Please Please Please Let Me Get What I Want

Siang itu, di suatu hari di tahun 1993, saya bersama bapak harus pergi ke luar kota. Ibu bersama keluarga seisi rumah mengantarku hingga halaman rumah dengan tangisan yang terisak. Tak henti-hentinya Ibu melayangkan ciuman ke wajahku sembari membisikkan nasehat-nasehat khas orang tua saat anaknya akan pergi jauh. Berkali-kali Ibu melakukan itu seakan tak rela melepaskan anak laki-laki satu-atunya di keluarga ini pergi untuk sesuatu yang berharga bagi hidup kini dan kelak. Ilmu pengetahuan.
Hari itu, saya harus ke Makassar bersama bapak untuk melanjutkan pendidikan di salah satu pondok pesantren disana. Saat itu saya masih berumur 12 tahun dan baru beberapa hari menerima pengumuman lulus dari bangku sekolah dasar. Ibu betul-betul merasakan kesedihan yang mendalam, betapa tidak, hari itulah menjadi kali pertama saya akan berpisah dengan Ibu dalam waktu yang amat lama. Seingatku, sekali pernah Ibu dan bapak ke luar kota dan tidak mengajakku tapi itu tak lebih dari seminggu.
Saat perpisahan di depan halaman rumah hari itu, bapak lah satu-satunya yang tak setetes pun mengeluarkan air mata mesti kutau ia begitu sedihnya dengan keputusan ini. Bapak terkenal begitu tegas dan tak jarang harus bersuara keras kepada siapa pun yang menurutnya berbuat salah, tapi untuk kami anak-anaknya ia seolah menjadi tak punya kuasa untuk itu. Itu pula yang kadang sering dikeluhkan Ibu karena bapak tak pernah mampu memarahi kami meski bagi Ibu kami layak dimarahi karena telah berbuat yang salah. Keputusan ini pasti berat bagi bapak, tapi setelah mengingat cerita-cerita yang sering ia ulangi kepada kami anak-anaknya tentang kisah bagaimana ia dulu harus merantau dan hidup bersusah payah di kampung orang untuk menuntut ilmu, akhirnya kutau mengapa almarhum begitu tegar dan justru agak marah ketika melihat Ibu seolah tak rela melepas pelukannya kepadaku.
Kisah sedih hari itu tiba-tiba melintas begitu saja saat membaca postingan Ibu nya maha kemarin. Ia bercerita bagaimana maha kini yang selalu merasa sudah besar. Dan untuk beberapa hal, maha seringkali sudah mulai menentukan apa yang ia hendak lakukan. Sesuatu yang biasanya dibawah kendali Ibu nya. Hari demi hari, maha mulai menunjukkan kalau ia kini tak begitu tergantung lagi dengan kami orang tuanya, khususnya Ibu nya. Meski itu untuk hal yang sepele. Ia mulai memilih bajunya sendiri, begitu keras terhadap apa yang ia ingin lakukan meski tanpa Ibu disampingnya, sesuatu yang dulu jarang terjadi dan banyak hal lain yang menunjukkan sesuatu yang sebenarnya baik tapi seringkali membuat kami merasa kehilangan banyak waktu bersamanya, khususnya bersama Ibu nya.
Peristiwa kemarin saat maha sedang bermain di rumah sepupu dan tak mau pulang meski Ibu nya sudah dua kali datang menjemput, mungkin biasa-biasa saja meski itu jarang sekali terjadi saat maha masih berumur 1 sampai 2 tahunan. Tapi kutau betul bagaimana perasaan Ibu nya maha diperlakukan seperti itu. Terakhir bulan lalu, saat ke Makassar dan membiarkan saya bersama neneknya maha pergi duluan dan memilih berangkat belakangan karena urusan kursus kami, Ibu nya maha tiba-tiba merasa kehilangan padahal tak berapa jam ia sudah bersama maha lagi.
Tiba-tiba saja teringat lagunya The Smiths yang kuakrabi beberapa hari ini, Please Please Please Let Me Get What I Want. Mungkin kini maha ingin meminta itu. Meminta diberikan privilege untuk berbuat apa yang ia pikir bisa membuatnya bahagia, hahaha..membayangkan maha berteriak...the privilege is mine. Meminta kalau ia tak perlu lagi terus ditemani untuk melakukan apa-apa yang ia suka. Tentu anakku, apa pun yang membuatmu bahagia pasti akan kami biarkan dirimu melakukannya tapi maha kan masih sering tak mengontrol diri saat lari-larian dan kemudian terjatuh, kalau main maha sering sekali lupa makan, kalau lagi gembira-gembiranya biasanya diujung kegembiraan akan berakhir jadi tangis keras membelah bumi, kalau lagi tidak bersama Ibu atau bapak maha biasanya sering melibas apa saja yang diberikan Om dan tante atau kakak-kakaknya maha meski itu akan membuat maha batuk. Itu saja yang kami khawatirkan.
Dan peristiwa kemarin itu tiba-tiba membuatku merasa seperti bapak yang dulu memendam perasaan sedih karena harus memilih membiarkanku pergi. Padahal maha masih begitu belia…

Kini semakin kutau mengapa Ibu dulu begitu sedih saat hendak melepasku pergi…

Jogja, 5 Februari 2012

Komentar

Postingan Populer