Renegosiasi Industri Minyak di Venezuela

Oleh: Zulkhair Burhan & Kristianus

Pendahuluan

Dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan nasional, maka sebuah negara idealnya mengacu pada platform atau model pembangunan yang diyakininya sebagai media untuk mewujudkan cita-cita besar negara tersebut. Platform ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari konteks tata ekonomi politik global. Artinya platform sebuah negara biasanya mengacu pada ideologi ekonomi politik dominan yang sedang dipraktekkan saat ini atau sebaliknya justru platform tersebut hadir untuk menawarkan model alternatif atas ideologi ekonomi politik dominan yang seringkali dianggap sudah tidak relevan dengan konteks kekinian, hanya menguntungkan kelompok tertentu dan pada akhirnya menimbulkan krisis diberbagai lini dan sektor.
Dari platform tersebut akan terlihat seperti apa model dan orientasi pembangunan yang hendak dijalankan. Dalam konteks kekinian misalnya, platform pembangunan sebuah negara akan menjawab dan menentukan apakah model pembangunan yang diadopsinya mengacu pada kepentingan pasar atau sebaliknya model pembangunan tersebut justru diabdikan untuk kepentingan nasional dalam arti yang lebih substantif, apakah model pembangunan yang diterapkan justru hanya menguntungkan dan melanggengkan dominasi dan hegemoni kelas oligarki yang segelintir atau sebaliknya tata pembangunan tersebut sepenuhnya dijalankan untuk kepentingan bersama dan khususnya untuk kepentingan kelompok yang selalu dimarjinalkan oleh sistem yang tidak berkeadilan. Selanjutnya, dengan platform pembangunan yang jelas dan terarah, maka akan jelas tergambar siapa yang seharusnya terlibat atau menjadi subjek semua tahapan pembangunan mulai dari perumusan, penerapan, pengawasan dan proses evaluasi kebijakan pembangunan.
Dalam konteks ini, maka akan sangat menarik untuk menganalisa bagaimana model kebijakan pembangunan yang diterapkan Hugo Chavez Frias dalam sektor pertambangan khususnya industri minyak. Seperti yang kita ketahui bahwa industri minyak negara ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia dan juga merupakan kontributor penting bagi kebutuhan minyak negara-negara maju khususnya Amerika Serikat. Dan sebelum Chavez berkuasa, industri ini memang mayoritas dikuasai oleh oligarki politik yang merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan multinasional di kawasan Amerika Latin dan khususnya di Venezuela. Namun dibawah pemerintahan Chavez industri ini kemudian mengalami perubahan model dan orientasi. Serangkaian kebijakan yang mengarah pada re-negosiasi dan nasionalisasi industri minyak dilakukan oleh Chavez yang tentu mengancam eksistensi dan dominasi kepentingan Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan multinasional yang telah demikian lama menguasai sektor vital ini.
Dalam analisis ini, akan dijelaskan bagaimana kebijakan pada sektor industri minyak ini diterapkan pada masa pemerintahan Chavez dan selanjutnya akan diberikan gambaran bagaimana posisi negara terhadap perusahaan-perusahaan multinasional dan investor asing lainnya.


