Neoliberalisme & Kesenjangan Struktural


Pendahuluan

Laju globalisasi di berbagai sektor secara massif tidak bisa dipungkiri telah membawa kemajuan yang begitu pesat. Bahkan tidak sedikit yang menganggap bahwa kemajuan yang dihasilkan globalisasi berbanding lurus dengan kesejahteraan dan kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat dunia. Namun berbagai fakta berupa publikasi maupun hasil survey yang ditampilkan untuk menjustifikasi kemajuan yang dicapai sering mengabaikan atau justru “melupakan” fakta yang lain. Dalam artian kemajuan yang ditafsirkan dengan deretan angka-angka mengagumkan tersebut justru seolah mengaburkan fakta munculnya persoalan ketimpangan atau kesenjangan sosial yang terjadi.
Persoalan kemiskinan menjadi masalah krusial berkaitan dengan kesenjangan sosial yang terjadi saat ini. Bisa kita katakan bahwa munculnya fakta kemiskinan sekaligus bisa menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan sebuah proyek pembangunan di sebuah negara. Ketika persoalan kemiskinan dan pengangguran bisa ditekan secara drastis, itu berarti bahwa proses pembangunan bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya yang berarti potensi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya secara ekonomi relatif bisa diwujudkan. Namun sebaliknya, apabila proses pembangunan berjalan secara tidak merata kemungkinan besar justru akan menimbulkan kemiskinan dan pengagguran yang semakin signifikan.
Banyak pendekatan yang bisa digunakan untuk melihat dan menganalisa faktor-faktor yang mendasari munculnya realitas kemiskinan. Namun tidak banyak pendekatan yang mampu menelisik lebih jauh mengenai faktor fundamental dari kemiskinan itu sendiri bahkan justru menjauhkan dan mengaburkan fakta kemiskinan itu sendiri. Pendekatan-pendekatan dominan yang dipubikasikan berupa data-data hasil survey sering hanya berupa deretan rumus matematis yang mekanik dan cenderung terlalu simplistis. Akibatnya solusi yang diterapkan pun sangat tentatif dan dan tidak menjawab akar persoalan yang sebenarnya.

Definisi dan Klasifikasi Kemiskinan

Jeremy Seabrook menganggap bahwa pada dasarnya kemiskinan tidak perlu didefinisikan karena faktanya yang begitu kasat mata.[1] Meski tanpa hasil statistik kita dengan mudah akan mengenali fenomena kemiskinan tersebut karena praktis dia ada disekitar kita bahkan sangat dekat dengan kehidupan keseharian kita. Meski demikian tidak bisa kita pungkiri bahwa tema seputar definisi atau klasifikasi kemiskinan masih terus menjadi perdebatan yang hangat.
Ben E. Aigbokhan, misalnya melihat bahwa kemiskinan menyangkut ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi syarat minimal bagi kelangsungan hidup.[2] Sedangkan Anthony Hall dan James Midgley, melihat bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang mengalami kekurangan baik secara material maupun sosial yang mengakibatkan seseorang hidup dibawah standar hidup yang layak; atau kondisi dimana seseorang mengalami kekurangan secara relatif dibandingkan dengan orang lain dalam masyarakat.[3]
Selanjutnya, selain memberi definisi para ahli juga memberikan klasifikasi yang sering menjadi penyebab kemiskinan itu sendiri. Paling tidak ada dua hal yang penting untuk diperhatikan, yaitu mengenai kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Meski memakai term yang sama namun referensi-referensi tersebut memiliki definisi yang berbeda-beda tentang dua klasifikasi diatas. Ada yang menganggap bahwa kemiskinan absolut adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan tingkat kemiskinan dalam memenuhi kebutuhan primernya. Sedangkan, kemiskinan relatif lebih berpretensi kepada tolak ukur masing-masing individu terhadap individu yang lain.[4] Sementara pandangan yang lain, melihat bahwa kemiskinan absolut adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki apa-apa secara material dan berada dalam kondisi bahaya karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan kemiskinan relatif dimaknai serupa dengan pandangan diatas yang lebih melihat bahwa kemiskinan merupakan definisi yang dihasilkan oleh masing-masing individu.[5] Selain itu, ada juga melihat bahwa kemiskinan absolut disebabkan oleh minimnya ketersediaan barang dan jasa, terjadinya ledakan penduduk, dan ketidakmampuan negara mendistribusikan resources secara merata.[6]
Dari definisi yang dipaparkan diatas, bisa kita katakan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang tidak bisa memperoleh kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidupnya sebagai manusia. Secara kritis, kita perlu melihat dan memahami bahwa pendefinisian dan klasifikasi mengenai kemiskinan akan lebih baik jika berkontribusi untuk menemukan akar kemiskinan itu sendiri dan pada gilirannya bisa mengkonstruksi ide-ide alternatif untuk menanggulanginya. Misalnya ketika melihat kemiskinan secara personal saja maka kemungkinan besar kita akan terjerumus pada “viktimisasi” atau menyalahkan korban. Pandangan ini tentu sangat menyesatkan karena dengan pandangan ini seolah-olah melihat agen (individu) terpisah dari strukturnya yakni relasi ekonomi politik. Atau pandangan yang lebih kalkulatif dimana kemiskinan diukur dengan angka-angka matematis yang pada akhirnya menganggap bahwa kemiskinan hanya karena persoalan mismanagement negara sehingga solusinya adalah peningkatan kapasitas penyelenggara negara. Dengan demikian berarti kita sekali lagi terjerumus pada pandangan yang sangat “personal”.
Menganalisa fakta kemiskinan tentu bisa menggunakan banyak perspektif tergantung bagaimana kita melihat realitas kemiskinan. Dalam tulisan ini, kami lebih melihat bahwa kemiskinan adalah persoalan struktural atau sistemik.

Kemiskinan Struktural

Selo Soemardjan mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan pengertian kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosialnya membuat masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.[7]
Definisi yang diberikan diatas, sedikit banyak bisa mengantar kita kepada apa yang kami maksud dengan kemiskinan struktural. Artinya bahwa ketidakmampuan seseorang atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya tidak terjadi secara “alamiah”. Konsekuensi pendekatan ini tentu tidak hanya akan melihat fakta kemiskinan yang ada namun juga akan dipahami bagaimana proses pemiskinan itu berlangsung. Kondisi tersebut hadir sebagai akibat dari praktek sebuah sistem yang mengejawantah dalam kebijakan ekonomi politik yang begitu mengglobal dan kita mengenalnya dengan sebutan neoliberalisme.

Napak Tilas Neoliberalisme

Terminologi neoliberalisme merujuk pada liberalisme klasik ala Adam Smith yang terkenal dengan karyanya The Wealth of Nations (1776). Inti ajarannya mengenai kebebasan individu. Smith menganjurkan untuk mengurangi bahkan menghilangkan peran negara dalam sektor ekonomi atau pasar dan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu (swasta) untuk berinteraksi melalui mekanisme pasar bebas. Karena bagi Smith, pasar mempunyai mekanisme regulator sendiri yang dia sebut dengan “the invisible hand”.[8]
Liberalisme hadir sebagai solusi untuk menjawab krisis yang inheren dalam tubuh sistem produksi kapitalisme. Watak sistem kapitalisme yang akumulatif membuatnya harus berproduksi secara massal dan “anarkis” sehingga terjadi apa yang disebut over capacity atau over production. Inilah yang menjadi akar krisis yang juga terjadi saat ini dengan varian yang berbeda. Untuk menjawab krisis over produksi tersebut maka dibutuhkan perluasan pasar sehingga logika liberalisme menemukan pembenarannya.
Lahir sebagai solusi liberalisme juga mengalami nasib yang sama, menuai krisis. Persoalan dasarnya sama krisis over produksi. Komoditas diproduksi tidak untuk memenuhi kebutuhan pasar yang abstrak. Akibatnya jumlah komoditas yang diproduksi menjadi tak terbatas jumlahnya, tergantung pada fluktuasi (naik turunnya) permintaan pasar yang tidak bisa diramalkan sehingga terjadi produksi massal. Karena konsumsi dalam negeri menurun akibat produksi yang berlebih maka menimbulkan stagnasi dalam negeri.
Untuk menjawab itu, maka yang terjadi adalah perebutan pasar-pasar produktif. Perebutan pasar dunia itulah yang memicu pecahnya Perang Dunia I ditahun 1918. Dengan perang pasar dibagi-bagi oleh negara-negara industri maju. Pasca-Perang Dunia I, produksi ekonomi yang dituntun liberalisme pasar terus berjalan tanpa kendali sehingga Perang Dunia I tak sanggup mengatasi krisis kelebihan produksi itu, yang akhirnya meledak dalam wujud Depresi Besar (Great Depression) pada dekade 1930-an.
Kondisi kontraksi akibat pengetatan di hampir semua sektor produksi ekonomi kemudian menciptakan pengangguran yang luar biasa. Liberalisme kemudian dianggap gagal dan kemudian muncullah John Maynard Keynes dengan karya terkenalnya “The End of Laissez Faire” pada tahun 1926 berusaha memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi akibat krisis yang terjadi. Bagi Keynes, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi maka dibutuhkan kondisi yang disebutnya full employment (keadaan tanpa pengangguran).[9] Prinsipnya bahwa untuk menciptakan kondisi tanpa pengangguran maka dibutuhkan intervensi negara secara aktif. Negara bukan hanya menyediakan kebutuhan social warganya seperti keamanan, pemberantasan kemiskinan, sesuai ajaran Smith, namun lebih dari itu negara justru harus menjadi investor dan “pemain” aktif dalam sistem ekonomi.
Ajaran Keynes inilah yang diadopsi oleh Presiden Roosevelt melalui program New Deal di tahun 1935. Program yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan banyak orang dan meningkatkan daya beli. Perhatian pemerintah yang begitu intensif dalam sektor perekonomian kemudian menciptakan lapangan pekerjaan yang besar sehingga persoalan pengangguran yang begitu kronis selama periode depresi dapat diatasi. Jadi prinsipnya, bahwa sitem kapitalisme akan bisa bertahan jika negara tidak hanya menjadi “parasit” namun lebih dari itu harus memainkan peran aktifnya.
Belajar dari pengalaman krisis 1930-an akibat over produksi, maka bentuk intervensi negara adalah dengan membuka pasar negara lain bagi produk industri maju dan jalan paling ampuh adalah dengan melakukan perang. Bagi Keynes, perang menjadi hal yang tidak dapat terelakkan karena kemampuannya untuk menciptakan pembelanjaan dalam skala besar yang dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Pasca Perang Dunia II (sampai tahun 1970-an), dunia menghadapi Masa Keemasan (Golden Age) karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang sekaligus menandai keberhasilan negara-negara kesejahteran (welfare state).
Karena tetap berjalan dengan logika kapitalisme, menjelang akhir 1960-an sampai 1970-an kembali terjadi krisis akibat over produksi. Berbeda dengan krisis 1930-an, kali krisis bukan karena praktek pemujaan terhadap pasar yang berlebihan tapi justru akibat intervensi pemerintah yang dianggap menjadi hambatan perluasan pasar. Dan krisis ini menjadi babak akhir penerapan sistem Keynesianisme dan sekaligus menjadi babak baru lahirnya kembali sistem liberalisme dengan wajah barunya, neoliberalisme.
Neoliberalisme menurut David Harvey pada awalnya merupakan sebuah teori ekonomi politik yang melihat bahwa kesejahteraan dan “kebaikan bersama” hanya bisa dicapai jika telah terbentuk sebuah pranata yang dicirikan oleh kepemilikan pribadi yang kuat, pasar bebas dan perdagangan bebas. Sedangkan negara berposisi tidak lebih sebagai institusi yang bertanggungjawab untuk menjamin dan melindungi eksistensi pranata tersebut.[10]
Adapun poin-poin utama neoliberalisme menurut Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia antara lain:
1.       Hukum pasar, kebebasan bagi modal, barang dan jasa, sehingga pasar bisa mengatur dirinya sendiri agar gagasan “tetesan ke bawah” dapat mendistribusikan kekayaan. Juga mencakup upaya agar tenaga kerja tak diwakili serikat buruh, dan menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi mobilitas modal, seperti peraturan-peraturannya. Kebebasan tersebut harus diberikan oleh negara atau pemerintah.
2.      Mengurangi pembelanjaan publik bagi pelayanan-pelayanan sosial, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.
3.      Deregulasi, agar kekuatan pasar bisa bekerja menurut mekanisme aturannya sendiri.
4.      Swastanisasi perusahaan-perusahaan milik publik (seperti perusahaan-yang mengelola kebutuhan air, dsb)
5.      Mengubah persepsi baik tentang publik dan komunitas menjadi individualisme dan tanggung jawab individual.[11]

Neoliberalisme juga memperkenalkan kita dengan aktor-aktor penting yang kemudian “memuluskan” proses dominasi dan hegemoni sistem ini. Selain negara-negara maju yang selama ini menjadi hegemon, dibalik mereka berdiri dengan kokoh perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) dan transnasional (TNCs) yang menancapkan dominasinya dalam pentas ekonomi politik global. Bahkan Korten berani mengklaim bahwa dunia ini sedang diatur oleh korporasi-korporasi raksasa dihampir semua sektor kehidupan.[12] Dan yang tidak kalah penting untuk dicermati adalah peran signifikan dari lembaga-lembaga multilateral produk Bretton Woods; IMF, Bank Dunia dan WTO. Lembaga-lembaga ini lah yang bertugas menciptakan aturan main di hampir semua sektor.
Cara kerja sistem ini dengan pilar-pilar penyokongnya begitu canggih dan sistematis. Urusan investasi misalnya, kita diperkenalkan dengan istilah ekspor kapital  yang menjadi konsekuensi liberalisasi sektor keuangan dan lahirnya term capital finance. Cukup dengan sekali klik “enter” dunia ini bisa digenggam. Selanjutnya, munculnya tren regionalisme yang pada dasarnya merupakan upaya untuk mempercepat proses penguasaan pasar dengan cara yang lebih teregulasi.

