangat kukenal. Lagu Kasih Jangan Kau Pergi milik Bunga, yang digawangi anaknya Iwan Fals, Galang. Aku baru ingin bernyanyi sambil bernostalgia mengingat Rusdin, sahabatku yang sering menyanyikannya dengan iringan gitar. Tiba-tiba, jari-jari sopir lincah menekan tape dan mengganti ke lagu yang lain. Hmmm..aku menggeleng, ternyata ada juga orang yang tidak menyukai lagu ini. Menyusuri perbatasan Bone Maros, musik mengalun lirih, beberapa lagu bugis yang menyayat menemani perjalanan kami. Tiba-tiba sebuah truk menghalang jalan kami. Sebuah bus menghadang di depan dan mobil kami yang kecil ini stuck. Jalan yang penuh tikungan dan sempit membuatku berpikir kami akan menghabiskan malam di sini. Tapi tidak, seorang laki-laki bertubuh besar tiba-tiba dengan sigap mengatur laju. Kami terbebas. Tiba-tiba tanpa kami sengaja, pembicaraan mulai terbuka. Aku juga tiba-tiba meladeni cerita Sopir tentang banyak hal. Dalam ceritanya, dia meyakinkanku kalau pengalamannya membawa mobil tidak boleh dilihat dari usianya. Ia sudah menjadi supir Bone Makassar sejak usia SMA. Pembicaraan terhubung, lagu-lagu mulai tersingkir dari telingaku.
Aku tersentak saat kulihat sopir sudah ada di mobil dan siap melaju lagi setelah mengsi kampung tengah. Ia membuka pembicaraan tapi ngantukku betul-betul meraja. Sayup-sayup kudengar musik di putar lagi. Jamal Mirdad, Ayu Tingting, dan satu lagu dangdut yang belakangan ini marak kudengar “kuhamil duluan, sudah 3 bulan” Pak Sopir mengulang lagu itu berkali-kali hingga kuterlelap tidur bahkan tidak melihat seksinya rute Camba yang selalu buat pening. Aku terbangun sedikit, mataku mencoba mengenali ormen di sekitarku, sebuah jembatan dekat mesjid, menandai Bantimurung, Maros, sebentar lagi Makassar. Lagu The Wind of Change nya White Lion mengalun, kudengar sang sopir menyanyi bersama. Aku berusaha membuka mata. Lagu-lagu India berhasil membuat kantukku pergi. Aku tersenyum lagi, saat kulihat dan kudengar si Sopir mngalunkan lagu India dengan sempura. Mirip Briptu Norman, lucunya setelah menyanyikan lagu, ia akan menyebut judul film India dari lagu itu. hehehe..penggemar Bollywood rupanya. Lagu Gabi,  Gomblo, mengalun pelan menjemput Makassar. tidak sadar, aku sudah berada di depan kompleks.
Aku turun dengan senyum dijemput komrad. Aku tersenyum pada Sopir, mobil melaju pergi. Aku berterima kasih padanya, mengantarku dengan selamat dan menyuguhkan malam penuh playlist lagunya. Dan kalian tahu, aku bisa mengenalnya lewat lagu yang ia putar. He is a nice guy. Btw, jangan sangka daya ingatku kuat, semua lagu itu kucatat di ponselku. Hahaha, demi menulis kisah semalam.

Ibu Mahatma
Makassar pagi….
13 Januari 2012

Komentar

Postingan Populer