..ia pasti pulang...

Kalau tidak salah ingat, K Eda di statusnya pernah menulis “ memiliki anak seperti pasir waktu, semakin besar ia semakin sedikit yang kita milki darinya.” Semua orang tua harus mengakui itu benar. Saat maha masih begitu kecil, tangannya masih sangat imut dia betul-betul tak berdaya tanpaku. Aku menjadi semesta untuknya. Jika aku pergi sebentar saja, tangisnya akan pecah. Dan aku merasakannya lama. Menjadi sosok yang paling dibutuhkan seseorang, adalah nilai lebih yang tak bisa dibuat-buat. Dan aku mulai nyaman dengan hal itu, walau selalu merasa repot ada rasa tersendiri menjadi seseorang yang sangat dibutuhkan. Peranku itu, mulai sedikit bergeser, saat umur 1 tahun 6 bulan, maha tidak ingin menyusu lagi. Saat itu, air susuku mulai berkurang. Porsi menyusu maha yang besar tidak sebanding dengan asupan makanan yang ku konsumsi, walhasil air susuku semakin laam semakin sedikit. Dan maha yang terbiasa lahap meneguk susu, mulai marah dan memilih untuk tidak lagi menyusu. Aku senang, itu artinya aku mulai bisa beraktivitas dan meninggalkan maha di rumah. Tapi di sisi lain, aku merasa ada yang hilang.
Tapi, rasa itu hanya sebentar. maha toh tetap menangis saat tidak melihatku dalam kurun waktu yang lama. Hingga sekarang, aku bahkan tidak pernah meninggalkannya untuk bermalam 1 malampun tanpa dia. Aku memilih repot serepot2nya daripada harus menahan lelah batin. Hahaha...#lebaymi sede’.
Sejak mampu bermain sendiri, maha sudah lumayan mandiri. Aku hanya mengawasinya dari jauh. Jatuh, menangis, berdarah sedikit, kami anggap hal yang biasa. Walau kadang menyesal juga. Namun, aku tahu tindakan overprotektif lebih tidak bagus untuk perkembangannya kelak. Dengan jatuh, dengan menangis, dengan rasa sakit, dia minimal akan tahu tentang resiko, berhati-hatidan lebih banyak hal lagi dengan caranya sendiri. Namun, biar begitu, aku juga tidak bisa menahan teriakan saat menurutku ia melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya. Seminggu ini, saat rumah sedang sibuk karena kepergian Ecca, nenek kami, maha lebih sering bermain bersama sepupu-sepupuku yang umurnya 4 smpai 7 tahun di atasnya. Senangnya, maha tidak lagi harus menggangguku melakukan banyak hal, artinya banyak pekerjaan yang bisa dibereskan, atau malah sebaliknya, pekerjaanku bertumpuk karena harus mengawasi mereka bermain. Namun, di luar semua itu, aku merasa semakin lama waktu berdua bersama maha semakin berkurang. Ia lebih banyak memilih bermain bersama teman-teman tetangga, atau sepupu-sepupuku, dia juga lebih memilih pergi jalan-jalan bersama om-omku. Selain karena maha memang pajokka, om-omku selalu memanjakannya dengan cara yang instan yang tentunya maha sukai, es krim lah, gula-gula, atau apa saja yang membuat bibirnya tersenyum lebar.
Kalau kuperhatikan, maha memang mulai berpikir kalau dia besar. Dia memilih bajunya sendiri, dia menentukan mau melakukan apa, dia menentukan ingin tidur atau tidak. Dan beberapa hari ini, dia begitu “sulit” diajak berkomunikasi. Jika ingin B maka harus B. Entahlah, sepertinya, ia mulai tidak ingin takluk dengan pilihan-pilihan selain pilihannya. Dan itu kadang membuatku jengkel. Apalagi dia tidak lagi ingin tidur siang, sepanjang hari, ia maaaaain saja, kualitas konsumsi susu juga mulai berkurang.
Siang ini pun sama...sudah dua kali pulang balik aku menyusuri jalan menuju ruamah Puang Martang, rumahnya Kakak Haekal sepupuku, menjemput maha pulang. Tapi, ia sama sekali tidak tertarik.  Aku berusaha membujuknya
“pulangmi ibu sendri na! Nda takutji to?” katanya meyakinkanku pasti. Saat kutanya mau apa lagi di sini?
“mau main” katanya cuek. Seolah-olah aku tidak sedang merindu masa-masa berdua dengannya. Haha#lebay..lagi...
Aku pulang dengan kecewa, 2x tanpa maha. Ah, aku harus mulai paham, ikhlas, rela, kalau semakin besar anak-anak kita akan mulai merancang hidupnya sendiri. Mulai tahu, apa yang mau dan tidak mau ia lakukan. Aku sepenuhnya telah memastikan, bahwa aku tidak akan berkeras terhadap apapun yang anak-anakku inginkan kelak. aku juga tahu. seperti ibuku yang punya lima anak. Ia toh merelakan ke lima anaknya pergi jauh, menuntut ilmu, menikah, dan meninggalkannya. Seperti nenek kendari yang merelakan papa bebi sejak umur belasan tahun, menyeberangi lautan, tanpa handphone, tanpa internet, tanpa segala alat komunikasi yang bisa mendekatkan mereka. Tamat SMA papa bebi tidak langsung pulang, ia malah memilih untuk belajar lagi, dan akhinya menikah untuk kemudian merancang hidup tidak di dekat Nenek Kendari.
Yah..kita semua akan beranjak tua, anak-anak akan semakin besar, punya hidup masing-masing, punya cita-cita, dan mereka akan melewati jalannya sendiri. Tapi, seperti aku dan empat saudaraku, seperti papa bebi, kami tidak pernah betul-betul pergi. Kami tidak pernah betul-betul meningglkan ibu, bapak atau keluarga. Yah..mereka selalu ada dalam tiap langkah kami. Dan maha juga akan tumbuh seperti itu. Besar, menjelajahi dunia, menemukan sesuatu, belajar, mungkin tanpa aku dan bapak bebi di sisinya tapi ia tidak akan pernah betul-betul pergi. Dia akan selalu ada untuk ibunya, untuk bapaknya. We do believe.
Seperti sore nanti, saat ia lelah dari rumah kaka Haekal, ia akan pulang memanggilku “ibu..mau bobo..bikin syusyu, mana bedong..nyanyikan star..nyanyikan iyaiyao, bacakan cow..lalu ia akan terlelap dan bermimpi indah. Bermainlah nak, kepakkan sayapmu kuat. Agar kamu terbang lebih jauh..jauh..agar lebih banyak yang bisa kamu lihat, untuk nanti kamu ceritakan pada bapak dan ibumu saat pulang...

Ibu Nhytha
Sore..4 Februari 2012
Menunggu maha pulang...


Komentar

Postingan Populer