Saatnya Kembali Bergerak !


Oleh : Zulkhair Burhan[1]

            Ditengah berbagai krisis yang sedang dialami oleh bangsa ini, maka sektor pendidikan tentu merupakan sektor yang perlu mendapat perhatian oleh semua kalangan khususnya oleh (gerakan) mahasiswa. Hal ini tentu sangat beralasan apalagi jika dikaitkan dengan peranan mahasiswa yang seharusnya menjadi vanguard atau pelopor dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita terwujudnya perubahan sosial yang sejati. Atau akan lebih mudah barangkali jika kita kembali mengingat peran mahasiswa sebagai agent of change & social control seperti yang sampai saat ini masih sering didengung-dengungkan oleh teman-teman mahasiswa meski jargon tersebut kini sudah usang (paling tidak menurut saya) jika diperhadapkan dengan wajah “asli” gerakan mahasiswa saat ini.
            Dalam tulisan ini minimal ada dua hal yang akan menjadi titik tekan pembahasan saya. Pertama, mengenai kondisi pendidikan saat ini terkhusus dalam kaitannya dengan kebijakan privatisasi kampus. Dan kedua, mengenai wajah gerakan mahasiswa kontemporer dengan segala problematikanya. Dengan menggeledah dua hal ini, saya berharap kita akan mampu merumuskan pola resistensi atau paling minimal mampu membuka perspektif kita dalam mengamati fenomena mutakhir seputar keduanya yang memiliki hubungan yang sangat terkait.

Pendidikan dan Kuasa Modal

            Sesuai dengan amanat konstitusi kita bahwa negara berkewajiban untuk memberikan pendidikan yang layak bagi setiap rakyat Indonesia tanpa terkecuali sebagai jalan untuk mencerdaskan bangsa ini. Dengan demikian, pendidikan seharusnya menjadi “barang” yang mudah diakses bagi siapa saja tanpa memepertimbangkan kelas sosial tertentu.
            Logika diatas jelas kontradiktif dengan doktrin neoliberalisme yang saat ini menjadi rujukan utama kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dotrin neoliberalisme mengisyaratkan bahwa berbagai hal yang sebelumnya menjadi tanggungjawab sosial atau menjadi tanggungjawab negara dialihkan menjadi tanggungjawab individu. Sehingga kemiskinan dan kebodohan (baca:tidak mampu mengakses pendidikan yang layak) yang dialami mayoritas rakyat Indonesia dinisbahkan sebagai kesalahan individual rakyat Indonesia yang menurut McLelland tidak memiliki “N’Ach” atau Need for Achievement yaitu keinginan untuk berprestasi. Dengan pandangan ini kita akan terjebak pada proses blaming the victim (menyalahkan korban) yang oleh Kang Jalal dalam bukunya Rekayasa Sosial diketegorikan sebagai salah satu bentuk kesalahan berpikir.
            Dalam logika ekonomi neoliberal diterangkan bahwa semua sektor kehidupan termasuk pendidikan harus diarahkan pada kompetisi yang sebebas-bebasnya (laissez faire). Ini berarti bahwa sektor pendidikan yang sebelumnya mendapat perhatian penuh oleh negara melalui jaminan subsidi, kemudian harus dicabut sepenuhnya. Bagi pemerintahan pro neoliberal, subsidi merupakan bentuk  intervensi yang memboroskan anggaran dan mendistorsi pasar, hingga harus  dihapus.  Dengan demikian sektor pendidikan dituntut untuk memenuhi pembiayaan pendidikan dengan usaha sendiri. Kondisi inilah yang membuka peluang besar terjadinya komersialisasi dan swastanisasi pendidikan. Dan sasaran empuknya tentu rakyat miskin yang semakin tidak mampu mengakses pendidikan yang layak dan bermutu.
            Dalam suatu diskusi informal, seorang mahasiswa baru dengan lugunya bertanya kepada saya, “Apa Presiden SBY tidak pernah membaca buku Orang Miskin Dilarang Sekolah hingga ia tega mencabut subsidi pendidikan?. Jawaban dari pertanyaan ini tidak cukup dengan menyederhanakannya bahwa ini hanya persoalan watak birokrasi kita yang sarat  KKN, bad governance dan sebagainya. Namun lebih dari itu mesti kita lihat bahwa kebijaan seperti pencabutan subsidi sosial yang berujuang pada liberalisasi berbagai sektor semisal pendidikan adalah konsekuensi keikutsertaan negara dalam pelaksanaan paketan kebijakan neoliberal yang dipaksakan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam GATS (General Agreement on Trade in Services), yang merupakan salah satu persetujuan di WTO, tingkatan pendidikan yang akan diliberalisasi terdiri dari Primary Education Services; Higher Education Services; Adult Education; Other Educations Services  (Darmaningtyas:2005). Negara kita yang merupakan anggota WTO tentu akan serta merta menjalankan kebijakan liberalisasi di sektor pendidikan sesuai yang tercantum dalam perjanjian diatas.

