...Marah itu, terakhir kali........

Dengan suara yang sedikit tertahan kudengar sayup-sayup mama seperti sedang menasehati seseorang. Subuh dan dingin, menjadi kolaborasi yang begitu apik sehingga telingaku harus betul-betul kufokuskan untuk mendengarkan apa yang sedang terjadi di luar sana, walau hanya berbatas tripleks dinding kamarku.
“Astaga..sabbaraki Ecca. “ begitu kata mama berulang-ulang. Kutahu langsung, dia sedang menasehati ibunya sendiri, yang hampir dua bulan ini sakitnya yang bertahun-tahun itu bertambah parah. Bahkan kerap menggerogoti pikirannya. Aku coba untuk tertidur kembali,tapi tidak bisa. Mama kudengar mengulang namaku berkali-kali. Perdebatan yang akhirnya bisa kusimpulkan tentang apa.  Ecca, begitu kami memanggilnya, marah besar padaku. Tapi tak kutahu tentang apa. Rasa ngantukku ternyata lebih besar dari rasa penasaranku, atau lebih tepat rasa tidak peduliku. Toh Ecca memang lebih sensitif akhir-akhir ini, tapi begitulah memang usia yang sudah lanjut, ditambah sakit yang membuatnya harus terus meringkuk di tempat tidur. Bahkan untuk bangun saja, dia membutuhkan orang lain.
Pagi, dan aku terbangun. Rumah ini, memang selalu sibuk di pagi hari apalagi untuk mamaku yang semua urusan tetek bengek kampung tengah diberikan padanya. Mama kudengar telah bercerita panjang kali lebar pada K Heri, aku tersenyum dan langsung ikut bergabung.
“  Ecca marah, katanya semalaman dia teriak lama sekali dan kamu tidak bangun. Menurutnya kamu sengaja. Karena marahnya, subuh tadi, ia langsung mau pergi ke rumah Puang Martangmu” tutur mama langsung. Aku kaget, aku tahu kalau akhir-akhir ini Ecca memang sering marah, sering tersinggung, sering tidak enak hati, tapi aku khususnya lebih memilih untuk tidak memperdulikannya. Tapi tak kusangka semarah itu. Ya...ia betul-betul marah jika ingin pergi dari sini. Sejak dulu hingga sekarang, diantara semua rumah anaknya di kota Watampone ini, Ecca selalu memilih rumah ini. Jika ke rumah anaknya yang lain, dia tidak akan bertahan hingga satu minggu. Artinya kali ini betul-betul gawat.
Aku dengan ringan melangkahkan kakiku ke ruang depan, ruang tamu yang telah disulap jadi ruang main maha dan aira sekaligus kamar Ecca.
“Nita, memang kau nda dengar semalam saya berteriak?” tanya Ecca dalam Bahasa Bugis. Aku menggeleng.
“ Kenapa bisa? Saya berteriak sampai madani, semua orang juga dengar.’ Katanya ketus. Sambil mengunyah kue kujelaskan bahwa kali ini aku betul-betul tidak mendengarnya. Hampir setiap malam, Ecca terbangun, dan minta dibangunkan untuk buang air, dan selama ini akulah yang selalu melakukan itu. Jika tidak bisa bangun, aku cukup berteriak membangunkan mama. Tapi, Ecca selalu memanggilku, karena kamarku dan tempat tidurnya hanya dibatsai tripleks tipis. Tapi semalam aku betul-betul tidak mendengarnya. Kutanya komrad, dia juga menggeleng, tak mendegar apapun.
Ecca mengulang pertanyaan itu berkali-kali, awalnya saya menerima dengan ikhlas. Sembari kujelaskan, kalau kali ini mungkin tidurku begitu lelap hingga tak mendengar teriakannya. Aku mengingatkannya, kalau selama ini toh aku yang selalu bangun saat ia memanggil. Tapi, Ecca tidak menerima pembelaanku. Aku tersenyum,masih mendengarnya berceloteh.
“ Kalau kamu sudah cape’ mengurus saya, bawa saya pulang ke Cina. Saya punya banyak anak yang mau merawat saya.” Begitu katanya. Aku melihat wajahnya. Aku tahu dia sedang marah.betul-betul marah. Kuulang lagi pembelaanku dan ia mengulang kalimat di atas berkali-kali, meminta pulang ke Cina, ke rumahnya. Dan telingaku mulai gerah, dan panas. Aku menganggap, Ecca tidak adil jika harus mengalikan nol semua yang kulakukan untuknya hingga hari ini. Yang buatku marah, ia sedikitpun tidak menghargai apa yang kami lakukan untuknya.