Minyak dan Demokrasi Venezuela

Era demokrasi Venezuela dimulai ketika Rómulo Ernesto Betancourt Bello yang didukung oleh partai Democratic Action (Acción Democrática/AD) dilantik sebagai Presiden Venezuela pada 13 Februari 1959, sebagai hasil pemilihan langsung, dengan dukungan suara 49%, mengalahkan dua pesaingnya, Wolfgang Larrazábal (35%) yang diusung partai Democratic Republican Union (Unión Republicana Democrática/URD) dan Rafael Caldera Rodríguez (16%) yang didukung Christian Democratic Party (Comité de Organización Política Electoral Independiente/COPEI).[1] Pada masa-masa sebelumnya, sejarah Venezuela diwarnai pemerintahan militer dan diktator yang silih berganti, yang seringkali dicapai melalui kudeta kekuasan.
Agenda demokrasi Venezuela pasca-era kediktatoran yang panjang, dimanifestasikan dalam serangkaian kebijakan yang mencakup bidang politik dan sosial-kemanusiaan seperti promosi penegakan HAM, hak penentuan nasib sendiri tanpa intervensi asing dan memelihara perdamaian dan keamanan nasional. Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi diprioritaskan pada peningkatan pembangunan dan pengelolaan sumber pendapatan utama negara, yaitu minyak. Sepanjang sejarahnya, kebijakan luar negeri Venezuela senantiasa berlandaskan pada gagasan Simon Bolivar mengenai promosi integrasi ekonomi dan politik di Amerika Latin. Rangkaian kebijakan tersebut, di tingkat internasional diwujudkan, antara lain dengan mempertahankan dan meningkatkan peran Venezuela sebagai anggota organisasi internasional, seperti PBB sejak 1945, OPEC yang turut dibentuknya pada 1960, Organization of American States (OAS), dan Latin American Integration Association. Tentu bukan tanpa dasar historis, ketika Presiden Betancourt mengeluarkan doktrin yang menyatakan bahwa Venezuela tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara yang pemerintahannya dibentuk atas dasar kudeta militer. Namun, dalam konteks Amerika Latin yang sebagian besar negara-negaranya diperintah oleh rezim nondemokratis, doktrin Betancourt secara perlahan menempatkan Venezuela dalam posisi terisolasi. Kenyataan ini kemudian menyebabkan doktrin tersebut dimodifikasi pada awal dekade 1970-an, yang berujung pada pemulihan hubungan baik Venezuela dengan Argentina, Panama, Peru dan sejumlah negara komunis. Pada Desember 1974, di bawah Presiden Rafael Caldera, Venezuela menormalisasi hubungannya dengan Kuba.[2]
Fakta bahwa Venezuela merupakan negara pengekspor minyak dunia terbesar kelima dengan cadangan minyak mentah dunia terbesar kedua[3], tentu tidak dapat diabaikan dalam upaya memahami Venezuela, sebab sepanjang sejarahnya, sejak minyak ditemukan di negeri ini, proses perkembangan dan pembangunan yang dilaksanakan di Venezuela senantiasa terkait erat dengan dinamika pengelolaan bisnis minyaknya. Dinamika yang terjadi di sektor ini praktis turut membentuk hampir setiap aspek negeri ini, mulai dari sejarah, ekonomi, politik dan budaya.[4]
Wilpert membagi sejarah industri minyak Venezuela ke dalam empat periode: periode penemuan dan produksi awal minyak (1912-1943), periode kontrol negara terhadap industri minyak (1943-1974), periode oil boom dan nasionalisasi industri minyak (1974-1998) dan periode upaya pengambilalihan industri minyak yang menjadi independen oleh pemerintah (1999-2003).[5] Keempat periode ini akan diuraikan lebih lanjut demi memperoleh pemahaman yang lebih komperehensif atas proses pembangunan yang dilaksanakan dalam setiap periode.
