Jangan Takut Meminta Maaf!

Ini lumayan lama sudah kusadari kalau saya sebenarnya lumayan cepat emosi dan marah tapi tidak terlalu mudah untuk meluapkannya. Dan selalu paling menyesal setelah berani meluapkannya dalam bentuk apa pun. Betul-betul menyesal meski kadangkala ia lantas diluapkan. Dan saat penyesalan datang sebisa mungkin saya harus segera meminta maaf. Tidak terlalu tahan berlama-lama dengan rasa bersalah. Ke siapa pun itu, bahkan ke jagoan kecilku yang mungkin belum terlalu mengerti dengan arti maaf dan memaafkan.
Kejadiannya sekitar beberapa hari yang lalu saat sekeluarga di Bone hendak menuju Makassar dan saya akan melanjutkan perjalanan kembali ke Jogja. Sore itu, kami lumayan terburu-buru karena mobil kantor Mami Hery yang akan ke Makassar mengantar Mami dan teman-temannya pelatihan dan juga akan kami tumpangi sudah akan menjemput dan tentu tak begitu elok membuat yang lain menunggu.
Ibunya Mahatma tidak di rumah karena ia harus mengisi kelas di SD Bajoe dan baru bisa balik setelah jam 5 sore sementara mobil sudah akan berangkat jam 5 sore itu. Meski Ibunya maha sudah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan kubawa dan mengingatkan apa yang harus kulakukan sesaat setelah maha bangun dari tidurnya tapi sore itu saya tetap kewalahan meski untuk beberapa hal saya sebenarnya sudah lumayan terbiasa. Seperti memandikan maha dan memakaikannya baju, membuatkannya susu. Tapi sore itu saya betul-betul kerepotan. Bukan karena harus memastikan semua yang dipesan Ibunya maha dilaksanakan, tapi karena jagoan kecilku itu sepertinya ingin menguji kesabaranku.
Tak lama setelah ia bangun dari tidur siangnya, mami Hery datang dari kantor dan menyuruh kami bersegera. Sebelumnya maha sudah kuberi makan agar ia bisa meminum antimonya. Setelahnya, maha kumandikan, mulailah ia berulah. Saat hendak kupakaikan baju dan celana, ia menolak dan memilih berlari kesana kemari mengitari rumah dan mengajak bercerita siapa saja yang berada di ruang tengah rumah sore itu. Tontonan yang menjadi tidak lucu sore itu, bagiku. Meski tingkahnya membuat puang-puangnya tertawa. maha memamerkan bola yang dibelikan neneknya pagi sebelumnya, mengulang-ulangi pertanyaan “kita mau ke makacca” dan banyak lagi. Dan semua itu dilakukannya sambil bertelanjang ria.
Saya yang mulai seperti mau naik pitam, memilih untuk shalat asar dan berharap setelah shalat maha sudah mau bekerjasama. Setelah shalat, maha akhirnya mau kupakaikan baju. Saya yang sudah terlanjur bad mood harus semakin marah karena tak juga menemukan celana dalamnya maha. Kubongkar lemari juga tak kutemukan. Dan saat begitu, maha mengambil antimo dewasa dan meletakkannya di depan mulutnya seperti hendak meminumnya. Kuraih tepatnya kutarik obat itu lalu marahku meluap. Dengan suara agak keras, maha harus menjadi korban luapan emosiku yang sangat tidak suka terburu-buru.
Sesaat setelah itu, maha terdiam. Betul-betul diam. Dan kutau sebentar lagi ia akan menangis sejadi-jadinya. Ia kurangkul dan segera meminta maaf. Dan memarahi diri sendiri. Mengapa harus marah, bukankah anak kecil memang seperti itu. Kenapa harus marah karena tak menemukan celana dalamnya, toh maha kan pakai pampers jadi tak perlu bercelana dalam. Toh pak sopir pasti mau menunggu kalau kita rada telat. Dan berbagai sesal memenuhi kepalaku sesaat setelah maha diambil neneknya dan kumemilih menenangkan diri di ruang depan.
Tak lama, saat tangis maha sudah reda, kembali maha kudekap dan mengulang permohonan maafku dan ia memberiku maaf. Kudekap ia erat dan tetap menyesali kejadian sore itu.

Di mobil menuju Makassar, kubiarkan maha tidur lama di gendonganku meski harus merasakan erih di pergelangan tangan selama perjalanan. Kuharap itu bisa mengobati rasa bersalahku.

Sore itu kumenyesali diri telah berbuat sesuatu yang tak perlu, tapi kubahagia bisa berbagi maaf dengan jagoan kecilku dan kami berdua berjanji tak mengulanginya.
maha, sekali lagi…Maaf!

Jogja, 19 Jan 2012
Semakin cepat

Komentar

Postingan Populer