Neoliberalisme dan Pemiskinan

Untuk melihat bagaimana neoliberalisme menjadi salah satu penyebab proses pemiskinan, maka kita bisa berangkat dari dua cara pandang. Pertama, dengan melihat bagaimana konsepsi neoliberalime terhadap prinsip “common good” atau kebaikan bersama atau lebih sederhananya bagaimana neoliberalisme memandang konsep-konsep universal seperti keadilan, kesejahteraan untuk masyarakat. Kedua, dengan langsung melihat manifestasi prinsip-prinsip dasar diatas dengan menilik varian kebijakan ekonomi politik yang diterapkan.
            Menurut Harvey, neoliberalisme memandang bahwa kepercayaan etis seperti; pembagian kerja, relasi sosial, cara hidup dan berpikir, aktivitas reproduksi, mesti dibingkai dalam apa yang disebut sebagai relasi-relasi kontrak.[13] Dalam artian bahwa seluruh aktivitas manusia yang sifatnya merupakan fitrah manusia diarahkan untuk mengabdi kepada proses transaksional dalam pasar. Dengan demikian ide mengenai kesejahteraan, kemakmuran, kebaikan bersama akan mustahil dicapai ketika asumsinya tidak dalam kerangka untung dan rugi. Dan logika ini pula yang digunakan ketika berbagai hal yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara kemudian dialihkan menjadi tanggungjawab personal.[14]
            Dalam praktek sehari-hari logika ini nampak begitu nyata. Lihat misalnya bagaimana ketika hak-hak dasar masyarakat (pendidikan, kesehatan, pangan dan sebagainya) yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara kemudian diserahkan ke mekanisme pasar. Itu berarti bahwa hak-hak dasar tersebut menjadi komoditi komersial dan yang paling bisa mengaksesnya tentu adalah yang menguasai modal.
            Prinsip-prinsip dasar neoliberalisme tersebut kemudian juga terejawantah dalam berbagai varian kebijakan ekonomi politik yang kemudian dijalankan oleh mayoritas negara-negara di dunia saat ini dengan kadar yang berbeda-beda tentunya. Dan yang perlu dipahami bahwa hampir sering kebijakan tersebut tidak dengan suka rela dijalankan oleh suatu negara tapi justru melalui proses yang direkayasa sedemikian rupa.[15] Dan ini bisa terlihat bagaimana proses pemiskinan dijalankan dengan menggunakan utang luar negeri sebagai medianya. Korten menjelaskan bagaimana Negara-negara Dunia Pertama melalui lembag-lembaga multilateral (IMF dan Bank Dunia) menciptakan ketergantungan melalui media utang luar negeri.[16] Untuk konteks Indonesia saja misalnya karena rasio utang luar negeri kita yang begitu tinggi sehingga anggaran untuk penyediaan kebutuhan pokok masyarakat mesti dipotong dengan persentase yang besar untuk membayar utang luar negeri. Dan berharap utang luar negeri bisa menstimulus pertumbuhan ekonomi domestik pun ternyata kurang beralasan karena selama ini utang luar negeri justru hanya digunakan untuk sektor-sektor yang tidak riil seperti sektor keuangan sementara sektor ekonomi riil yang bersentuhan langsung dengan masyarakat menengah kebawah justru tidak terjamah.
            Setelah menerima utang luar negeri negara-negara peminjam selain harus membayar utang (bunga plus pokok), juga diharuskan untuk menjalankan berbagai kebijakan yang disebut kebijakan penyesuaian struktural (SAP). Paket kebijakan ini harus dijalankan oleh negara peminjam paling tidak karena dua alasan. Pertama, untuk mereformasi sistem ekonomi dalam negeri yang merupakan bahasa lain dari upaya untuk meminimalisir hambatan terwujudnya pasar bebas. Kedua, untuk mengintegrasikan pasar domestik ke pasar global. Secara umum kebijakan penyesuaian struktural ini bisa kita batasi dalam 3 aspek, yaitu, liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Ketiganya merupakan pilar dari konsep pemulihan ekonomi negara-negara berkembang, yang kemudian disebut sebagai Washington Consensus.[17]
            Aspek-aspek diatas perlu dipahami sebagai kesatuan sehingga prakteknya disebuah negara dijalankan secara bersamaan. Liberalisasi dalam berbagai sektor pada dasarnya dilakukan untuk menghilangkan aturan yang dapat membatasi masuknya modal asing dan menyerahkan semua aspek tersebut melalui mekanisme pasar. Dalam konteks WTO misalnya, Indonesia telah meratifikasi berbagai aturan yang mengharuskan kita untuk meliberalisasi berbagai sektor yang dahulu mendapat subsidi pemerintah. Subsidi bagi aturan ini dianggap sebagai hambatan non-tarif yang akan menghalangi terwujudnya pasar bebas. Sebagai contoh, Dalam GATS (General Agreement on Trade in Services), yang merupakan salah satu persetujuan di WTO, tingkatan pendidikan yang akan diliberalisasi terdiri dari Primary Education Services; Higher Education Services; Adult Education; Other Educations Services. Ini berarti bahwa proses liberalisasi di sektor pendidikan akan dan sedang dilakukan mulai dari tingkat pendidikan paling bawah sampai yang paling atas yaitu universitas dan semua institusi-institusi pendidikan lainnya. Apa yang sedang dipraktekkan oleh beberapa kampus negeri di Indonesia melalui skema BHMN atau otonomi pendidikan merupakan contoh kongkret bagaimana hak atas pendidikan dikebiri secara struktural dan sistematis. Atau di sektor pertanian, bagaimana pemerintah meliberalisasi sektor pertanian dengan tidak memproteksi harga pasar yang membuat petani kita tidak mampu bersaing dengan produk asing, belum lagi dengan pencabutan subsidi sampai tingkat paling minimal semakin memperparah kondisi petani dalam negeri.
             Sejalan dengan liberalisasi berbagai sektor, maka dijalankan kebijakan privatisasi yang pada dasarnya adalah upaya untuk memindahkan hak kepemilikan asset-aset strategis (pendidikan, kesehatan, pangan, air, bahan bakar minyak) yang masih berlabel “negara” menjadi “swasta”. Proses privatisasi selalu dijalankan dengan alasan efisisensi karena negara selalu dianggap tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengembangkan sektor-sektor produktif tanpa ada kolaborasi dari pihak asing. Dampak dari kebijakan ini tentu akan paling dirasakan oleh masyarakat bawah. Karena berbagai perusahaan atau asset yang berhubungan langsung dengan hak-hak dasar masyarakat tidak bisa lagi diperoleh secara murah apalagi gratis. Dan privatisasi berbagai sektor juga memicu pengangguran yang luar biasa karena kebijakan PHK missal yang diambil karena alasan efisiensi.
Dan untuk semakin memudahkan ini berlangsung maka dibuatlah aturan dalam skema deregulasi yang akan meminimalisir hambatan terbukanya pasar dalam negeri. Maka lahirlah aturan mengenai Penanaman Modal Asing (PMA) yang sangat berpihak ke peodal asing, Undang-Undang mengenai Perburuhan yang mengekang kebebasan buruh untuk berserikat dan menyuarakan aspirasi, dan bebagai aturan lainnya.
           
Kesimpulan dan Saran

Kemiskinan yang merupakan kondidi dimana seseorang atau asyarakat tidak mampu memperoleh hak-hak dasarnya, perlu dilihat sebagai persoalan struktural namun bukan berarti menuutup peluang untuk melihatnya dari cara pandang yang lain. Dengan melihat kemiskinan secara struktural maka dalm menentukan solusi pemecahannya akan relatif mudah menentukan instrumennya. Kemiskinan struktural akan selalu berkorelasi dengan sistem ekonomi politik yang sedang dijalankan dan kemudian diturunkan melalui kebijakan dalam negeri.
Dalam konteks ini, maka bisa kita analisa bersama bagaimana sistem neoliberal dengan berbagai perangkat turunannya memiliki andil dalam proses pemiskinan secara global. Hal ini bisa terlihat mulai dari cara pandangnya tentang nilai-nilai yang sifatnya universal seperti kesejahteraan, kebaikan bersama dan kesejahteraan. Kemudian dalam prakteknya juga menimbulkan kesenjangan yang luar biasa dimana liberalisasi, privatisasi dan deregulasi merupakan mekanisme yang menempatkan para pemodal sebagai pemenang dalam kompetisi yang disebut sebagai pasar bebas.
            Selanjutnya tentu merumuskan apa yang paling bisa dilakukan. Anda mungkin pernah mendengar slogan There Are Many Alternatives (selalu ada banyak alternatif ). Slogan ini akan mengingatkan kita dengan negara-negara di Amerika Latin yang berpuluh-puluh tahun berjibaku dengan kebijakan neoliberal dan diperparah dengan pemerintahan diktator yang merupakan perpanjangan tangan imperium negara-negara maju. Resep neoliberal semisal pencabutan subsidi sosial (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya) justru membuat mereka semakin miskin dan jauh dari sejahtera. Namun beberapa dekade terakhir, beberapa negara di kawasan ini telah mampu memberikan alternatif kepada negara-negara Dunia Ketiga yang sama-sama terjajah oleh kekuasaan modal. Dan ini tentu tdiak hadir begitu saja namun melalui perjuangan yang panjang.
            Kami kira bahwa negara seharusnya lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Kerjasama dalam berbagi bentuk terhadap pihak asing perlu ditinjau ulang jika berhubungan dengan asset-aset strategis dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat. Dan perlu upaya yang lebih serius untuk mengelola asset dalam negeri yang begitu potensial dan diarahkan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Dan dalam jangka panjang tentu perlu dipikirkan untuk meruuskan mode sistem ekonomi yang berbasis keadilan, kesejahteraan dan kebaikan bersama.  