Pada periode pertama, Venezuela mulai melakukan pengeboran sumur minyak pertama pada tahun 1912. Tak lama setelah itu, Royal Dutch Shell mulai beroperasi sebagai pemroduksi minyak di Venezuela disusul kemudian oleh Rockefeller’s Standard Oil. Pada tahun 1929, Venezuela telah menjadi negara pemroduksi minyak kedua setelah Amerika Serikat, sekaligus menjadi penekspor minyak pertama dunia. Total minyak yang diekspor Venezuela untuk pasar minyak dunia pada tahun 1935 sebesar 91,2%, meningkat drastis dibandingkan dekade sebelumnya yang hanya 1,9% pada tahun 1920.[6] Peningkatan ekspor yang dramatis ini berdampak pada lonjakan pendapatan negara secara drastis, namun serentak menjadi awal dari fase industrialisasi yang berdampak pada menurunnya produksi sektor lainnya, terutama pertanian. Fenomena ini oleh para pengamat disebut dengan istilah “The Dutch Disease”.
Memasuki periode kedua, pada tahun 1943 Venezuela melakukan reformasi atas kebijakan minyaknya, dengan mengeluarkan Hydrocarbons Act. Intinya, perusahaan asing yang melaksanakan eksplorasi dan produksi minyak di Venezuela dikenai pajak yang lebih tinggi untuk aktivitas mereka, sehingga keuntungan yang mereka peroleh dari hasil kegiatan produksi minyak tidak lebih besar dari yang mereka bayarkan ke negara. Jadi, pada periode ini, negara memberlakukan kebijakan yang menguatkan perannya dalam mengontrol produksi minyak yang dilakukan oleh perusahaan asing. Namun, periode ini pun ditandai dengan meluasnya korupsi di tingkat elit dan kerap mangkirnya perusahaan asing dalam memenuhi kewajiban pajaknya kepada negara, sehingga pendapatan besar yang mestinya bisa diperoleh dari industri minyak akhirnya justru tidak terwujud. Kalaupun ada, pendapatan itu lebih banyak jatuh ke tangan-tangan segelintir elit yang berkuasa. Hal ini diperparah dengan ketidakstabilan pemerintahan, yang ditandai dengan seringnya terjadi pergantian kekuasaan secara tidak sah/kudeta. Pada periode 1943-1958, praktis Venezuela tidak memiliki platform pembangunan nasional yang jelas.
Pada tahun 1950, industri minyak dunia mulai memasuki masa kelebihan produksi sebagai akibat munculnya negara-negara industri minyak di wilayah Timur Tengah dan pemberlakuan kuota impor oleh Amerika Serikat, yang berujung pada anjloknya harga minyak dunia. Untuk mengatasi hal ini, Venezuela bersama negara-negara industri minyak utama dunia kemudian membentuk OPEC pada tahun 1960. Pada tahun yang sama, Venezuela juga mendirikan Venezuelan Petroleum Corporation (Corporación Venezolana de Petróleos/CVP), yang nantinya menjadi basis bagi kebijakan nasionalisasi industri minyaknya.
Pada periode ketiga, dengan kebijakan embargo minyak oleh negara-negara Timur Tengah pada tahun 1973, Venezuela berhasil meningkatkan pendapatannya dari minyak secara signifikan pada tahun 1974. Kenaikan pendapatan yang drastis dan cepat ini memberi kesempatan kepada presiden Venezuela saat itu, Carlos Andrés Perez, untuk melaksanakan program pembangunan yang disebutnya “La Gran Venezuela”, yaitu memerangi kemiskinan melalui kontrol harga dan peningkatan pendapatan, dan melakukan diversikasi ekonomi melalui substitusi impor. Ia juga menjalankan kebijakan produksi minyak sebanyak mungkin demi meraih peningkatan pendapatan. Untuk mewujudkan kebijakannya, ia melakukan nasionalisasi industri minyak Venezuela pada tahun 1976 melalui pembentukan Petróleos de Venezuela S.A. (PDVSA). PDVSA berfungsi sebagai sebuah holding company yang menjadi induk bagi empat perusahaan besar yang menjadi cabang/afiliasinya. Empat afiliasi besar itu dibentuk dari penggabungan empat belas perusahaan asing yang sudah beroperasi di Venezuela dan dan satu perusahaan negara yang sudah ada, yaitu CVP. Afiliasi yang terbentuk kemudian terdiri dari Lagoven, yang merupakan cabang terbesar. Lagoven merupakan hasil penggabungan unit dan fasilitas yang dulunya dioperasikan oleh Exxon dari AS. Lagoven merupakan penyumbang terbesar bagi produksi naksional tahun 1976, yaitu sebesar 40%. Dari penggabungan dua perusahaan yang dulunya dikelola oleh British dan Dutch Shell, PDSVA membentuk anak perusahaan kedua yang dinamakan Maraven. Empat perusahaan AS digabungkan menjadi anak perusahaan ketiga, Meneven. Anak perusahaan keempat dibentuk dari enam perusahaan kecil lain ditambah CVP, yang dinamakan Corpoven.
Namun, situasi kemudian justru memburuk, ketika pada pertengahan tahun 1980-an harga minyak dunia kembali jatuh karena negara-negara OPEC tidak lagi menjalankan kesepakatan kuota produksi. Pada tahun 1998, harga minyak dunia terpuruk hingga mencapai 3,19 dolar per barel. Kondisi ini berimbas pada menurunnya pendapatan per kapita Venezuela dan ekonomi Venezuela perlahan mengalami kemunduran. Pada pemerintahan Presiden Jaime Lusinchi (1984-1989), ia mencoba mengatasi krisis dengan melakukan devaluasi nilai mata uang, pengetatan proteksi impor, meningkatkan produksi sektor agrikultur dan program ketahanan pangan, serta memberikan subsidi bagi sektor publik. Memang sesaat, kebijakan ini cukup mampu memberi stimulasi pada pertumbuhan ekonomi, sehingga mampu mengangkat tingkat pertumbuhan dari yang semula negatif pada tahun 1980-1981, hingga ke tingkat positif namun stagnan pada tahun 1982. Namun, pertumbuhan ini tidak cukup cepat untuk memperbaiki perekonomian negara, sehingga pada tahun 1989, perekonomian negara akhirnya tidak mampu lagi menopang beban subsidi sektor publik dan lonjakan utang luar negeri. Hal ini diperparah oleh turunnya harga minyak dunia hingga 50% pada tahun 1986.
Suksesor Lusinchi, Carlos Andrés Pérez Rodríguez yang sebelumnya memerintah pada 1974-1979, pada tahun 1989, akhirnya meluncurkan program “penyelamatan” ekonomi dengan meminta bantuan IMF dan Bank Dunia. Hal ini berarti Venezuela mesti menjalankan paket Structural Adjustment Program (SAP) sebagai prasyaratnya. Kebijakan ini memancing terjadinya kerusuhan besar pada bulan Februari 1989, yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan merupakan kerusuhan terbesar pascademokrasi 1958. Ironisnya, Perez-lah yang pada tahun 1976 melakukan nasionalisasi penuh atas industri minyak Venezuela melalui pembentukan PDVSA. Kini justru ia pula yang melakukan kebijakan yang sebaliknya, dengan melaksanakan SAP yang memangkas intervensi dan kontrol negara terhadap sektor publik dan terutama terhadap industri minyak nasional, yang akhirnya membawa perekonomian Venezuela pada sistem pasar bebas dan pada gilirannya memberi stimulus bagi masuknya dominasi asing melalui foreign direct investment (FDI), terhadap sektor-sektor ekonomi strategis Venezuela, termasuk minyak. Hal ini ditandai dengan privatisasi sejumlah besar perusahaan negara, penyesuaian nilai tukar, liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif, serta pengetatan belanja publik dengan pemotongan subsidi.[7] Pada periode pemerintahan berikutnya, praktis perekonomian Venezuela berjalan dalam koridor neoliberalisme kapitalis.
Periode keempat ditandai dengan terpilihnya Hugo Chavez sebagai presiden Venezuela pada tahun 1998. Pada masa pemerintahannya, ia mulai mempelopori pemberlakuan kembali kebijakan kuota produksi negara-negara OPEC, yang sebelumnya sering dilanggar oleh angota-anggotanya. Sebab, kerap mangkirnya negara-negara OPEC, termasuk Venezuela, atas kesepakatan kuota produksi, ditambah kemunculan negara-negara penghasil minyak non-OPEC seperti Rusia dan Meksiko, dianggap menjadi penyebab tepuruknya harga minyak dunia. Upaya Chavez kemudian terbukti berhasil menstabilkan harga minyak dunia pada kisaran 27 dolar per barel.

           




Chavez dan Sosialisme Abad 21

            Terpilihnya Hugo Chavez Frias pada 6 Desember 1998 telah mengubah lanskap politik Venezuela ke arah yang lebih revolusioner. Sejak awal Chavez menegaskan bahwa model pembangunan yang akan diterapkan di Venezuela adalah model yang sama sekali bertolak belakang dengan model pembangunan neoliberal yang bertumpu pada kompetisi dan menempatkan massa rakyat sebagai objek pembangunan. Selanjutnya, kebijakan Chavez juga mengarah pada pemerataan ekonomi untuk seluruh rakyat Venezuela dan menentang imprealisme negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat. Serta menghapus intervensi dan dikte Amerika Serikat dengan membangun kemandirian nasional pada arah pembangunannya.
Dan pada tahun 2004, untuk mempertegas posisinya Chavez mulai menyerukan platform yang ia sebut sebagai model Sosialisme Abad 21 yang intinya menolak tegas sistem kapitalisme dan imperialisme.[8] Untuk menjelaskan model alternative ini, dalam Pertemuan Sosial Dunia (WSF) tahun 2005 di Porto Alegre, Brazil, Chavez menjelaskan bahwa “…proposal ini tidak bermaksud untuk mengeliminasi kepemilikan pribadi seperti tujuan komunisme, sama sekali tidak. Kami belum akan melangkah sejauh itu. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok, dunia terus berubah. Pada waktunya hal tersebut bukan mustahil untuk terjadi…namun saat ini bukan waktunya. Saat ini…tujuan kami adalah untuk menciptakan sistem ekonomi baru. Dan ini tidak mungkin dilakukan dalam satu atau dua tahun atau bahkan lima tahun”.[9]
            Platform yang diajukan Chavez ini tentu bukan retorika politik semata yang digunakan untuk meraup suara maksimal selama masa pemilihan umum. Namun lebih dari itu, model Sosialisme Abad 21 ini kemudian menghasilkan sebuah konstitusi yang digunakan sebagai rujukan untuk menentukan kebijakan ekonomi politik di berbagai sektor dan konstitusi ini diproses tidak secara elitis dan hanya melibatkan segelintir eli politik saja, namun melalui referendum, pemungutan pendapat rakyat secara nasional. 50% isi dari konstitusi ditulis sendiri oleh rakyat-lewat surat-surat dan jajak pendapat mengenai apa yang dibutuhkan rakyat. Konstitusi ini memenangkan 70% suara dalam referendum, mencakup hak-hak dasar demokratik, sosial dan hak-hak azasi manusia lainnya yang sangat luas diatas batas-batas demokrasi parlementer yang dangkal. Dan yang terpenting konstitusi ini sangat dihargai oleh rakyat karena mereka ikut dilibatkan dalam proses pembuatannya dan konstitusi ini juga secara substansial diabdikan untuk kepentingan rakyat secara menyeluruh. Konstitusi ini diberi nama Konstitusi Republik Bolivarian Kelima.[10]
            Untuk menterjemahkan konstitusi ini secara kongkret, pemerintahan Chavez kemudian menjalankan berbagai mission yang merupakan program-program social di berbagai sektor, seperti; Mission Bario Adentro I dan II, yaitu pembangunan sistem kesehatan gratis yang massif, Mission Vuelvan Caras, sebuah program sosial yang memberikan $600 juta kredit bagi petani kecil tak bertanah dan bertanah kecil serta subsidi untuk membeli benih kentang, Mission Mercal, yaitu membuka pasar makanan alternatif untuk rakyat miskin yang jauh lebih murah. Mission Identidad, sebuah program pembuatan tanda identitas (cedullas) gratis bagi mereka yang sudah tinggal di Venezuela 20-30 tahun namun tak memperoleh hak perlindungan sebagai warga Negara, Mission Ribas, sebuah program untuk menyekolahkan orang-orang yang drop out SLTA, Mission Sucre, yaitu program yang memberi beasiswa untuk orang miskin masuk ke Perguruan Tinggi dan secara simultan juga membangun 200 Universitas Simon Bolivar di kota-kota.[11] Dan Mission Ciencia (science), dengan program yang sedang berjalan antara lain: penyediaan perangkat lunak gratis, dan komputerisasi tingkat dasar di seluruh sekolah.[12]
            Rentetan kebijakan populis ini tentu bertolak belakang dengan model kebijakan neoliberal yang justru menyerahkan semua sektor kehidupan ke mekanisme pasar melalui penerapan kebijakan penyesuaian struktural berupa privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Selain itu, pengembangan sektor-sektor strategis yang dianggap memberikan income besar bagi negara juga diarahkan dalam kerangka mendukung pelaksanaan program-program sosial yang kian hari semakin mengalami pengembangan model. Salah satu sektor strategis tersebut yaitu industri minyak nasional yang dijalankan oleh PDVSA.




Kebijakan di Sektor Industri Minyak

            Minyak untuk kesehatan, pangan dan pendidikan.[13] Slogan ini sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana dan seperti apa orientasi pengembangan industri minyak di Venezuela di masa kepemimpinan Chavez. Sejak awal Chavez sudah melakukan reformasi dalam sektor industri minyak yang mengarah ke nasionalisasi. Namun pada dasarnya bentuk nasionalisasi yang dilakukan Chavez tidak seperti yang dilakukan pada tahun 1973, karena proses nasionalisasi ini lebih tepat jika dikatakan sebagai bentuk renegosiasi yang kemudian memungkinkan terjadinya joint venture dalam pengelolaan minyak antara perusahaan negara – PDVSA- dengan perusahaan-perusahaan asing. Pada tahun 2007, joint venture ini melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional seperti ExxonMobil, ChevronTexaco, Statoil, ConocoPhillips, and BP. Dengan model joint venture ini negara mendapatkan keuntungan sebesar 60 persen dari keseluruhan keuntungan yang diperoleh. Selain untuk memaksimalkan penguasaan terhadap industri minyak, reformasi ini juga bertujuan untuk meminimalisir praktek-praktek korupsi dan inefisiensi yang sebelumnya kerap dilakukan oleh eli-elit PDVSA (Petroleos de Venezuela) khususnya di masa booming minyak.[14]
            Apa yang dilakukan Chavez tersebut mengacu pada ayat 303 Konstitusi Republik Kelima Bolivarian yang menyatakan bahwa “…atas dasar kedaulatan ekonomi dan politik dan strategi nasional, Negara akan memiliki keseluruhan saham PDVSA atau  keseluruhan unit yang di bangun untuk mengatur industri minyak…”,[15] dan kemudian dikembangkan dalam aturan Undang-Undang Hidrocarbon baru yang berisi mengenai jumlah royalti sebesar 30 persen (16,6 % pada aturan yang lama) yang bisa didapat oleh operator asing dan juga ditegaskan bahwa semua aktivitas industri minyak dalam negeri diarahkan untuk kepentingan masyarakat dan didedikasikan untuk keberlanjutan pembangunan negara.[16]
            Lalu pertanyaannya apakah investor asing kemudian meninggalkan Venezuela setelah Chavez menjalankan reformasi sektor minyak? Untuk menjawab pertanyaan ini, akan kita mulai dengan melihat potensi cadangan minyak di salah satu wilayah Venezuela yaitu Orinico. Sebuah survei geologi yang dirilis oleh Amerika Serikat menyebutkan bahwa cadangan minyak di Orinoco 513 milyar barel. Bahkan estimasi jumlah cadangan minyak ini dianggap melebihi cadangan minyak yang dimiliki oleh Kanada dan Saudi Arabia. Menurut Chavez, jumlah cadangan minyak yang sebesar itu maka Venezuela tetap akan bisa menyuling minyak hingga 200 tahun kedepan.[17] Fakta ini tentu menggiurkan bagi perusahaan-perusahaan asing sehingga meu tidak mau mereka harus menerima syarat yang diberikan oleh pemerintahan Chavez, minus Exxon Mobil yang kemudian membawa kasus ini ke Royal Court of Justice di London pada pertengahan Maret 2008 yang kemudian dimenangkan oleh PDVSA.[18]    
            Kebijakan ini memang tidak berjalan mulus dan diterima oleh semua pihak. Selain kasus Exxon Mobil, pada April 2002, beberapa kelompok oligarki di Venezuela yang sebelumnya merupakan elit PDVSA mendukung kudeta terhadap Chavez dan memimpin upaya pelarangan kerja pada akhir tahun tersebut. Kedua momentum ini terjadi sesaat setelah Chavez memberhentikan 18.000 manajer dan teknisi PDVSA dan kembali meluncurkan PDVSA sebagai perusahaan negara Bolivarian. ”Ini milik kita semua” begitu ungkap Chavez untuk menggambarkan model relasi antar perusahaan dan masyarakat.[19]
            Sejak sistem renegosiasi diberlakukan dan negara mendapatkan keuntungan yang maksimal, PDVSA telah mengalirkan keuntungan tersebut untuk kepentingan masyarakat bawah. Pada tahun 2004, Venezuela mengeluarkan 3.7 dari 6.5 milyar hasil keuntungan minyak untuk mission-mission sosial, dan untuk tahun 2005-2012 telah dianggarkan sekitar 10 milyar per tahun. Pada tahun 2007, PDVSA sendiri mengalirkan dana sebesar 14.4 milyar untuk program sosial. Dana yang dialirkan untuk kepentingan sosial ini sangat berpengaruh dalam proses penurunan angka kemiskinan dan ketidakadilan, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, berkembang pesatnya sektor pendidikan dan upaya memerangi buta huruf, subsidi program pangan bagi masyarakat miskin. Dan yang penting untuk diperhatikan bahwa meskipun keuntungan tetap menjadi priorotas, namun di Venezuela logika ”keuntungan” telah mengalami pergeseran makna; keuntungan dan kompetisis dan berbagai logika yang dibangun oleh sistem kapitalisme neoliberal telah berganti dengan logika kerjasama dan solidaritas.  Dan hal inilah yang begitu membedakan arah kebijakan energi Venezuela dan cita-cita Revolusi Bolivarian dengan prinsip-prinsip tradisional kapitalisme neoliberal dan praktek kebijakan dari Utara. Melalui program seperti PetroCaribe and PetroAmerica, Venezuela menyediakan subsidi minyak bagi negara-negara miskin di kawasan Amerika Latin. Melalui perdagangan minyak, Venezuela juga membangun kerjasama perdagangan yang berbasis pada keadilan; Venezuela “menukarkan” minyak untuk mendapatkan jasa dokter berkualitas dari Kuba, atau untuk kebutuhan pangan dan berbagai kebutuhan lainnya dengan Argentina, Brazil dan Uruguay. [20]
                       
Kontrol Langsung Masyarakat

Keberhasilan kebijakan energi Venezuela dimungkinkan terlaksana dengan baik tidak lepas dari peran aktif masyarakat dalam mengontrol pelaksanaan kebijakan tersebut secara langsung. Kontrol masyarakat ini sangat penting untuk meminimalisir potensi munculnya oligarki dalam perusahaan negara dan sekaligus memastikan bahwa aktivitas perusahaan tetap berorientasi pada kepentingan publik.
Kontrol masyarakat terhadap kebijakan yang diterapkan di berbagai sektor termasuk industri minyak (PDVSA) dilakukan oleh organisasi-organisasi independen masyarakat yang selama pemerintahan Chavez memang berkembang dengan pesat. Organisasi-organisasi ini berasal dari berbagai kelompok masyarakat yang tergabung melalui dewan-dewan komunal. Tiap dewan beranggotakan sekitar 150 keluarga di daerah perkotaan. Sementara di daerah pedesaan dan masyarakat adat, tiap dewan terdiri 20 dan 10 keluarga. Dewan-dewan inilah yang menjadi jembatan aspirasi terhadap pemerintah dan juga digunakan untuk meningkatkan kapasitas masing-masing anggota dewan dengan mendiskusikan banyak hal termasuk melakukan diskusi rutin menyangkut konstitusi Negara.

Pelajaran dari Venezuela

            Berlimpah ruahnya sumber daya alam di sebuah negara sering kali tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan dan keadilan yang dirasakan oleh masyarakatnya. Sehingga tidak salah kalau kondisi ini disebut Stiglitz sebagai hasil dari ”kutukan sumber daya alam (natural resources curse)”. Stiglitz melanjutkan bahwa dinamika politik di negara-negara yang kaya sumber daya alam seringkali mengarah kepada ketidakadilan. Hal ini terjadi pada negara maju dan berkembang yang kekayaan sumber daya alamnya digunakan untuk menguasai ekonomi dan politik termasuk usaha untuk memperkaya diri sendiri dengan hasil sumber daya alam tersebut. [21]
            Namun kondisi sebaliknya terjadi di Venezuela, sumber daya alam berupa minyak ternyata menjadi ”anugerah” bagi rakyat Venezuela. Hal ini dapat terjadi karena ”keberanian” dan political will dari Chavez sebagai pemimpin yang menjalankan strategi renegosiasi terhadap industri minyak. Kebijakan ini kemudian memposisikan perusahaan-perusahaan multinasional yang akhirnya memutuskan untuk tetap beroperasi di Venezuela berada dibawah kontrol negara dan diharuskan mengikuti mekanisme yang telah ditetapkan oleh negara melalui Konstitusi Kelima Republik Bolivarian dan Undang-Undang Hidrokarbon yang baru.
            Dengan demikin kita dapat mengambil pelajaran penting dari kasus Venezuela bahwa: Pertama, bahwa model nasionalisasi atau renegosiasi sektor pertambangan bukan merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan jika  paltform pembangunan sebuah negara memiliki keberpihakan yang jelas terhadap rakyat serta dibarengi political will yang tegas dari pemimpin dan tentu didukung oleh partisipasi rakyat secara substansial. Kedua, nasionalisasi atau renegosiasi sektor pertambangan tidak akan berarti apa-apa jika proses tersebut tidak diabdikan untuk kepentingan rakyat secara utuh. nasionalisasi atau renegosiasi tanpa orientasi kerakyatan yang jelas justru akan melahirkan oligarki baru. Ketiga, ketakutan yang selama ini mengemuka bahwa investor asing akan memindahkan modalnya jika dilakukan proses nasionalisasi atau renegosiasi tentu sangat tidak berdasar apalagi jika sebuah negara memang memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah. Logikanya bahwa perusahaan-perusahaan asing tidak mungkin melepaskan keuntungan yang akan mereka dapatkan dalam proses eksplorasi hasil pertambangan meski dalam skala yang lebih kecil dari sebelumnya.*****



[1] James D. Rudolph, “Historical Setting”, dalam Haggerty (ed.) (1990).
[2] Howard J. Wiarda dan Iêda Siqueira Wiarda, “Government and Politics”, dalam Haggerty (ed.) (1990).
[3] OPEC, “OPEC Share of World Crude Oil Reserves 2009”, dalam website OPEC, http://www.opec.org/opec_web/en/data_graphs/330.htm, tanggal akses 12 Januari 2011.
[4] Wilpert (2003).
[5] Ibid.
[6] Franklin Tugwell (1975), The Politics of Oil in Venezuela. Stanford University Press, hlm.182, dikutip dalam Wilpert (2003).
[7] Daniel J. Seyler, “Growth and Structure of the Economy”, dalam Haggerty (ed.) (1990).
[8] Venezuela: Socialism for the 21st Century, http://venezuelanalysis.com/analysis/4690
[9] Ian Bruce, The Real Venezuela; Making Socialism in the Twenty-First Century, Pluto Press, London, 2008, Hal. 6
[10] Nurani Soyomukti, Merubah Konstitusi, Belajarlah dari Venezuela!, http://amerikalatin.blogspot.com/2007/07/merubah-konstitusi-belajarlah-dari.html
[12] Chavez Tantang Perusahaan Teknologi Informasi, ttp://tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/03/31/brk,20060331-75698,id.html
[13] Op. Cit., Ian Bruce, Hal. 17
[14] Anthony W. Persaud, Oil in Venezuela: The Lesser of Two Evils, http://venezuelanalysis.com/analysis/5491
[15] Zely Ariane, Misi Mengatasi Kemiskinan ala Venezuela. http://amerikalatin.blogspot.com/2006/08/memerangi-kemiskinan-ala-venezuela.html
[16] Op.Cit., Ian Bruce, Hal. 20
[17] “An Estimate of Recoverable Heavy Oil Resources of the Orinoco Oil Belt, Venezuela.”  United States Geological Survey. Oct. 2009. Web. <http://pubs.usgs.gov/fs/2009/3028/pdf/FS09-3028.pdf>.
[18] Agus Sutondo, Belajar dari " Nasionalisasi " Migas Venezuela, http://agussutondomediacenter.blogspot.com/2010/12/belajar-dari-nasionalisasi-migas.html.
[19] Op. Cit., Anthony W. Persaud, Oil in Venezuela: The Lesser of Two Evils
[20] Ibid
[21] Joseph E Stiglitz, Making Globalization Work; Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, Penerbit Mizan, Bandung, 2007, Hal. 215-216

Komentar

Postingan Populer