...second chance....


“ I believe there’s always a second chance…”

2 Januari 2012
Aku sedang menikmati gegap gempita perayaan tahun baru bersama keluarga, seingatku ini kali pertama tahun baru begitu serius kami sambut. Maha pun begitu, sejak semalam ia tidak berhenti  mengagumi langit yang bercahaya kembang api.

3 tahun yang lalu, pukul 22.00 WITA
“Ma…” aku berteriak kencang tertahan merasakan sesuatu keluar membasahi bawahanku. Ibu, komrad, bapak, k heri semua panic. Sepertinya, saatnya telah tiba. Bayi yang kami tunggu-tunggu kelahirannya sejak minggu lalu sesuai prediksi dokter ahli kandungan, kuharap akan melihat dunia malam ini. Aku berusaha untuk tetap tenang, panic tidak akan membantu proses ini. semua orang di rumah bergerak cepat, menyiapkan pakaianku, pakaian bayiku. Aku siap, betul-betul siap.
Pukul 23. sekian menit.
Aku mencoba mengatur nafas, detik terasa lama. Kusaksikan perempuan di dekatku juga melakukan hal yang sama. Mencoba berdamai dengan rasa sakit yang mulai terasa. Tidak seperti perempuan siap bersalin di sampingku yang diinstruksikan untuk terus bergerak agar kontraksinya berjalan cepat, aku disarankan untuk duduk saja bahkan berbaring. Kondisiku tidak senormal yang kuinginkan. Prediksi dokter ahli kandungan satu-satunya di Bone, mungkin benar bahwa aku tidak akan melahirkan normal.
 “ Sebaiknya ibu di rujuk ke Makassar. Saya takut, ibu tidak bisa melahirkan normal. Pembukaannya tidak berjalan. Dua jam telah lewat, dan masih pembukaan 1. Bagaimana bu?” kata suster  jaga malam itu. Kutahu, dia tidak ingin mengambil resiko, dokter ahli kandungan yang punya otoritas menjalankan operasi caesar sedang merayakan tahun barunya di Makassar. Kami memutuskan menuju Makassar.

3 Januari 2012
Mentari  telah bersinar terang, maha dan bapaknya masih terlelap. Aku berjalan mencari makanan di dapur. Rumah masih sepi, penghuni rumah memilih memanjakan diri apalagi ini adalah musim liburan, kecuali K Heri yang kudengar telah memecah air di kamar mandi.

3 tahun yang lalu, pukul 00.sekian menit.
Aku berbaring lemah di pangkuan komrad. Mobil K Heri yang dibawa bapak melaju pelan. Aku diinstruksikan untuk tidak duduk dan tidak banyak bergerak. Ketubanku telah pecah sejak berjam-jam tadi disertai darah. Jika cairan itu keluar terus menerus, akan berakibat kekeringan untuk bayiku dan mengancam nyawaku. Aku tidak banyak bicara, kurasakan perjalanan ke Makassar kali ini adalah perjalanan yang paling menegangkan. Aku bisa merasakan betapa khawatirnya laki-laki ini, sebuah kehidupan akan menobatkannya menjadi seorang ayah.
Masih dini hari…
Aku berjalan pelan, menuruni tangga sebuah mesjid entah di daerah mana. Ini kali ke dua, kami singgah. Suasana terasa sangat mencekam, aku harus berjalan sangat pelan dan buang air kecil dengan sangat hati-hati. Aku takut, tiba-tiba bayi ini akan keluar di WC atau dalam perjalanan. Sakit mulai terasa tidak berkompromi. Perjalanan yang biasanya ditempuh bapak dalam waktu 4 jam, kali ini jauh lebih lama. Bapak betul-betul tidak ingin ambil resiko. Aku berusaha memejamkan mata, berzikir dan menyerahkan segalanya pada Sang Maha
Pukul 06.sekian menit
Pagi, aku masih berbaring  lemah. Semakin lemah. Mataku terasa enggan menyapa mentari. Lewat kaca, kusaksikan Makassar mulai bekerja, penuh dengan lalu lalang kesibukan. Kurasakan tendangan, pukulan, dari dalam, rasa sakit yang mulai terasa di jalan rahimku. Kudengar, ibu mulai menelpon semua sanak saudara tentang keberadaanku.
Aku lemah, kulihat perawat sigap membawaku ke lantai dua UGD RS Wahidin Sudiro Husodo. RS yang begitu kukenal. Rasa lelahku mulai bercampur jengkel saat masuk ke ruangan yang dipenuhi mahasiswa kedokteran  yang baru saja selesai wisuda datang mengerumuniku, bertanya padaku, tentang segala hal yang semuanya telah tercatat dalam “statuspasien” yang dikirim dari Bone beserta rujukan itu. rasa sakit mulai tak mampu kutahan. Berselang beberapa menit, seorang dokter ahli kandungan dengan ramah memeriksaku, melakukan pemeriksaan dalam. Pembukaan 2. Hampir 12 jam, dan pembukaanku tidak mengalami kemajuan.
“beri induksi” kata dokter itu. dengan cepat, para koas melakukan perintah dokter itu. aku diberi obat perangsang agar  pembukaan berjalan normal.
“kami tidak ingin buru-buru melakukan operasi. Kami menyayangkan,  ibu ini masih muda dan ini adalah persalinan pertama. Kami pikir, ia bisa melahirkan normal.” Begitu pertimbangan dokter dan kusetujui saja. Aku menyerahkan semua keputusan yang terbaik pada ahlinya. Dan sakit itu mulai menggila.