Referensi:

Buku

Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001

Harvey, David Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Resist Book, Yogyakarta, 2009

Korten, David C., When Corporations Rule The World, Kumarian Press, Inc, and Berrett-Koehler Publishers, Inc.

Martinez, Elizabeth & Arnoldo Garcia, What is “Neoliberalism”?, National Network for Immigrant and Refugees Rights, Januari, 1997

Prasetiantono, Tony, International Monetary Fund (IMF) dalam Neoliberlisme, Editor:I. Wibowo & Francis Wahono, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003

Perkins, John, Confessions of an Economic Hit Man Edisi Bahasa Indonesia, Penerbit Abdi Tandur, Jakarta, 2004

Seabrook, Jeremy Kemiskinan Global, Resist Book, Yogyakarta, 2006

Winarno, Budi Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2008

Winarno, Budi Melawan Gurita Neoliberalisme, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2010


Jurnal

Sitepu, Dewi Sinorita Utang Luar Negeridan Problem kemiskinan Negara Berkembang (Tinjauan Teoritis), Jurnal Global, Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol Universitas Indonesia, Jakarta, 2005


Websites:

Ben E. Aigbokhan, Poverty, Growth and Inequality in Nigeria: A Case Study”, United Nations, 2000, http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/IDEP/UNPAN003895.pdf

http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=637




[1] Jeremy Seabrook, Kemiskinan Global, Resist Book, Yogyakarta, 2006, hal. 31
[2] Ben E. Aigbokhan, Poverty, Growth and Inequality in Nigeria: A Case Study”, United Nations, 2000 diakses dari http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/IDEP/UNPAN003895.pdf
[3] Anthony Hall dan James Midgley, Social Policy for Development. dalam Dewi Sinorita Sitepu, Utang Luar Negeridan Problem kemiskinan Negara Berkembang (Tinjauan Teoritis), Jurnal Global, Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, Hal.3
[4] Ibid, Hal.5
[5] Op.cit, Jeremy Seabrook, Hal. 31, 43
[6] Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2008, Hal. 13
[7] http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=637
[8] Budi Winarno, Melawan Gurita Neoliberalisme, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2010, Hal. 10
[9] Ibid. Hal.20
[10] David Harvey, Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis, Resist Book, Yogyakarta, 2009, Hal. 3
[11] Elizabeth Martinez & Arnoldo Garcia, What is “Neoliberalism”?, National Network for Immigrant and Refugees Rights, Januari, 1997
[12] David C. Korten, When Corporations Rule The World, Kumarian Press, Inc, and Berrett-Koehler Publishers, Inc., Hal. 12-13
[13] Op.Cit, Hal. 6
[14] Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, Hal. 219
[15] John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man Edisi Bahasa Indonesia, Penerbit Abdi Tandur, Jakarta, 2004
[16] Op.Cit, David C Korten, Hal. 160-161
[17] Tony Prasetiantono, International Monetary Fund (IMF) dalam Neoliberlisme, Editor:I. Wibowo & Francis Wahono, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003, Hal. 119

Komentar

Postingan Populer