Sejak dia di Bone, di rumah ini, aku langsung secara otomatis seperti menjaga 3 orang anak kecil saat pagi. maha, Aira dan Ecca. Seperti orang tua pada umumnya, Ecca bahkan selalu meminta perhatian lebih dibanding dua anak ini. Ecca selalu meminta dipijit, ditemani, diajak cerita, apa saja yang membuatnya merasa senang. Sakit ditubuhnya, betul-betul membuatnya seperti anak kecil yang harus dikeloni saban hari. Tapi, kami semua selalu mencoba ikhlas, begitulah saat usia renta tapi kami juga tidak berhenti menekankan agar Ecca bersabar dan ikhlas menerima penyakitnya.
Ecca pagi itu menegaskan sejelas-jelasnya bahwa menurut pikirnya aku tidak becus merawatnya dan tidak ingin lagi menjaganya. Entalah, aku hanya marah mendegarnya. Aku beranjak pergi, menenangkan pagiku....
Setelah pagi itu, dua hari berturu-turut, aku tidak menginjakkan kakiku di ruang depan. Setiap aku ke sana, Ecca selalu mengulang itu, Ecca mengomel dan mengulang amarahnya. Sepanjang dua hari itu, dia tidak berhenti menceritakan pada semua orang yang datang bahwa aku sengaja tidak mendengarnya malam itu, bahwa aku sudah bosan merawatnya. Dan meminta dengan tegas untuk pulang ke Cina. Secepatnya. Tanpa babibu. Walau semua anak-anaknya tahu, kalau Ecca sedang marah besar, mereka juga tidak bisa mengabulkan pintanya. Selain karena begitu sulit mengangkat badannya untuk berpindah-pindah tempat, di rumah lain tidak ada orang yang bisa menjaganya seharian penuh.
Tidak lama setelah itu, Ecca berubah diam. Lebih banyak tertidur dan mengigau. Ecca tiba-tiba berubah pendiam, dan itu bukan dia banget. Walau selama ini, dia sakit. Ecca selalu bersemangat bercerita, dan itu kadang membuat banyak orang kewalahan. Tapi kali ini, dia diam seribu bahasa, jika ingin kecing dia tidak memanggil-manggil lagi, hanya menunggu orang lewat lalu mengisyaratkan kalau ia ingin kencing. Jika badannya sakit, dia tidak akan bilang, hanya sedikit merintih, dan dia baru akan bicara jika kami bertanya.
Begitu hampir sebulan terakhir hingga tiga hari yang lalu, ia betul-betul diam. Untuk selamanya. Walau setelah insiden malam itu, aku telah meminta maaf berkali-kali padanya, dan begitupun ia padaku, aku selalu teringat. Itu adalah marahnya yang terakhir kali. Seingatku, sejak ia sakit ia memang selalu marah. Marah pada semua orang yang dianggapnya tidak 100% merawatnya dengan baik, pada anak-anaknya-pada cucunya, ia marah pada sakitnya yang tidak juga berangsur sembuh walau beragam cara pengobatan telah dilaluinya, dan lebih banyak marah pada dirinya yang kadang tidak bisa ikhlas dan sabar menerima penyakitnya. Tapi, malam itu adalah marah terakhirnya padaku. Marah yang selalu kami anggap sebagai puncak penyakitnya secara psikis yang mengantarnya pada kondisi yang semakin buruk.
Dan pagi ini, saat sebagian orang sedang bersibuk mengurusi acara 3 hari kepergian Ecca, nenek kami tercinta,dan sebagian lainnya masih terlelap enggan bertemu pagi, aku mengingatnya kembali. Mengingat semua yang kulakukan saban pagi di samping tempat tidur Ecca di rumah kami. Biasanya pagi seperti ini, aku sibuk mengutarakan pikirku dalam kata di depan laptop dan sesekali ia hanya memandangku dengan mata yang sayu semakin hari semakin bertambah lemah. Sabtu sore, Sang Maha mengambil kembali apa yang memang menjadi miliknya sejak lama. Dia lewat Ecca, memperlihatkan padaku bahwa kematian itu begitu dekat, dengan kita semua. 
Semoga telah kau temukan tempat yang paling nyaman di sana Ecca...! kami mendoakanmu.

Cina, awal Februari
# ia begitu dekat

Komentar

Postingan Populer