Siang, pukul 11. Sekian menit.
Kulihat wajah-wajah kelelahan, kecemasan saling beradau di hadapanku. Sayangnya, aku tidak bisa apa-apa, sesekali aku meringis, menahan sakit, mencoba untuk tidak berteriak. Dokter lalu-lalang di hadapanku, bertanya hal yang sama seperti  yang dilakukan dokter sebelumnya. Aku mulai tidak sabar. Aku lelah bercampu tegang, bercampur jengkel,dan sedikit amarah.tapi aku mencoba untuk bersabar. Sesekali komrad datang menghampiriku. Wajahnya begitu pilu. Tapi di sini, sakit itu semakin menggila
“ jam 4 ibu ini bisa melahirkan.” Aku lega, 6 jam lagi. Aku yakin, aku pasti bisa. Dokter itu tersenyum, ternyata proses induksi berjalan bagus. Pembukaan 6, dan jika lancar-lancar saja, pembukaannya akan semakin meningkat. Rasa sakit mulai datang sesekali. Jika tadi, rasa sakit itu datang kira-kira berjarak 15 menit, rasa itu mulai datang sekitar 8 atau 10 menit. Ika rasa sakit itu datang, kuremas jari siapa saja di dekatku. Aku bertekad untuk tidak berteriak sesakit apapun yang kurasakan. Air mataku sudah tumpah sejak tadi.
Sore, pukul 16..sekian menit
Dokter yang berbeda datang padaku, menanyaiku hal yang persis sama ditanyakan oleh dua dokter tadi. Aku mulai marah dalam hati, bukankah mereka punya catatan status pasien yang dicatat oleh dokter sebelumnya. Aku menanti dokter itu akan membawaku ke ruang persalinan seperti perkiraan dokter sebelumnya. Kemarahanku yang terpendam semakin kurasakan saat proses pemeriksaan dalam terus dilakukan. Pemeriksaan ini adalah, pemeriksaan manual yang dilakukan oleh dokter dengan memasukkan tangan mereka ke bagian intimmu untuk memeriksa seberapa besar pembukaan. Dan, proses ini dilakukan berkali-kali oleh dokter yang berbeda. Keluarga mulai berdatangan, tapi mama kutahu tidak meninggalkanku sedetikpun. Aku semakin lemah, semakin sakit,dan semakin bosan saat dokter berkata
“ baru pembukaan 8, mungkin sekitar jam 8 malam.” Aku berusaha tabah. Sembari berpikir. Inilah yang dilalui ibuku untuk lima anaknya. Oh..betapa hebatnya dia. tiba-tiba segala yang telah kulakukan padanya seperti diperlihatkan padaku lewat semua yang kulalui hari ini. betapa berdosanya aku. Aku mencoba bertahan. Rasa sakitnya berjarak semakin dekat, 5 atau 4 menit sekali. Dan jika kalian tahu, rasa sakit itu seperti seolah bagian bawah tubuh ini akan terpisah dengan badanmu.

