...semangat pagi...

Lama telah kuikrarkan untuk hidup sehat, mengatur kembali pola hidup untuk menjadi lebih baik, pola makan, tidur, olahraga, dan segala standarisasi maksimal yang harus dipenuhi tubuh kita. Rasanya tidak adil pada tubuh ini. Dan akhirnya pagi ini setelah shalat subuh, kuputuskan untuk tidak kembali ke tempat tidur. Maha yang biasanya bangun jam delapan, menurutku tidak akan menyadari kergianku, masih jam 6 lewat.
Jalan pagi, paling rutin kulakukan saat hamil. Hampir setiap pagi, aku dan komrad menjumpai matahari yang masih malu-malu. Lebih rutin lagi, kami melakukannya saat bulan-bulan akhir kehamilan. Semua sepakat, kalau jalan pagi akan memuluskan proses kelahiran, walau nyatanya untuk kasusku berbeda. Keinginanku untuk berlari, terpaksa harus kutunda setelah kusadari, aku tidak punya sepatu olahraga, cukup jalan kaki saja untuk memulai lagi. Sejak maha lahir, aku seolah tidak punya waktu, atau tepatnya tidak menyempatkan diri berolahraga lagi. Pernah sekitar 3 bulan lalu, setiap pagi aku bangun melakukan olahraga sederhana tiappagi, tapi entah karena apa aku menghentikannya. Dan pagi ini, aku memulai lagi. Kupilih rute ke arah kota. Ini memang rute yang sering kupilih dibanding ke arah yang berlwanan. Rumahku yang berada d jalan poros membuatku tidak punya pilihan banyak.
Pagi hampir setengah 7 di kota kabupaten seperti Bone tentunya masih ramah. Jalan tidak terlalu sibuk, dan udara tentunya masih sehat. Belum banyak yang memulai aktivitas. Beberapa penjual kue mulai dikunjungi konsumen. Aku berjalan sembari tersenyum berjumpa beberapa orang yang menurutku mengenalku. Hampir sampai di jembatan, jembatan yang sejak dulu menjadi salah satu spot tempat yang angker di kawasan ini. Menurut cerita, dulu banyak mayat tentara yang dibuang di bawah jembatan yang dialiri sungai di bawahnya. Sampai kini, masih jadi tempat pembuangan, bukan mayat, tapi sampah. Aku punya banyak kisah di jembatan ini. Saat SD dulu, saban pagi tiap ke sekolah ibu selalu mewanti-wanti untuk tidak bermain di dekat jembatan. Tapi, aku selalu senang menyaksikan derasnya air yang mengalir di bawah jembatan itu, apalgi saat musim hujan. Airnya ganas, menyeert apapun didepannya. Di jembatan ini pula, aku pernah bertengkar dengan laki-laki, teman sebayaku. Itu pertengkaran fisik pertamaku, dengan laki-laki pula. Seingatku, kami dilerai oleh orang-orang di sekitar jembatan. Semua orang semakin marah padaku, saat menyadari kalau aku seorang perempuan yang sebelumnya tertutupi karena rambutku kuselipkan di dalam topi. Aku semakin jengkel, karena mereka memarahiku bukan karena aku bertengkar tapi karena aku seorang perempuan dan bertengkar dengan laki-laki. Aku pulang dengan marah pada semua orang di sana.
Kakiku kulangkahkan lebih cepat, motor mulai berlalu lalang. Lebih banyak penjual sayur dan penjual ikan. Sekolahku kulalui, belum ada anak-anak. Aku jadi ingat lagi, dulu aku sering marah jika datang terlambat ke sekolah. Hariku tidak akan nyaman, jika Pak Amir penjaga sekolah lebih dulu datang. Sayangnya, kebiasaan itu tiba-tiba hilang saat SMP, SMA, terlebih kuliah. Pagi ini, aku memilih rute yang pendek. Belok kiri ke arah jalan Kawerang dan berputar lewat Jalan Manurunge lalu menuju rumah. Berjalan sendiri, sesekali aku berlari, menggerak-gerakkan badan, dan kembali berjalan mengatur nafas. Saat sendiri, aku selalu suka bercerita pada diri sendiri tentang apa saja.
Pemandangan pagi ini, pemandangan yang tidak jauh berbeda dari bertahun-tahun lalu, saat hamil dulu. Aku dan komrad selalu tidak habis mencemooh semua wajah yang mengotori pemndangan jalan raya. Pesta demokrasi besar-besaran saat itu, memapang banyak wajah yang tidak dikenal meminta belas kasih pada rakyat. Kali ini pun sama, bedanya pesta pemilihan akan berlangsung di Bone memperebutkan kursi nomor satu di kabupaten tahun depan. Waktunya memang masih lama, tapi wajah banyak orang sudah terpampang di sepanjang jalan di kota, di kecamatan, di mana saja. Dan menurutku, sangat tidak indah. Pesta ini memang menyisakan banyak sampah. Aku berjalan sangat pelan, bertemu beberapa orang dan kulemparkan senyuman. Aku melihat seorang kakek tua sedang membersihkan sekolahan, teringat bapak yang beberapa kali kumintai tolong untuk membersihkan halaman English Home. Mungkin bapak ini juga dimintai tolong oleh anaknya. Hahahaha...
Jalan yang kulalui masih belum juga ramai. Aku mulai lelah, keringat dan ngantuk lagi. Tapi, aku yakinkan untuk tidak ingin tidur lagi. Langkah demi langkah kuselesaikan hingga kulihat beberapa tetangga yang sedang menunggu ikan dan sayur di depan rumah. Mereka heran melihatku keluar tanpa maha..bukan hal yang biasa. Haus, lelah, mulai kuseret mendekati rumahku. Dari depan, kulihat Aira sedang berdiri di teras. Rasa lelahku tiba-tiba hilang, saat kulihat maha yang juga masih penuh belek di matanya, masih penuh bekas lir dipipinya. Dan menyambutku dengan sedikit kesal.
“kenapa tidak ajak maha?” tanyanya. Saat kujelaskan, kalau maha selalu susah bangun pagi jadi tidak bisa diajak jalan pagi, ia bisa menerimanya. Tumben. Kutelusuri jalan-jalan yang kulalui tadi lewat bunyi dan pilihan kata yang menarik untuk dua anak kecil yang sedang menungguku. Aku bercerita tentang semua yang direkam mataku dan mereka adalah pendengar yang baik untuk semua cerita-ceritaku.
Matahari mulai pongah, tapi tidak lama..mendung tiba-tiba datang. Namun, itu tidak lagi menggoda kantukku. Pagi kutapaki pelan. Pagi yang selalu dititipi harapan dan semangat untuk lebih baik.

Tambahan penting : Selalu sulit menemukan sedikit semangat dalam satu pagi menuju pagi berikutnya. Tapi, yang lebih sulit adalah setelah semangat pagimu kau temukan, ingin kau bagi tapi tiba-tiba hilang karena kau begitu bersemangat. Dan itu sangat mengganggu. Harusnya kamu sudah hapal akan hal itu.

Ibu Nhyta
25 Februari 2012
#harusnya tidak perlu menelpon


Komentar

Postingan Populer