Sepeda Baru dan Resolusi Konflik


Sebelum hari ulang tahunnya tiba dan dirayakan dengan sederhana, ada satu hal yang maha minta hampir setiap saat. Entah berapa kali pertanyaan yang sama ia ajukan. Dan pertanyaan sekaligus permohonan itu ia ajukan hampir setiap saat. Bahkan saat kami tak sedikit pun menyinggung soal ulang tahunnya. Saat energinya belum betul-betul terkumpul, bahkan matanya belum betul-betul terbuka dan masih ia biarkan badannya bergulang guling di atas kasur kesayangannya, pertanyaan itu terlontar tanpa energi..hahaha…”papa bebi kapan mamma beli peda (baca:sepeda)?” “ibu, mau mamma beli peda,” “beli peda nanti mamma nah.” Pertanyaan dan pernyataan itu ia ulangi berkali-kali, apalagi saat kami beritahu kalau nenek Kendari nya yang berjanji akan membelikannya sepeda telah mengirim uang untuk dibelikan sepeda sebagai hadiah ulang tahunnya.  
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Kami sudah berjanji membelikan maha sepeda tepat di hari ulang tahunnya. Pagi-pagi maha sudah bersiap-siap. Ia begitu antusias dan pasrah membiarkan dirinya kumandikan dan memakaikannya baju dan celana. Tak ada ulah seperti biasa saat kumandikan. Juga tak ada tingkah-tingkah usil saat minyak telon dan bedak kulumurkan ke tubuhnya dan kemudian baju dan celana keren kupakaikan ke tubuhnya. Semuanya cepat, secepat mobil yang melaju di jalan bebas hambatan. Bayangan akan sepeda baru sepertinya membuat maha lupa kalau ia sering membuatku tidak begitu mudah melakukan kerjaan make over setiap pagi itu.
maha sudah tampil maksimal tapi motor yang dipakai neneknya belum juga datang. Dan maha mulai kelihatan tidak sabar. Saat begitu, jangan pernah berani mengusilinya karena semuanya akan tiba-tiba berubah hitam dan yang terdengar hanya jeritan meronta-ronta dan sesekali pilu. Haha..lebay! Pokoknya kalau kondisinya tak begitu nyaman seperti pagi itu sebisa mungkin mengalihkan perhatiannya dengan hal-hal yang nyaman. Silahkan putar otak!
Setelah menunggu lama, akhirnya motor datang dan tak menunggu lama kami bertiga melaju menuju (ex) pasar sentral Bone membelikan maha sepeda baru. Di toko pertama, maha yang kami biarkan memilih sendiri sepertinya tak menemukan kualifikasi sepeda yang ia inginkan. Meski sudah mencoba beberapa. Kami menyeberang ke toko kedua. Nah, di sini lumayan banyak opsi dan setelah bertanya dan memastikan lalu membiarkannya mencoba akhirnya sepeda baru maha yg berwarna dominan hitam itu terbeli. Setelah transaksi selesai, kami berlalu membawa sepeda pulang ke rumah dan maha berbinar-binar.


Sebenarnya, meski kualifikasi sepeda ini sudah disepekati maha namun ada satu hal yang sebenarnya bakalan jadi masalah. Dan itu sudah kami prediksi tapi tak ada pilihan lain resiko itu harus kami ambil. Sepeda yang kami beli seharusnya yang punya boncengan karena Aira pasti tak rela dan bakalan marah besar kalau maha naik sepeda dan ia tidak. Tapi sepeda di toko yang kami datangi, yang cocok untuk anak laki-laki jarang yang punya boncengan. Kami sangat sadar keputusan membeli sepeda tanpa boncengan akan jadi sumber konflik. Tapi biarlah, karena tidak lucu melihat maha membonceng adiknya tapi dengan sepeda berwarna pink. Hahaha…sepertinya ini isu gender ya!...
Dan setelah maha mulai menaiki sepedanya yang masih dengan roda penyeimbang di bagian belakang itu, keributan yang kami prediksi betul-betul terjadi. Tidak sekali dua kali tapi berkali-kali. Seperti biasa meski tak rela tapi maha selalu mengalah membiarkan adiknya mengambil apa pun yang sedang ia mainkan. Dan saat seperti itu maha lebih sering menangis dan mengadu. Tapi kadang sesekali maha juga berkeras dan saat begitu Aira lah yang meraung. Berkali-kali kami semua menjadi penengah mencari jalan keluar agar mereka bisa bersepeda bergantian. Dan kalau salah satu dari mereka tak sabar menunggu giliran, maka jadilah mereka berboncengan secara paksa. Tapi mereka tetap bergembira dan tertawa lepas. Senang melihat mereka berdua. Senang bisa menemukan resolusi konflik di antara mereka berdua..Hahahaha………

Selalu, bahagia itu sederhana!

Jogja, 20 Januari 2012
Tetap berusaha

Komentar

  1. Dari cerita di atas, saya merenung bahwa kata "kalah" adalah kata yang dijauhi oleh kita semua. Manusia normal manapun tidak mau menderita kekalahan. Akan tetapi diantara ribuan manusia Sang Maha Kecil ini mulai menunjukan sosok pemberani yang berani mengalah untuk menang. Menang dalam arti sesungguhnya, tidak kamuflase, dan menang sesaat.
    Sosok sang maha kecil ini mungkin sudah mulai menyadari yang dituju adalah kemenangan abadi. Kemenangan di kampung akhirat nanti dimana kenikmatan yang paling besar .
    Itulah kemenangan hakiki.

    teruslah berkembang sang Maha kecil…

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer