Amerika Latin: Sebuah Contoh Hidup

Oleh : Zulkhair Burhan

Anda pasti kenal dengan Che Guevara, seorang dokter yang rela memanggul senjata untuk menjatuhkan rezim Batista yang tiran dan despotik. Dan siapa yang tidak kenal dengan Hugo Chavez yang dengan tegas memproklamirkan keberhasilan negaranya lepas dari jerat neoliberalisme sebagai Proyek Sosialisme Abad 21. Tapi kalau anda mendengar nama Jose “Pepe” Mujica, mungkin hanya sedikit dari kita yang mengetahui siapa dan apa hubungannya dengan nama-nama tersohor diatas. Jose Mujica adalah presiden Uruguay yang terpilih di bulan November 2009 dengan suara 52 % yang kemudian menggantikan kepemimpinan sosialis sebelumnya Tabare Vasquez. Jose diusung oleh Frente Amplio yang merupakan partai koalisi politik kiri yang dibentuk tahun 1971, hasil penggabungan dari berbagai kelompok-kelompok kiri—sosialis, trotskys, komunis, Kristen demokrat—dan faksi-faksi hasil perpecahan dari dua partai tradisional reaksioner, Partai Nasional Blancos dan Partai Colorados.
Terpilihnya Jose Mujica menambah deretan panjang pemimpin di Amerika Latin yang memilih untuk berhadapan vis a vis dengan kekuatan pro pasar berlabel neoliberalisme. Sebelumnya telah muncul berbagai nama pemimpin di kawasan ini yang tidak hanya berani berujar dan berteriak lantang saat kampanye tentang mimpi membangun  negara yang berdaulat dan menjamin kesejateraan rakyatnya, namun secara kongkret menjalankan program-program populis pro rakyat meski taruhannya harus berkonfrontasi dengan Negara adidaya sebesar Amerika Serikat. Sebut saja Hugo Chavez dengan Revolusi Bolivarian nya yang berani menasionalisasi PDVSA, sebuah perusahaan minyak yang dimiliki para elit Venezuela yang digunakan untuk memasok 14% pasokan minyak untuk Amerika Serikat dan Hasil-hasil dari nasionalisasi perusahaan minyak adalah re-distribusi kongkrit dari kekayaan nasional yang dilakukan pemerintah Chávez kepada 80% penduduk miskin Venezuela, Evo Morales yang berhasil mengorganisir serikat buruh, para petani koka, dan kaum miskin kota El Alto dan mendukungnya melakukan nasionalisasi industri pertambangan. Atau dalam kadar tertentu Lula Da Silva dengan model penganggaran partisipatif (khususnya di daerah Porto Alegre).
Banyak individu maupun kelompok yang memuji dengan apa yang sedang berlangsung di kawasan selatan benua Amerika ini, namun tidak sedikit yang mencibir dan meragukan kelanjutan serta konsistensi para pemimpin di Negara ini melanjutkan program-program anti neoliberal. Pro dan kontra menanggapi fenomena politik di kawasan Amerika Latin saat ini merupakan hal yang wajar terjadi. Apalagi kebanyakan program yang dijalankan dikawasan ini masih berlabel sosialisme yang masih terus dikaitkan dengan kegagalan sosialisme terpusat dan birokratis Uni Soviet sehingga banyak pihak yang tetap dengan keraguannya akan keberlanjutan program-program populis di kawasan ini.
Saya kira dimanapun posisi kita dalam melihat fenomena di Amerika Latin, perlu untuk mengamati dan menganalisanya secara cerdas. Hal ini perlu dilakukan sehingga perdebatan dan diskursus yang terbangun tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kondisi Amerika Latin saat ini bisa lebih produktif dan kontributif.
Neoliberalisme  & Kesenjangan
Pergeseran arah politik mayoritas Negara-negara di kawasan Amerika Latin yang ditandai dengan terpilihnya beberapa presiden yang berhaluan “kiri”[1] dan mengusung platform anti neoliberalisme menjadi fase baru dalam lanskap politik di kawasan ini. Perubahan ini juga bisa dipahami sebagai upaya untuk mengakhiri krisis ekonomi maupun politik yang telah berlangsung sekian puluh tahun akibat penerapan kebijakan neoliberal dalam ranah ekonomi politik yang sangat tunduk terhadap logika pasar dan tentunya hanya menguntungkan Negara-negara maju dan segelintir elit nasional.
Kawasan Amerika Latin menjadi salah satu area percobaan kebijakan neoliberal sebelum akhirnya menggurita ke hampir seluruh dunia. Bahkan Martha Harnecker menjelaskan bahwa kawasan Amerika Latin khususnya Chili menjadi “kelinci percobaan” sistem ini sebelum akhirnya Margareth Thatcher mempraktekkan sistem ini dan meyakinkan kita bahwa inilah satu-satunya alternative untuk menjawab semua persoalan yang dihadapi oleh semua Negara.
James Petras mencatat terdapat tiga gelombang siklus neoliberal di Amerika Latin. Gelombang pertama terjadi sepanjang dekade 1980-an, kira-kira bersamaan waktu dengan transisi hasil negosiasi antara kediktatoran militer dengan pemerintahan sipil yang berlangsung di hampir seluruh benua ini. Gelombang kedua mengikuti arah ujung dekade hingga paruh pertama dekade 1990an. Gelombang ketiga neoliberal dimulai pada akhir gelombang kedua hingga periode sekarang ini.[2]
Fernando Belaúnde dan Alan García di Peru, Raúl Alfonsín di Argentina, Miguel de la Madrid di Mexico, Julio Sanguinetti di Uruguay, dan José Sarney di Brazil, adalah figur-figur terkemuka yang memimpin gelombang pertama rejim neoliberal hasil pemilu. “Gelombang” kedua dari politikus-politikus elektoral neoliberal, adalah Carlos Andrés Pérez di Venezuela, Carlos Menem di Argentina, Fernando Collor di Brazil, Alberto Fujimori di Peru, Jaime Paz Zamora di Bolivia, Luis La Calle di Uruguay, dan Carlos Salinas di Mexico. Sedangkan gelombang ketiga rejim demokrasi-neoliberal berhasil memperoleh kekuasaan antara tahun 1993 dan 1995. Mereka terdiri dari Alberto Fujimori di Peru dan Carlos Menem di Argentina, keduanya terpilih kembali dalam pemilu, pemerintahan Ernesto Zedillo di Mexico, Rafael Caldera di Venezuela, Gonzalo Sánchez de Losada di Bolivia, dan Fernando Henrique Cardoso di Brazil.[3]
Pada tiap gelombang yang digambarkan oleh Petras diatas, dapat kita simpulkan bahwa semua pemimpin yang terpilih menggunakan isu-isu populis hanya untuk meraup suara maksimal dalam proses elektoral. Pada gelombang awal misalnya, para pemimpin yang terpilih ini memanfaatkan gelombang eforia “redemokratisasi” dan ekspektasi para konstituen tentang iklim politik yang lebih kondusif dan keterbukaan ekonomi yang diharapkan menghantar pada peningkatan kesejahteraan. Sedangkan pada gelombang kedua dan ketiga, para pemimpin ini menggunakan ketidakpuasan rakyat terhadap otoritas yang berkuasa sebelumnya akibat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada mayoritas rakyat yang termajinalisasi secara politik maupun ekonomi sebagai komoditi politik yang tujuan akhirnya hanya untuk melegalkan kekuasaan mereka. Dan selanjutnya, semua pemimpin pada ketiga gelombang ini memiliki kesamaan lain yaitu semuanya menjalankan kebijakan Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment Program/SAPs). Secara prinsipil, kebijakan ini merupakan alat kekuasan bank Dunia, namun juga digunakan oleh IMF, bank-bank pembangunan multilateral lainnya, dan agen-agen bantuan bilateral. Program ini umumnya menuntut privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara, pengurangan belanja negara, dan liberalisasi perdagangan. Dan semua ini ditujukan untuk membuka ekonomi domestik guna menarik investasi atau modal asing. Dengan menderegulasi pasar dan menawarkan upah murah, serta tingkat bunga yang tinggi dan mendorong aktivitas sektor swasta, termasuk perluasan produksi barang-barang untuk ekspor.[4]
Sebagai contoh, Steve Kangas mencatat bagaimana kelompok “penganjur neoliberal” yang dijulukinya sebagai The Chicago Boys mendesain platform ekonomi Chili yang kemudian menjadi cikal bakal terjadinya krisis yang berkelanjutan. Pada tahun 1975, 30 orang Chili berpredikat Ph.D jebolan Universitas Chicago dan selama masa studi pascasarjana nya dibimbing oleh Miltod Friedman –pentolan pemikir neolib- bersama IMF dan Bank Dunia merancang dan menjalankan Program Pemulihan Ekonomi (Economic Recovery Program/ ERP) dengan memberikan pinjaman sebagai prakondisi. Fase pertama program ini dilakukan dengan pengurangan suplai uang dan belanja negara, hingga mampu memangkas angka inflasi hingga level yang bisa diterima. Namun, program ini juga ikut meyebabkan peningkatan jumlah pengangguran dari 9,1 persen hingga 18,7 persen antara 1974 dan 1975, angka yang setaraf dengan masa “Depresi Besar” (Great Depression) Amerika. Dengan pengeluaran yang dikurangi 12,9 persen, Chili terjerembab dalam krisis terparah sejak tahun 1930.[5] Dan secara politik, krisis ini diperparah dengan kebijakan yang represif dan anti demokrasi oleh Pinochet.
Upaya untuk memastikan terbukanya pasar bagi kepentingan Negara maju khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa melalui paket kebijakan neoliberalisme juga dilakukan dengan membangun rezim “klien” politik dengan menempatkan pemimpin dari blok militer maupun sipil. Selain untuk memuluskan invasi kapital Negara-negara imperial para “klien” ini juga melakukan tindakan represif terhadap rezim populis nasionalis maupun sosialis yang justru mempromosikan program-program populis seperti nasionalisasi terhadap sumber-sumber energi dan perusahaan-perusahaan yg berbasis industri. Pola ini dilakukan sejak tahun 1950-an sampai akhir tahun 2000-an.[6]
Resistensi & Solidaritas
Kegagalan rezim neoliberal di Amerika Latin yang disokong oleh Negara-negara maju dan lembaga-lembaga keuangan internasional untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada mayoritas rakyat bisa dianggap sebagai motif utama munculnya resistensi dari berbagai macam kelompok dengan spektrum politik dan  ideologi yang berbeda-beda. Hal ini cukup beralasan karena setelah lebih dari dua dekade program-program penyesuaian struktural yang terus dipakai sebagai solusi atas krisis yang terjadi justru hanya menciptakan krisis baru dan semakin memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat yang secara politik juga sangat tidak berdaulat.
Perlawanan yang dilancarkan oleh beberapa Negara di kawasan ini atas dominasi Amerika Serikat menarik untuk dicermati karena beberapa hal. Pertama, kawasan ini merupakan wilayah pertama sejak berakhirnya Perang Dingin yang mayoritas negaranya berseberangan dengan kelompok Negara-negara hegemon. Kedua, resistensi yang kemudian memunculkan pemimpin-pemimpin baru ini meski mayoritas berplatform “kiri” dan anti neoliberal namun spektrum politik dan ideologinya berbeda-beda. Ketiga, variasi metode perjuangan yang digunakan oleh masing-masing kelompok yang tidak lagi hanya bertumpu pada metode-metode tradisional seperti perjuangan bersenjata yang memang terkenal di kawasan ini. Dan yang terakhir dan menurut saya penting adalah bagaimana beberapa Negara di kawasan ini mampu memberikan alternatif sistem ekonomi dan politik yang partisiptif dan bertumpu pada kesetaraan.
Terpilihnya Hugo Chavez menjadi presiden Venezuela melalui pemilu yang konstitusional pada tahun 1998 menjadi pemula munculnya pemimpin-pemimpin yang berorientasi politik “kiri” di kawasan Amerika Latin. Selanjutnya, Ricardo Lagos di Chili pada tahun 2000, Luis Inacio Lula da Silva di Brazil pada tahun 2003, Nestor Kirchner di Argentina pada tahun 2005, Tabare Vasquez di Uruguay pada tahun 2006, Michelle Bachelet di Chili, Evo Morales di Bolivia, Rafael Correa di Ekuador, Daniel Ortega di Nikaragua, dan Christina Fernandez di Argentina pada tahun 2008, Fernando Lugo di Paraguay,  Mauricio Funes di El Salvador dan Jose Mujica yang menggantikan Tabare Vasquez pada tahun 2009. Dan perlu dicatat bahwa inilah kali pertama dimana kandidat dari partai kiri dapat memenangkan pemilu dengan mengibarkan bendera anti neoliberal di mayoritas negara di kawasan Amerika Latin.
Kemenangan kandidat dari partai-partai kiri di kawasan ini melalui jalur elektoral yang konstitusional memang merupakan tradisi politik yang relatif baru di kawasan ini. Selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya kelompok-kelompok kiri masih menjalankan metode-metode tradisional dalam menjalankan perjuangannya untuk merebut kekuasaan. Keberhasilan ini juga tidak lagi menempatkan partai politik sebagai satu-satunya vanguard atau barisan pelopor dalam perjuangan melawan neoliberalisme seperti tradisi politik kiri ortodoks. Sejalan dengan Diana Raby, para pemimpin ini tidak ingin mengulangi kekeliruan partai-partai komunis (Trotsky) sebelumnya yang hanya mampu menceramahkan doktrin Marxis-Leninis yang abstrak dan mengharapkan termujudnya gerakan revolusioner yang efektif namun tidak mampu secara efektif menjadikannya sebagai “common sense” di tengah masyarakat.[7] Sehingga kemenangan yang diraih ini tidak bisa dilepaskan dari partisipasi aktif kelompok-kelompok pergerakan rakyat. Kelompok-kelompok ini berasal dari spektrum yang sangat plural, mulai dari teologi pembebasan, nasionalisme revolusioner, masyarakat adat, dan anarkisme.[8]
Pilihan para pemimpin ini untuk menggunakan media elektoral untuk menguasai negara tentu akan menjadi pilihan yang kontra produktif jika tidak didahului dan juga diikuti oleh strategi pengorganisiran dari bawah baik itu untuk mobilisasi saat pemilu maupun saat pemimpin-pemimpin berkuasa.[9] Apalagi telah terbukti sebelumnya bahwa beberapa pemimpin yang berkampanye akan mengambil kebijakan pro rakyat ketika berkuasa akhirnya berujung pada penghambaan pada sistem neoliberal karena tidak mendapat sokongan yang kuat dari mayarakat.

Kita bisa mengambil contoh apa yang dilakukan oleh Chavez dengan Revolusi Bolivarian nya. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Federico Fuente -dari Green Left Weekly- kepada Martha Harnecker yang saat itu tinggal di Venezuela dan bekerja sebagai penasihat Kementrian Partisipasi dan Pembangunan Sosial, dijelaskan bagaimana Venezuela menerapkan program-program kerakyatan dan bagaimana Negara tersebut membangun sistem demokrasi partisipatoris. Harnecker menjelaskan bagaimana demokrasi partisipatoris tersebut di bangun mulai dari lini terbawah yaitu dewan-dewan komunal. Dalam dewan komunal dirmuskan apa yang menjadi kebutuhan mendasar dari masing-masing keluarga untuk kemudian diusulkan ke Dewan Lokal Perencanaan Publik (CLPP’s).  Selain itu, dewan-dewan ini juga secara berkala mendiskusikan isi dan substansi dari konstitusi negara sehingga sangat wajar jika dikatakan kalau rakyat Venezuela sangat mencintai konstitusinya. Konstitusi Republik Kelima Bolivarian Venezuela saat ini merupakan hasil dari referendum yang dilakukan pada tahun 1999. Pada referendum ini seluruh organisasi rakyat dimobilisasi untuk menuliskan apa kebutuhan mereka; apa yang harus dijamin oleh negara di dalam konstitusi. Bahkan kaum perempuan secara khusus membentuk Constitutional Front of Women of the Fifth Republic Movement (FCMMVR) untuk menuntut agar hak-hak kaum perempuan dilindungi dalam konstitusi. Hasilnya, dalam 350 pasal, hampir seluruh hak-hak sektor masyarakat dan lingkungan dilindungi¾termasuk hak-hak masyarakat pribumi (asli) yang, untuk pertama kalinya dalam sejarah perundangan di Amerika Latin, dijamin. Ada 23 pasal yang merupakan cerminan dari hak-hak sosial dan keluarga, meliputi penghapusan diskriminasi perempuan, jaminan sosial, hak-hak di tempat kerja (termasuk hak melakukan pemogokan).[10] Sehingga bagi Harnecker, “Venezuela adalah sebuah negara yang memberi warga negaranya seluruh peluang yang paling memungkinkan bagi orang-orang untuk berpartisipasi”.
Tidaklah salah kemudian jika Eric Hersberg dan Fred Rosen, menyimpulkan bahwa, “jalan Amerika Latin merupakan sintesa dari sosialisme, partisipasi warga negara secara luas, dan pendalaman demokrasi.”[11] Artinya bahwa apa yang ditempuh saat ini tidak lagi mengadopsi sosialisme birokratis yang memiliki paradigma bahwa perubahan itu harus “dipaksakan” dari atas dan minus partisipasi politik masyarakat. Dan sekaligus menjadi kritik atas model demokrasi liberal yang bertumpu pada mekanisme prosedural dan jauh dari substansi demokrasi itu sendiri. Selanjutnya, meminjam rumusan Joao Machado ekonom-cum-anggota pendiri Partai Buruh Brazil, sosialisme Amerika Latin adalah sosialisme yang memberikan ruang seluas-luasnya pada rakyat terorganisir untuk melakukan kontrol terhadap mekanisme ekonomi dan manajemen politik dalam masyarakat, serta menciptakan kondisi-kondisi baru bagi perkembangan solidaritas guna mengganti laku kompetisi sebagai bentuk dasar hubungan di antara sesama.[12]
Dan juga perlu digarisbawahi bahwa rumusan tentang tata pemerintahan partisipatif yang berbasis komunitas dan berlandaskan atas solidaritas yang sedang dibangun oleh Negara-negara di Amerika Latin saat ini tidak lepas dari apa yang sudah diperlihatkan oleh Kuba dengan sistem pemerintahannya. Diana Raby memaparkan bagaimana Kuba sejak Revolusi 1959 membangun demokrasi dalam makna yang sesungguhnya dimana pemerintahan oleh rakyat bukan hanya jargon semata. Kuba mempraktekkan demokrasi yang dimulai dari komunitas lokal, dengan rakyat dalam lingkungan tempat tinggalnya dan tempat kerjanya dalam mengatur urusan mereka sendiri. Dalam hal ini Kuba memiliki sistem demokrasi lokal yang hidup. Nominasi kandidat secara langsung dalam pertemuan-pertemuan komunitas dan pemilihan mereka sebagai delegasi kekuasaan rakyat (popular power) tingkat kotapraja dalam pemilihan yang multi-kandidat dan rahasia, plus kewajiban mereka memberikan laporan pribadi tiap enam bulan bukan saja dalam satu pertemuan lokal tapi beberapa pertemuan (dengan kemungkinan riil untuk ditarik mundur (recall)), jaminan tingkat partisipasi dan kontrol lokal yang sangat baik bahkan bila dibandingkan dengan negeri-negeri yang memiliki kredensial demokratik yang tanpa cacat. Secara eksplisit Kuba menegaskan bahwa mereka tidak menawarkan sosialisme sebagai cetak biru untuk kemudian direproduksi namun yang mereka suguhkan adalah “contoh hidup” atas dominasi model kapitalisme neoliberal.
Masih Banyak Alternatif
Transformasi yang sedang  terjadi di Amerika Latin memang masih menimbulkan banyak perdebatan paling tidak diantara kelompok intelektual. Hal ini sangat wajar terjadi apalagi perubahan ini membawa identitas ideologi sosialisme dalam berbagai variannya. Dan berbicara tentang ideologi ini tentu akan selalu diasosiasikan dengan kegagalan komunisme Soviet dan atau China yang akhirnya harus berpelukan erat dengan kapitalisme liberal. Namun apa yang disuguhkan oleh mayoritas Negara-negara di Amerika Latin adalah sosialisme yang oleh Joao Machado ekonom-cum-anggota pendiri Partai Buruh Brazil, adalah sosialisme yang memberikan ruang seluas-luasnya pada rakyat terorganisir untuk melakukan kontrol terhadap mekanisme ekonomi dan manajemen politik dalam masyarakat, serta menciptakan kondisi-kondisi baru bagi perkembangan solidaritas guna mengganti laku kompetisi sebagai bentuk dasar hubungan di antara sesama. Selain itu, sosialisme yang diusung Amerika Latin sekaligus menjadi tawaran alternatif teoritik dan praksis khususnya bagi Negara-negara Dunia Ketiga yang masih terjerat dan terbelilit oleh “resep” neoliberal yang terus memiskinkan.
Sekian-------------------------


[1] Penting untuk menyepakati seperti apa terminologi “kiri” kita pahami. Hal ini sangat wajar untuk kembali diungkap karena terminologi “kanan” dan “kiri” sebagai bahasa lain untuk mempertegas posisi politik serta keberpihakan ideologi merupakan tradisi politik yang masih terus mengemuka di kawasan Amerika Latin. Meski dalam perkembangannya masing-masing terminologi ini mengalami perkembangan makna, orientasi serta aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Harnecker memberikan definisi bahwa istilah “kiri” sebagai konvergensi semua kekuatan yang melawan sistem kapitalis dengan logika profitnya, yang memperjuangkan masyarakat alternatif yang berdasarkan humanisme dan solidaritas dan dibangun atas kepentingan kelas pekerja, yang membebaskan mereka dari kemiskinan materi dan penderitaan spiritual yang dikembangbiakkan oleh kapitalisme. Kiri, dengan demikian, terdiri bukan saja atas partai atau organisasi politik kiri; ia juga menyertakan aktor-aktor sosial dan gerakan.
[2] James Petras, Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas (Bagian 2), www.indoprogress.blogspot.com
[3] Ibid
[4] Coen Husain Pontoh, Kata Pengatar dalam Hantu Neoliberalisme, C-Books, 2003, Jakarta, Hal.  xi
[5] Steve Kangas, The Chicago Boys dan “Keajaiban Ekonomi” Cile dalam Hantu Neoliberalisme, William I. Robinson, et al. C-Books, 2003, Jakarta, Hal. 41
[6] James Petras, Imperialism and Resistance in Latin America, www.resistance.org
[7] Diana Raby, Mengapa Kuba Masih Bermakna (terjemahan), www.nefos.org
[8] Martha Harnecker, Popular power in Latin America -- Inventing in order to not make errors, www.links.org
[9] Budiman Sujatmiko, Jalan Keadilan di Amerika Latin, www.indoprogress.blogspot.com
[10] Zaly Ariane, Bangkitnya Sosialisme di Amerika Latin, www.adaalternatif.blogspot.com
[11] Eric Hersberg dan Fred Rosen ed, Latin America After Neoliberalism Turning The Tide 21st Century?” The New Press and NACLA, 2006.
[12] Joao Machado, PT Local Governments and Socialisme” in Ian Bruce (ed)., “The Porto Alegre Alternative Direct Democracy in Action,” Pluto Press, 2004.

Komentar

Postingan Populer