Resistensi Vs Pragmatisme !

            Mungkin sudah tidak tepat kalau hari ini masih ada yang tetap ingin “beromantisme” dengan sejarah bahwa teman-teman mahasiswa pernah menghasilkan reformasi 1998 dan kemudian membiarkan kampus tidak ubahnya seperti kondisi tahun 1970-an ketika kampus dikebiri dengan NKK/BKK. Coba tengok fenomena mutakhir di kampus ini! puluhan orang di skors di Fisip semuanya adem2 saja, saat birokrat kampus memberikan beasiswa beserta “kesenangan-kesenangan dunia” yang lain kepada mereka yang diklaim “aktivis” kampus toh riaknya hanya sebatas “bisik-bisik tetangga” atau hanya menjadi berita di koran kampus yang menjadi alas shalat jum’at, dan serentetan masalah yang menurut saya sedianya telah menyiapkan panggung buat teman-teman mahasiswa untuk kembali “menggelorakan” kampus.
            “mati enggan hidup pun tak mau”. Nah seperti itu kira-kira kondisi kelompok-kelompok “resisten” di sisi yang lain. Kelompok yang beberapa tahun sebelumnya biasanya sering menjadi inisiator atas munculnya riak-riak perlawanan saat ini justru terlihat agak stagnan dan sedikit banyak juga ikut menikmati kondisi kampus yang sangat pragmatis. Tapi sekali lagi bukan berarti perlawanan tidak muncul, namun memang perlawanan yg muncul sangat sporadis dan tentatif dan kualitas serta kuantitasnya sangat menurun dan justru terjadi di tengah himpitan berbagai kontradiksi yg sekali lagi seharusnya mendapatkan respon aktif.

Start It Now !

            Gerakan mahasiswa saat ini adalah lini terlemah dari gerakan rakyat. Gejala ini sebenarnya sudah terlihat agak lama. Gerakan mahasiswa harus mampu keluar dari agenda politik sempit dari para seniornya. Gerakan mahasiswa juga harus menemukan metode-metode perjuangan baru yang lebih efektif guna merespon kondisi-kondisi baru yang saat ini menjadi realitas dan potret mahasiswa Indonesia. Bahwa akibat dari komersialisasi pendidikan lapisan-lapisan sosial yang mampu mengakses pendidikan tinggi semakin homogen yaitu dari kelompok menengah keatas. Namun ini bukan hambatan hanya dibutuhkan penyesuaian metode-metode perjuangan yang lebih cocok karena fakta sejarah menunjukan bahwa gerakan menuju kemerdekaan nasional pada awal abad 20 di Indonesia salah satu pilarnya adalah lapisan mahasiswa/intelektual muda yang saat itu juga berasal dari golongan menengah, bahkan sebagian dari golongan ningrat.


[1] Penulis kini sedang menggeluti usaha percetakan
 
Tulisan ini dipresentasikan dalam Diskusi MILAD UKPM Unhas dengan tema Resistensi Unhas Menuju BHP (kalo nda' salah Tahun 2007...)

Komentar

Postingan Populer