menuju tahap baru dunia mahatma

Tiga tahun pertama seorang anak adalah masa berat untuk semua ibu. Aku tahu, aku tidak sepenuhnya melewati masa-masa itu dengan senyum bahagia di akhirnya, walau aku sadar betul, aku sangat terbantu dengan berada di samping kedua orang tua yang alhamdulillah masih segar bugar dan membantuku melewati semuanya. Dan banyak ibu muda yang tidak mendapat kesempatan itu. Di satu sisi, ini adalah keberuntungan tapi di sisi lain sejujurnya itu membuat kita terlena akan peran yang seharusnya kita jalani sendiri secara kasat mata. Dan tetap saja, aku tidak berhenti menyampaikan keluh-keluh kecil dan besarku. Selalu, dalam diam, aku tidak berhenti mengagumi ibu-ibu muda yang menjalani ini semua sendiri.
Cerita satu tahun pertama adalah cerita-cerita penuh ketakjuban akan jari mungil maha yang semakin hari berusaha menggenggam dunia, tentang bibirnya yang tidak lelah mencari bentuk senyum yang cocok untuknya, tentang kaki-kakinya yang bergeliat ketika kuberi pijatan lembut, tentang tulang-tulangnya yang berusaha menopang hidup, duduk, merangkak dan berdiri di awal tahun kedua. Masa-masa ini adalah masa penuh kehati-hatian yang selalu berujung penyesalan menyaksikan maha menapakkan kakinya di bumi, terantuk, jatuh lalu berdiri lagi untuk kembali jalan dan mungkin terjatuh lagi, masa penuh kekaguman akan usahanya merekam kata, mengenali bunyi, mencontek lafaz, masa-masa dimana semua yang berwarna, yang punya bunyi, yang aneh menjadi hal menarik baginya hingga awal tahun ketiga.
Dan kini, ia melewati tiga tahun pertama. Semua terlewati dengan menakjubkan. Tak kami biarkan satupun momen hilang dari masa ini untuk hidupnya kelak. dan sejak ia meniup tiga lilin untuk ulang tahunnya, aku sadar betul. Pekerjaanku tidak bertambah ringan ataupun berkurang, semua kutahu sedang berjalan ke masa yang lebih berat untuk kutangani sendiri apalagi komrad belum juga pulang. Yah, rencana memang kadang tidak seperti yang kita tuliskan.
maha tumbuh semakin hari semakin besar menurutku. Bukannya aku menyetujui celotehnya yang memproklamirkan dirinya adalah “anak besar” bukan “anak kecil” lagi di setiap kesempatan, bahkan pernah ia hampir mengamuk di warung makan karena ia kuperlakukan seperti anak kecil menurutnya. Aku kaget bercampur malu, karena hampir semua mata memandangku. Aku memilih cara yang lunak dengan mengalah padanya. Namun kadang, aku juga berkeras dengan inginku. Dalam banyak hal, aku mencoba memberitahunya bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa kutolerir.seperti kemampuannya meniru. Semua anak akan mengalami itu di tahun-tahun ini. Apapun yang kamu ucapkan, akan langsung ia ucapkan dengan fasih. Apalgi jika kita mengucapkannya bukan dengan mimik yang datar. Artinya, saat mama, mami, atau saya marah ia biasanya akan mengulang semua yang kukatakan tanpa mengurangi satu katapun. Yang biasanya buat naik pitam, saat aku memarahinya dan ia mengulang semua kata untuknya dan mengubah semua kata “kamu”, kata “nak”, kata “maha” menjadi kata “ibu”....”aduh..jangan begitu nak” dia akan mengulangnya dengan mimik yang dilebay-lebaykan “aduh..jangan begitu ibu”. Biasanya akan berujung tawaku atau dengan marahku.
Diusianya ini ia mulai pandai mengaitkan satu masalah dengan sebab dan akibatnya. Akhir-akhir ini dia senang mengucapkan kata “ masalahnya....” atau “ih..kan begini bu..” dengan tekanan di sana-sini layaknya aku sedang menpertahankan pendpatku dalam diskusi yang selalu ingin kumenangkan walau kutahu dataku tidak cukup (baca:ngotot). Jika sudah begitu, ia akan fasih mengaitkan banyak hal walau tak terkait secara langsung.
Yang bertambah berat, maha mulai tidak senang dibohongi. Memangnya siapa yang suka dibohongi. Maksudku, dengan banyak inginnya yang semakin menggunung, hal ini menjadi susah untuk kami lakukan. Bukan, jika tidak terpaksa aku tidak akan berbohong padanya. Konsumsi permen, es krim, snack-snack yang kadang tidak terbatas dalam sehari penuh memaksaku untuk melakukannya. Dan itu tidak mudah. Ia sudah bisa ke warung di depan rumah sendriri, ia bahkan lebih pede memanggil dan menyuruh Puang Beta, kakek berusia 80-an tahun untuk membuka warungnya karena ia ingin membeli gula-gula 500 rupiah. Puang Beta yang sejak kecil telah menikmati senyum maha selalu angkat tangan jika maha berteriak kencang di samping jendela rumahnya. Maha juga hapal jalan. Ia tahu dari arah mana saja, belok ke mana, jika ingin ke pusat perbelanjaan, atau tahu spot-spot tertentu, penjual teh poci,penjual bakpao, penjual bakso, smuanya hampir ia tahu. ia belajar dengan cepat dan aku kadang kewalahan menanganinya.
Akhir-akhir ini, walau menurtku tidak bagus, ia lumayan menyiutkan inginnya saat kami bicara tentang Tatte. Dia seorang tokoh fenomenal Bone sejak bertahun-tahu lalu. Hampir semua orang Bone mengenalnya, dan aku menjadikannya senjata karena maha amat sangat takut padanya.  Dan skali lagi, itu tidak bagus. Menurutku, di usianya ini maha telah memiliki apa yang harusnya dimiliki oleh seorang lelaki kecil. Tapi tetap saja, itu tidak cukup untuknya. 
Dan..masa ini, masa memasuki tahun keempatnya, kunobatkan sebagai tahapan baru untuk mulai kembali belajar lebih keras memahami maha, memahami setiap protesnya, memahami penolakannya, memahami inginnya. Belajar untuk tidak selalu berbicara dengan urat di leher padanya atau dengan kerutan kening di dahi. Belajar untuk lebih santai melihat semua ulahnya mengacaukan rumah, memporandakan kerjaanku. Belajar untuk tidak menyerah menghadapinya. Aku tahu, karena saat mengeluh, Mamaku selalu bilang “ kamu bahkan belum memulai cerita  serunya” hhhhhhhaaaaaaaaaaa..................

19 Februari 2012
Ibu Nhyta

Komentar

Postingan Populer