Malam,. Pukul 20.. sekian menit
Aku dibawa entah ke ruang apa. Sejak pagi tadi, ini kali ke empat aku di bawa ke sini. Aku di USG,  kondisi bayiku, jantungnya diperiksa secara rutin lewat alat ini.
“jantungnya masih normal, tunggu sampai jam 10 malam.” Kata dokter. Aku menahan segala rasa yang bercampur, menyatu menjadi rasa sakit. Rasa sakit di seluruh badanku. Sudah sejauh ini, harusnya aku masih bisa bertahan. Tapi kondisiku semakin lemah. Sejak pagi,aku tidak makan apa-apa. Aku hanya bisa minum, dan ini tidak baik jika akan melahirkan normal. Karena aku butuh tenaga kuat untuk mendorong bayiku yang ternyata berukuran besar menurut hasil pemeriksaan computer. Aku bersabar dlaam sakit yang tak bisa kubahasakan.
Malam…pukul 23…sekian menit
Jika ini perang, maka sebentar lagi aku akan kalah. Begitu pikirku. Aku tidak mampu membahasakan sakit ini, aku hanya bisa menangis dan bersabar. Berharap semua ini akan membaik. Lagi, aku di bawa ke ruang USG. Sempat kulihat komrad, tante-tanteku menugguiku, menuggui bayi yang kelak akan kunamai Mahatma. Aku mulai merasa tak berdaya. Kurasakan tubuhku seperti menegang, darahku seperti mendidih, aku melihat semua orang-orang yang kucintai. Komrad, mama, bapak, saudaraku, teman-temanku, dan hitam. Badanku kurasakan melakukan perlawanan sengit atas segala sakit yang kualami sejak malam lalu. Dan hitam…semua menghitam…..
04 Januari 2009…pukul 02…sekian menit, dini hari
Dengan berat,aku membuka mata. Kulihat putih di sekelilingku. Tiba-tiba seseorang memakai masker hijau dan tutup kepala putih mendekati wajahku. Memeriksa mataku, lalu tersenyum.
“Sudah sadar Bu?” tanyanya ramah. Perempuan itu masih tersenyum, dan aku masih bingung.
“ selamat ya bu… anak ibu laki-laki.” Sejenak aku tidak tahu apa yang kurasakan. Aku betul-betul lupa.
Pagi, di ruang ICU….
Badanku masih lemah, sangat lemah, untuk tersenyum pun aku merasa tidak mampu. Satu persatu, mama, bapak, puang beda, puang senna, ana, semua orang datang dengan wajah seolah-olah aku telah melewati hal yang luar biasa. Aku heran.  Mereka terlihat bahagia, tapi juga sedih. Mereka semua bilang, anakku lahir selamat laki-laki dengan berat 3,6 kg dan panjang 51 cm, dengan kulit paling putih bercahaya dibandingkan semua bayi yang lahir malam itu. aku tersenyum, tapi aku seolah melewatkan beberapa waktu yang tak kumengerti. Komrad datang mengecupku berkali-kali dan berkata
“ komrad, kita tauji kalo saya sayang sekaliki’? begitu tanyanya. Dan entah aku hanya merasa sedih. Ada apa ini? bukankah aku hanya melahirkan? Tapi kenapa aku di wajah mereka seolah-olah telah menghampiri kematian? Aku mencoba mengingat kembali tapi tak ada, aku hanya merasa lemas seluruh badanku terasa pegal,aku ingin tidur….

Dan hari ini tiga tahun setelah itu. aku memang tidak pernah betul-betul tahu apa yang terjadi denganku saat itu. menurut cerita saksi mata, setelah malam pukul 11 itu di ruang USG aku tiba-tiba kejang, tekanan darahku naik, dan selanjutnya tidak sadarkan diri. Ibuku bahkan sempat kalap, menyangkaku sudah tidak ada dan menutup wajahku dengan kain. Ilmiahnya, aku mengalami eklamsi, kejang-kejang karena tekanan darah bertambah akibat keracunan kehamilan. Para dokter yang kebetulan malam itu cukup banyak, dengan sigap membawaku ke ruang operasi. Kepanikan bertambah saat ternyata tidak ada persediaan darah untukku. Jadilah subuh itu, semua orang sibuk menelpon, meminta tolong lewat sms, operasi tidak akan dimulai tanpa darah itu. aku betul-betul tidak ingat semua itu. aku hanya tahu lewat cerita semua orang bahwa malam itu, seolah maut sedang bermain-main denganku. Hingga hari ini, persalinan masih menjadi momok yang menakutkan menyisakan trauma yang cukup dalam buatku, buat komrad juga.
Tapi…dibalik semua ketakutan itu, setelah malam itu, setelah melihat wajah putih bersih putraku, aku yakin betul. Inilah kesempatan keduaku. Malam itu, aku yakin, Dia bisa saja membuat anakku lahir tanpa ibu, tapi Dia sekali lagi memberiku kesempatan. Kesempatan kedua untuk memperbaiki diri. Untuk menjadi ibu dan tidak ingin kusiakan semua itu. terima kasih memberiku kesempatan kedua.   

Hari  ini, tiga tahun kemudian
“happy b’day nak” ucapku sembari mendaratkan ciuman di kening maha yang masih tertidur. Ciumanku membuatnya merasa terganggu, ia berguling-guling berusaha membuka matanya. Papa bebi yang baru saja melek, juga mendaratkan ciuman selamat ulang tahun padanya. Hari ini maha genap berusia 3 tahun. Ia tumbuh, sehat, cerdas, dan membahagiakan kami tentunya.
“ Bu…, mo beli sepeda.” Katanya saat mulai membuka mata. Hampir seminggu belakangan ini, saat bangun, ia bilang begitu. Meminta sepeda untuk ulang tahunnya. Dan pagi ini, kami akan memilih sepeda yang ia sukai untuk hadiah ulang tahunnya dari nenek di Kendari.
Ya…Selamat ulang tahun nak! masih dan selalu sama seperti tiga tahun lalu, hadirmu menjadi berkah untukku, untuk bapakmu, untuk semua orang di sekitarmu. Tumbuhlah dan berbahagialah!       

Ibu Mahatma
Selamat ulang tahun maha, 040112


Komentar

Postingan Populer