Ria

tulisan lama...silahkan dibaca!

“Riaaaaaaaaa” teriakan itu seperti itu sudah sangat akrab di telinga kami, yang tinggal di sini, hampir sekitar sepuluh keluarga. Bukan, bukan kompleks atau perumahan-perumahan elit yang biasanya dihuni hanya beberapa keluarga. Tapi semacam lingkungan kumuh (itu yang kukatakan pada seseorang untuk menggambarkan keadaan rumahku). Yah.., sampah di mana-mana, tempat pembuangan sampah yang tidak sesuai dengan standar kesehatan. Kalau musim hujan datang, bau busuk mengakrabi hidung kita, tidak jarang kita lihat tai tergenang di dekat pembuangan sampah. Hanya beberapa rumah yang punya WC yang layak. Aku juga masih ingat, waktu masih SD aku masih harus angkat air dan buang air di belakang rumah, dekat sawah. Walau keadaan sedikit berubah, tapi lebih banyak yang masih tetap sama. Suara pertengkaran pun sudah kurang terdengar, pertengkaran antar keluarga yang membuka semua rahasia keluarga, yang dibeberkan dengan kasar dan kata-kata yang tidak senonoh. Maka, tidak heran kalau anak-anak kecil sudah bisa bilang asu, leppa, tappamu , dan banyak lagi kata-kata yang direkam dari pertengkaran para orang tua. Sampai hari ini teriakan itu masih sama. Siapa yang tidak mengenalnya? Padahal yang ia teriaki adalah anak gadisnya yang sudah punya suami.
“Akhirnya Ria menyerah juga” kata Tante Jum padaku saat aku mendengar teriakan tante Rabiah melemah diikuti anggukan dan pernyataan setuju secara non verbal yang ditunjukkan beberapa tetangga yang kebetulan berkumpul untuk arisan di rumah. Aku heran mendengar Tante Jum berkata begitu. Aku memang tahu tentang pernikahan Ria yang sama sekali tak ia ingini, kutahu pula dari adikku betapa Ria menunjukkan sifat membangkangnya dengan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan seorang istri. Saat itu, pernikahan Ria baru sekitar 3 bulan, kata Ono adikku, dia tidak pernah selalipun tinggal dengan suaminya, bahkan masih berhubungan dengan Enal. Aku tidak mengetahui perkembangan tearakhir.
“Anak muda biasanya begitu, waktu awal pernikahan mereka bilang tidak suka, tidak mau, menangis-menangis bahkan sampe pingsan, tapi setelah beberapa bulan.., ya.... lihat sendiri dia menyerah juga.” Kata Bu Ati pada semua orang. Aku menggeleng mendengar ibu-ibu ini berkumpul. Heran.., selalu saja ada bahan yang ia bicarakan. Aku tiba-tiba kepikiran Ria.

