...terjadi begitu saja..


Aku percaya betul dengan firasat seorang ibu. kini pun aku merasakannya. Saat aku mersakan resah, selalu ada-ada saja yang terjadi pada mahaku. Dan kejadiannya selalu buruk bahkan berbahaya untuk keselematannya.
Kemarin, saat ke Makassar mengantar papa bebinya ke Jogja, maha mengalami kecelakaan kecil. Malam itu, seperti biasa saat kami sekeluarga berada di Makassar. Waktu yang sedikit di akhir pekan, diharapkan bisa diisi dengan semua hal yang telah direncanakan. Dua prioritas utama, jalan-jalan dan ketemu keluarga. Malam itu, setelah seharian maha dan aira kami boyong ke kampus lalu kami puaskan dahaga maha di TimeZone, kami tidak juga merasa lelah. Dua bocah itupun demikian. Magrib datang, dan setelah berembuk, kita semua sepakat menjemput dede Safwa. Seperti biasa, kita semua bergegas, bersibuk-sibuk ria. Rumah yang kecil di BTN Pesona Kampus di Makassar sana bertambah sangat menghimpit saat semua keperluan dibenturkan, saling senggol, saling teriak, saling tegur. Dan hiruk pikuk seperti ini selalu tetap membuatku aman, karena banyak mata yang memperhatikan maha.
Tapi ternyata, tidak malam itu. Setelah maha bersiap pergi, aku baru saja hendak memakai jilbab. aku baru selesai dengan tetek bengek “mendandani” maha yang selalu berakhir tangis di saat seperti ini. Dia selalu begitu hiperaktif dan sangat sulit diajak bergegas, dan akhirnya lagi. Ia menangis sebelum berangkat. Suasana hatinya yang kacau membuatku gusar. Entah karena apa. Tapi, semua kutampikkan mungkin karena aku terlalu lelah. Semua orang sudah berteriak saling memanggil, karena satu keluarga ini akan berangkat. Tapi, belum sempat jilbab kusematkan, kudengar
“K Bobi, maha..maha..jatuh” suara Tiana terdengar. Aku tidak terlalu pusing, maha toh biasa terjatuh. Tapi saat kudengar, tangis maha histeris, aku tahu, ini parah. Aku berlari keluar, Bapak Bebi telah mengangkatnya dan seluruh badannya basah, kepalanya seperti sudah diguyur hujan. Dia jatuh di got depan rumah. Got yang kecil, sempit dan air yang dangkal, tapi seluruh badan, kaki hingga kepala maha seperti tersiram goot. Dengan cepat, kubuka baju dan celana maha, kuangkat ke WC. Kubersihkan seluruh badannya dengan rasa marah, gusar, jengkel terhadap diri sendiri, kenapa begitu tidak becus menjaga maha. Dan lama kupikir, aku telah berfirasat akan itu sejak sibuk2 tadi.
Beberapa hari yang lalu, rasa itu juga sama. Aku betul2 gusar, tidak ada satu alasan pun. Aku bersama maha menuju sekolah mama. Kebetulan dede Aira sedang di sana dan karena maha bangun kesiangan, dia tidak ikut. Ia berkeras ke sana, aku mengantarnya. Sepanjang perjalanan, maha berceloteh seperti biasa. Tentang semua yang ia lihat di sekelilingnya. Perjalanan kami lalui dengan santai, tertawa, dan bercerita. Motor telah berhenti di depan gerbang mesjid, sekolah mama kebetulan satu pagar dengan mesjid besar di kompleks ini. Maha kuperbolehkan turun, dan sebelah tanganku memegang lengannya yang sedang meraih permen di depan motor. Tapi, entah karena maha kehilangan keseimbangan mungkin, tangannya tiba-tiba berpegang pada gas. Dan tak lagi bisa kukontrol, motor berjalan, dan aku tidak bisa menekan rem. Maha terjatuh dari motor, kutabrakkan motor di tembok demi tidak menggilas dua anak kecil seumuran maha di depanku yang sedang bermain. Dan usahaku berhasil. Pikirku langsung pada dua anak yang sudah terjatuh di depan motorku, kulihat tidak ada yng luka dan berdarah, baru dua detik kudengar maha berteriak.
“ibuuuu” astaga, aku baru ingat kalau tadi dia terjatuh. Kompleks seketika ramai mengerumuni kami. Maha menangis karena kaget mungkin, lama..baru ia pulih. Tak kutemukan luka saat itu, ternyata dadanya dan pipinya bengkak sedikit. Tapi, maha ok. Katanya
Dan aku merasakan resah yang sama. Lagi
Siang tadi, pun rasa itu tiba-tiba kurasakan. Saat ia meraung-raung menangis meminta untuk ikut. Tapi karena ada kelas di Bajoe dan itu lumayan jauh, rasanya lebih tidak adil pada dia dan pada siswaku. Karena jika sudah bosan, maha pasti minta pulang. Aku pasti tidak akan pulang sebelum jam mengajar selesai, tapi artinya, aku tidak akan konsen mengajar mereka. Aku pergi dengan rasa resah yang sama. Pikirku, itu hanya karena aku kasian mendengar tangis maha. Semua berjalan seperti biasa. Lancar..dan hujan turun menemaniku pulang ke rumah.
Aku baru mengguyur wajahku dengan air wudhu saat kudengar mama berteriak memanggilku.
“anakmu hampir buta” katanya dengan Bahasa Bugis. Aku kaget. Kenapa? Tanyaku. Mama bercerita langsung di TKP. Ia bercerita bahwa karena menangis, maha minta diayun. Karena mama mungkin sudah kewalahan, dan lelah entah bagaimana kejadiannya, mata maha tersangkut di besi ayunan. Syukurnya, besi itu tidak langsung mengenai bola matanya, hanya kelopak mata bagian mata atas yang kini bengkak. Aku menghadap Sang Maha dengan resah. Tidak sabar melihat mata maha yang bengkak.
Aku menuju jagoanku yang sedang telanjang bulat. Dia begitu bersemangat, seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Mata kirinya bengkak, dan sedikit luka. Saat kutanyai, maha berlari dan myakinkanku kalau dia baik-baik saja. Dia selalu begitu. Melihatnya berulah dan membuat semua orang tertawa dan bahagia, aku tiba-tiba teringat. Aku merasakan rasa itu lagi.
Yah.., aku merasakan saat maha akan mendulang bahaya. Tapi, aku tidak kuasa mencegahnya, bahkan aku baru ngeh terhadap firasat itu, setelah ia menagis, terluka, atau berdarah. Hmmm, tidak rela rasanya melihat bagian dari tubuhnya terluka. Benar-benar menyesal.....tidak menjaganya dengan baik...
dan segala rasa itu..terjadi begitu saja, seperti koneksi yang tak bisa terbaca..tapi terhubung dengan sendirinya...
btw..We’ll do our best for you...

Ibu nhytha
27 Januari 2011
Hope the best for lovely grandma..

Komentar

  1. Innalillahi...smoga Maha lekas sembuh.. Alhamdulilah masih dilindungi..Dan smoga slalu dilindungi :)

    Mungkin itu yang namanya kontak batin antara ibu dan anak,mbak.. Tapi apapun yg terjadi sudah kehendak Sang Maha Kuasa... Mau gimanapun semua ibu akan tetap jadi superhero dan bodyguard terhebat untuk anak2nya ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer