duet maut

Kutemukan lagi laptopku setelah maha dan aira dua hari ini entah kenapa begitu gandrung menikmati video-video anak berbahasa Inggris yang tersave untuk keperluan ngajar di English Home, dan memang sesekali untuk merefresh maha dan aira dari kegiatannya yang semakin ke sini semakin memerlukan suara lantang untuk mengatasinya. Sesekali, tapi hampir dua hari ini dua bocah itu menguasai perangkat kerjaku dan sepanjang hari dan malam sibuk melahap tontonan yang mereka sukai. Children!!!
Modemku yang sedang bermasalah, kerjaan tetek bengek administrasi English Home hampir rampung membuatku juga legowo memberikan benda ini pada dua anak ini. Dua anak yang semakin hari menuntutku, mama, mami dan semua orang untuk bekerja lebih keras. Usia Aira dan maha yang hanya terpaut 11 bulan, dan hidup bersama selama ini membuat mereka punya kemampuan dan keinginan yang selalu sama. Bermain bersama, berlari mengitari rumah dengan resiko jatuh yang sama, kalau yang satu tiba-tiba lapar dan minta susu yang satu sedetik kemudian juga akan meminta susu dengan teriakan yang lebih keras. Bersama mereka sepanjang pagi dan aku hanya sendiri kadang membuatku lelah. Akhir-akhir ini seperti kebanyakan anak-anak lain, mereka senang bermain air. Sedkit-sedkit mereka lari ke bawah. “mau apa nak?”...”mau cuci tangan bu,”..”mau cuci mulut bu”..”mau mandi bu”..”mau pipis bu”..dan segala mau yang menjadi alasan mereka untuk masuk WC dan nantinya akan saling menyirami, membasahai kepala, baju, celana. Tentu tidak aneh, karena semua mau itu mereka maui berdua secara bersamaan, tanpa kompromi walaupun aku telah berteriak lantang sampai pejalan kaki di jalan raya sana mungkin mendengarku. Apalagi  mereka akan melakukannya 2-4 kali sebelum sore tiba.
Aku sudah sempat menuliskannya, bahwa masing-masing anak ini menurutku sedang memasuki tahapan baru perkembangan kanak-kanaknya. Dan maha begitu mempengaruhi perkembangan aira. Segala yang diinginkan maha juga diinginkan aira, segala yang dilakukan maha juga ingin dilakukan aira, jika salah satu dari mereka memilih memakai baju tidur di siang hari yang panas, maka yang lain juga akan meminta yang sama, pertimbangan alasan tidak lagi mereka dengar. Mereka seolah kebal dengan semua kata tidak.
Dan masalahnya, akan lebih sulit jika mereka mulai bertikai. Seperti yang kukatakan, maha mengalami proses yang cukup signifikan apalagi tentang bersosialisasi dengan kehidupannya. Jika dulu maha mampu dengan tegas mengatakan saat ia marah atau menginginkan sesuatu, maha kini mampu menjalankan berbagai alternative untuk meproklamirkan kalau dirinya marah. Dengan tidak mengajakkku bicara, tidak ingin dinyanyikan, tidak ingin tidur denganku atau segala bentuk yang menyatakan protesnya. Jika dulu maha hanya mampu menangis saat menginginkan sesuatu, kini ia akan berkeras menuntut semua orang apalagi yang telah terlanjur mengucapkan janji padanya. Jika dulu maha memilih untuk mengalah pada aira untuk semua perselisihan kank-kanaknya, atau ia rela Aira menggigitnya, kini tidak lagi. Dulu, aku sempat sering memberitahu maha untuk sessekali melawan saat aira tiba-tiba datang “menindasnya”, namun kali ini ia tidak hanya melawan. Ia juga tidak jarang menyulut api pertengkaran. Ia yang lebih punya kosa kata banyak saat ini bagitu senang memperminkan Aira. Mengatakan Aira jelek lah, mengatakan Aira masih kecil lah, mengatakan Aira cengeng lah, mengatakannya dengan nada mengejak yang akan membuat Aira jengkel dan memburunya tanpa ampun. Dan pertengkaran akan dimulai. Entah kenapa, menurtku maha senang melihat aira jengkel dan ia kerap melakukannya.
Pertikaian tidak hanya sebatas itu, jika dulu aira hampir selalu menang dengan semua inginnya, kini tidak lagi. Lagi-lagi maha tidak serela dulu, melihatku lebih mendahulukan aira daripada dia. Jika membuat susu, maha tidak ingin aira dibuatkan susu lebih dulu. Saat aira minta diayun, maha tiba-tiba walau tanpa ngantuk akan meminta diayun lebih dulu. Jika memilih buku untuk dibacakan, maha berkeras ingin membaca buku yang telah dia pilih bukan pilihan aira. Aira yang punya watak keras sejak dulu, tentunya tidak dengan mudah membirakan segala keistimewaan yang dulu ia dapat dari kakak mahanya perlahan tiba-tiba berkurang. 
Dan ceritanya, selalu akan berujung pada tangis keduanya. Apa itu menyelesaikan masalah? Tentu tidak. Saat menangis mereka akan menggelayut padaku bersamaan, dan bersikeras untuk diperhatikan dengan porsi yang sama.
Hariku akan lega saat mereka telah terlelap dalam lelah dan sekaligus mengumpulkan tenaga untuk kembali “beraktivitas”. Dan kali ini, giliran mama. Walau hanya sekitar 10 jam masa aktif keduanya dalam sehari, di ujung malam aku sering terkapar. Mereka tidak hanya menguras tenagaku, tapi lebih banyak pikiran. Toh tidak mudah memikirkan win-win solution untuk setiap pertengkaran yang mereka hadapi hampir setiap waktu. Makanya, salah jika masih banyak pemikiran yang sepakat bahwa menjadi ibu itu tidak butuh harus kuliah HI lebih dulu. Hahahahahaha.....mungkin tidak perlu HI, tapi menjadi ibu butuh kecerdasan mengolah emosi, mengakali sesuatu,harus pandai berlakon secara maksimal, berlatih menyanyi, praktek mendongeng, dan semuanya kadang harus dilakuka secara bersamaan.
Lagi kutekankan, dua anak itu, duet maut yang sangat berbakat. Mereka berbakat mengajariku,mengajari kami siang dan malam untuk tidak berhenti mengecap lelah yang berbeda, untuk tidak berhenti menghela nafas dengan teratur demi melihat mereka tumbuh besar. Cape’ pastinya, tapi ini pengalaman berharga..ini perjalanan yang harus kita lalui untuk menjadi lebih baik.

Ibu Nhytha
22 Februari 2012
#bersama rindu yang menggunung

Komentar

Postingan Populer