Aku dengan lahap menikmati bubur Menado buatan mama, khusus untukku.
“Memang begitu, kalau anak tersayang, akan dibuatkan semua yang dia ingini” kataku pada Ana, adik bungsuku yang selalu merasa dinomorduakan ketika aku pulang ke rumah tercinta. Aku memang jarang pulang. Beberapa kegiatan di kampus membuatku harus pandai membagi waktu untuk keluarga di Bone.
“Itu Ria.., “ kata Ana, dengan santai.  Ia memang tahu sejak pernikahannya aku baru bertemu dia hari ini. Ria masih lebih muda dariku, sekitar tiga tahun. Kami sering berbagi karena ia juga gila. Tapi kuharap, sekarang tidak lagi. Ia sudah jadi istri. Tentu pandangan hidup sudah mulai berubah. Kulihat Ria berjalan pelan menghampiriku. Ia tersenyum sangat manis, masih. Seperti biasa pembicaraan dimulai dengan segala tetek bengek tentang perkuliahan, gossip-gossip murahan sekitar rumah sampe masalah keluarganya.
“Sampai hari ini, aku betul-betul belum yakin apakah aku betul-betul mencintai suamiku. Kadang kurasa ini adalah keterpaksaan.” Katanya saat aku menanyakan tentang kebahagiaanya. Terlalu banyak masalah tentangnya yang kudengar dari para tetangga yang hobby bergosip. Tentang ia pernah lari ke Pare-pare, tetang ia sakit-sakitan dan masih sering ketemu Enal.
“Hanya dengan Enal, aku merasa nyaman. Tapi kenapa mamaku seolah tidak mau mengerti. Aku merasa menjadi tumbal untuk mengatasi keterbatasan keuangan di keluarga kami. Aku merasa, kawin menjadi jalan keluar bagi keluarga untuk mengurangi perut yang yang harus ditanggung mamaku. Padahal, kutahu mamaku sama sekali tidak pernah menyatakan ketidaksetujuannya tentang hubunganku dengan Enal. Lalu apa masalahnya kalau bukan masalah ekonomi? Kurasa ini satu-satunya jalan pintas bagi keluarga. Aku bahkan tidak tahu segelintir orang telah berbicara masalah hidupku tanpa sepengetahuanku. Aku bahkan tidak pernah mendengar selintingan tentang perkawinanku sampai upacara mappenre doi  diadakan. Lalu siapa yang tidak shok?” tanyanya padaku. Kulihat ia menelan pahit ludahnya. Berusaha tetap tersenyum sambil memperbaiki tatanan rambutnya ikalnya yang jadi kebanggaannya sejak dulu. Memang rambut itu membuatnya makin ayu dengan kulit yang semakin putih.
“Sudah lama aku ingin bercerita. Aku butuh seseorang untuk mengeluarkan semua yang ada di dadaku. Kamu tahu? Pesta perkawinan yang diharapkan hanya satu  kali seumur hidup menjadi hal yang menakutkan. Kamu bisa tanya semua orang. Beberapa kali aku pingsan, dandananku di hari pernikahanku berantakan. Karena sama sekali upacara ini tidak kuinginkan. Hatiku bertambah sakit saat kulihat Enal datang di pesta pernikahanku. Aku bahkan tidak bisa menampung air mataku. Bagiku dunia akan berakhir hari itu juga.” Katanya menyambung ceritanya yang masih panjang. Tapi kulihat ia begitu tabah. Bahkan tak kudapati butiran air di bola matanya yang indah sama seperti dulu ketika ia membicarakan tentang keeruntungan, keahagian, keuangan keluarganya. Angin di teras membawanya memikirkan semua kejadian beberapa bulan terakhir ini.
Kehidupan di tempatku tinggal masih tergolong konservatif. Banyak orang yang belum mengerti mendidik keluargnya, anak-anak pada umumnya di besarkan dengan bentakan,  sangat minim kasih sayang. Masalah ekonomi menjadi masalah yang sangat krusial. Hampir semua keluarga di sini, bermasalah dengan keuangan keluarga mereka. Suami pengangguran, anak banyak, sekolah cuma sampai SD, hutang bertambah tiap hari tapi daya beli semakin besar. Tidak sedikit keluarga yang harus cicil untuk membeli ini itu yang kadang tidak penting. Poko’nya semua masalah yang pasti terjadi di negara dunia ketiga.
“Lalu sekarang? Bagaimana? Aku dengar kamu sekarang sudah tinggal dengan suamimu?” Ia menatapku seolah-olah menyuruhku bersyukur karena telah dilahirkan di tengah keluarga yang berkecukupan dengan limpahan kasih sayang keluarga.
“Kau percaya dengan dukun? Akhirnya aku percaya dengan para normal. Kamu tahu khan kalau aku masih berhubungan dengan Enal sampai tiga bulan setelah perkawinanku. Kamu bisa tanya semua orang di sini, kalau aku masih sering ketemu Enal di rumah tante Ju, aku masih sering jalan keluar sama Enal. Suamiku bukan tidak tahu, tapi sama sekali tidak ingin tau. Satu hal yang kuakui dari dirinya adalah kesabarannya menghadapiku. Tapi aku tidak tahu apa yang membutakan mata dan hatiku. Jusman sama sekali tidak punya kekurangan, tapi hatiku betul-betul tertutup. Dan sampai akhirnya aku lari ke Pare-pare dengan tujuan menghilangkan segala cerita ini. Sampai dua minggu aku betah di sana. Hingga pada suatu hari aku merasa ada sesuatu yang menusuk punggungku. Tiba-tiba ada kekuatan yang menyuruhku untuk kembali ke sini. Kekuatan itu bagiku tidak wajar, aku berusaha melawannya tapi ternyata kekuatan itu begitu kuat, aku bahkan menangis ketika kulawan diriku untuk  tidak kembali. Dan kuyakin itu bukan rasa cinta, sama sekali bukan. Sampai hari ini. Kurasa kekuatan itu begitu mendominasiku. Tapi kamu tahu? Aku sudah memutuskan untuk berusaha menjalankan peranku sebagi seorang istri, bukan karena cinta tapi status yang mengikatku sudah berbeda. Aku sadar kalau ikatan ini tidak main-main, dan aku harus menjalaninya. Sampai hari ini dia adalah suami yang baik. Terkadang jika ego dan kekanak-kanakanku datang, ia dengan sabar mendengar semua keluhanku ataupun cacianku. Sedikitpun ia tak pernah mengeluarkan kata kasar dari mulutnya walau tingkahku sangat menjengkelkan. Ia mengajariku menghormati hak-hak yang masing-masing kita punyai. Ia mengajariku untuk menerima kenyataan bahwa aku sudah menjadi istrinya dengan menjalankan kewajibannya sebagi suami. Dan perlahan aku mencoba menghormati caranya menyayangiku hingga kuputuskan untuk memperlakukannya seperti yang seharusnya. Tapi, itu bukan karena kekuatan yang kutahu sedang mengontrolku. Ini murni karena keinginanku, inilah caraku melawan keperihan yang masih sering terasa karena diperlakukan tidak sebagi manusi oleh mamaku. Keputusan Enal untuk meninggalkan Bone bagiku sangat  tepat, kutahu ini adalah caranya untuk mengakhiri segala kisahku dengannya. Aku memilih cara lain untuk menyayanginya, yaitu dengan membahagiakan hidupku dan terlepas dari semua rasa dendam yang membelengguku” Katanya sambil tersenyum, berita terakhir yang kudengar Enal memang sudah ke Kalimantan. Aku tidak percaya kalau yang sedang berbicara di hadapanku adalah seorang Ria. Kulihat kedewasaan dalam tiap katanya. Ia tidak lagi seamburadul dulu yang dengan bebas mengumpat semua nasib buruknya. Tak juga seliar dulu yang akan berteriak melawan segala perintah ibunya yang menurutnya tidak masuk akal.
“Aku harus pergi” Sebentar lagi Jusman akan menjemputku. Ia mengedipkan matanya sambil tersenyum nakal. Kubayangkan dengan usia semuda itu dia harus menanggalkan semua harapannya dan mengabdikan diri untuk suami yang berusaha ia cintai. Menurutnya semua ini adalah jalan yang sudah ditetapkan dan harus ia lalui. Inikah yang semua orang katakan kekalahan? Inikah yang mereka sebut ketidakerdayaan Ria? Tapi aku melihatnya begitu berbeda. Ini justru kekuatan besar yang coba ia tunjukkan. Menjalani hidup dengan orang yang sama sekali asing itu tidak mudah, tidur dengan orang yang sama sekali tidak kita cintai adalah suatu perjuangan besar melawan pemberontakan-pemberontakan hati ini. Inikah yang mereka sebut “akhirnya dia mengalah juga?” Tidakkah mereka lihat itu adalah perjuangan seorang gadis yang merelakan hidupnya yang masih belia untuk melayani seorang yang kita sebut suami? Sementara gadis seusianya sibuk merakit mimpi dan cita-citanya  Tapi langkahnya begitu ringan dengan semua beban yang ia pikul. Akupun belajar banyak hal bahwa akhirnya aku sadar  dalam rumah tangga yang dibutuhkan bukan hanya cinta tapi tanggung jawab dan saling menghormati. Inilah pondasi cinta yang sesungguhnya, karena kau tak akan bisa mencintainya tanpa menghormatinya lebih dulu.
    Aku memandangi langit luas tempatku sering mengadu saat hatiku galau. Semuanya bisa berubah dengan cepat tanpa kita sadari. Biru langit masih sama indahnya sementara kita mungkin tidak sadar bahwa biru langit detik ini sama sekali berbeda dengan biru langit sedetik sebelumnya. 

Ibu Mahatma
161005
based on a true story..,
i proud i can


Komentar

Postingan Populer