Cerita Jum'at an...

Apa bedanya ngeblog sama kerja thesis? Tidak perlu dijawab karena meski dibubuhi tanda tanya, sebenarnya kalimat di depan tidak kuniatkan menjadi pertanyaan untuk siapa saja. Dan lagi pula ia tidak punya hubungan sedikit pun dengan apa yang akan kuceritakan. Cerita yang seharusnya kutulis dua minggu lalu.
Ini cerita tentang pengalamanku ber-jum’atan bersama si kecil, maha. Jum’at dua minggu kemarin, maha kembali minta diikutkan ke mesjid untuk menunaikan ibadah shalat jum’at. Dan keputusan itu selalu maha buat saat azan di mesjid sudah berkumandang. Walhasil, ibunya akan gelagapan mulai dengan membersihkan tubuhnya yang biasanya berkeringat setelah mengitari rumah bermain dan kemudian mengenakan pakaian untuk jum’atan.
Meski tidak selalu, tapi maha lebih sering mengenakan gamis putihnya yang mulai kelihatan agak sempit karena ia semakin tumbuh besar. Dan untuk bawahannya, kami selalu memakaikan sarung kecil yang tak memiliki jahitan tengah. Sarung yang akan membuat maha terlihat lucu dan gagah. Sarung itu adalah pemberian ibuku untuk maha. Sarung yang dulu juga kukenakan saat masih kecil. Seingatku sarung itu diberikan oleh keluarga berkebangsaan India tempat dimana bapakku dulu bekerja saat masih bersekolah di Makassar. Sarung itu masih terlihat bagus meski usianya sudah cukup usang, lebih tua dariku tentunya, dan pasti masih sangat nyaman dipakai buktinya maha tak pernah sedikitpun merasa terganggu dan minta dibuka saat sarung itu melilit di bagian bawah tubuhnya.
Dan untuk urusan memakaikan sarung kecil ini untuk maha, saya harus turun tangan. Ibunya selalu lepas tangan. Pernah sekali ia mencoba mekaikan sarung itu ke maha, tak berapa lama sarung itu terlepas. Untuk urusan pakai memakai sarung yang rapi dan kuat, saya lumayan khatam. Enam tahun di pesantren cukup mengasah skill ku yang satu ini.  Tapi, saya juga bukan dengan mudah memakaikan sarung untuk maha. Bahkan saya sering agak dibuatnya senewen, dia selalu banyak celoteh saat dipakaikan sarung dan gerak kesana kemari yang tentu membuatku kesusahan. Macam-macam pertanyaannya padahal khatib sudah naik mimbar dan kalau begitu kita kan hanya dapat “telur” kata orang tua dulu. Hehehe…
Seingatku, maha mulai kuajak ikutan shalat jum’at sejak Ramadhan kemarin. Ia selalu senang kuajak shalat jum’at di mesjid Kompleks Brimob dekat rumah karena ia bisa sambil melihat mobil-mobil milik Brimob dan tentunya para polisi yang berseragam. Selain itu, sesampainya di mesjid maha langsung minta diantar ke tempat berwudhu dan ia memutar kran yang sudah bisa ia gapai lalu mulai seolah-olah berwudhu padahal kutau ia hanya ingin bermain air dari kran. Setelah itu, saat masuk ke dalam mesjid, maha yang selalu dibekali uang seribuan oleh Ibunya dengan sigap memasukkannya ke kotak amal yang berada di pintu depan mesjid setelah sebelumnya kubantu melipatkan uangnya agar mudah dimasukkan.
Jum’at dua minggu kemarin, ritual sebelum shalat jum’at itu kembali berulang mulai dari sibuk-sibuk memakaikannya pakaian shalat hingga memasukkan uang ke kotak amal. Dan kemudian kami berdua memilih duduk di shaf tengah, beberapa shaf di belakang Papa Ci’ (kakeknya maha) dan tiga shaf di depan om Jai (suami dari tante ibunya maha).
Karena merasa lama mendengarkan khatib berceloteh, maha memilih rebahan di pahaku dan tak lama ia berbisik, “pa’ ayo pulang.” Saat maha mulai terlihat bosan dan meminta pulang, kita harus pintar-pintar mengalihkan perhatiannya sebelum ia membuat kegaduhan dengan merengek-rengek minta pulang. Meski tidak dianjurkan saat shalat jum’at karena akan mengurangi kekhusyukan mendengarkan ceramah, tapi biasanya saat maha mulai bosan saya akan mulai menunjuk kemana-mana sambil berbisik ke telinga maha, “itu sana Papa Ci’,” “itu sana Om Jai,” “maha, itu polisi.” Dan setelah itu, maha kan bangkit dari rebahannya dan mulai bertanya balik dengan suara agak keras, “mana Papa Ci’,” “mana Om Jai,” “mana oci.” Dan pertanyaan balik itu maha ulangi berkali-kali meski sudah kutunjukkan tempat dimana orang-orang yang ia tanyakan duduk. Ia akan pura-pura tidak melihat dan mengulang-ulang pertanyaannya.
Dan saat shalat sudah dimulai, meski tak terlalu sering mengikuti gerakan shalat tapi maha tak pernah berulah. Biasanya ia hanya akan menoleh kesana kemari sambil sesekali mengikuti gerakan shalat hingga akhirnya salam. Dan setelah ritual jum’atan selesai tentu tak lupa kuhadiahkan cium ke seluruh wajahnya.
Setelah doa dari Sang Imam telah selesai diaminkan, kumulai lagi ritual setelah shalat jum’at bersama maha. Mulai dari memastikan sandal yang ia pakai tidak terbalik, dan ini yang melelahkan, memastikan ia tidak terjatuh karena maha selalu ingin berlari mendahuluiku. Meski sebenarnya saya selalu senang melihatnya berlari dengan mengenakan sarung kecil itu.
Dan saat tiba di rumah maha pasti akan dihadiahi peluk cium dari Ibu dan Mama (nenek) nya setelah menyalami dan mencium tangan mereka.

Tetaplah berjum’at maha, disana ada energi besar yang selalu bisa dapat kamu dapat. Energi kebersamaan, kesetaraan, saling berbagi dan tentunya energi Ilahiah.


Jogja, 18 Januari 2012
Berusaha mengakhiri!

Komentar

Postingan Populer