Membumikan Studi Hubungan Internasional


Oleh: Zulkhair Burhan

“So I Start The Revolution From My Bed”
(Don’t Look Back in Anger, OASIS)

Mari Geledah Bumi Ini
Belakangan ini mata kita semua tertuju pada rentetan kasus korupsi yang semakin menggurita dan kita juga disuguhi drama oleh para elit yang saling melempar tanggung jawab atas kekisruhan yang terjadi di republik ini. Ribuan orang memenuhi jalan-jalan protokol di hampir semua kota akibat akumulasi kekecewaan terhadap rezim yang dianggap “gagal” memenuhi janji-janji politiknya, namun di belahan barat bumi ini ribuan orang di sepanjang jalan di Port-au- Prince menjerit memohon pertolongan akibat bencana dahsyat dan meluluhlantahkan Haiti, sebuah Negara yang berpuluh-puluh tahun berada dalam kondisi miskin dan system perbudakan yang terus menerus terjadi. Bencana yang memilukan ini menambah deretan panjang bukti nyata bahwa bumi tempat kita berpijak ini memang dan betul sedang mengalami krisis perubahan iklim akibat pemanasan global. Masalah yang menurut Castro merupakan tanggung jawab Negara-negara kaya dan memiliki kuasa atas bumi ini.[1]
Kita tinggalkan bencana Haiti dan mari lihat apa yang apa yang sudah kita lakukan terhadap bumi ini?
Dari semua ikan besar di lautan, hanya 10 persen yang belum terjarah; seperempat lahan subur yang membentang menurun kualitasnya akibat penggunaan berlebihan dan tidak tepat. Belum lagi hasrat manusia untuk bersantap yang semakin berlebihan, yang mengakibatkan melonjaknya permintaan makanan mewah seperti hasil laut dan daging sapi. Dan ini membuat samudera kehabisan ikan dan hutan hujan dibabat tidak hanya untuk memelihara hewan ternak tetapi juga untuk menanam kedelai dan kelapa sawit guna memproduksi biodiesel.[2] Bahkan di republik ini menurut catatan Walhi, hutan yang dibabat tiap harinya seluas 5 kali lapangan bola. Ironis dan mencemaskan!
Ayo kita simak apa yang dilakukan oleh Negara yang katanya paling memiliki peradaban, Amerika Serikat. Konsumsi Amerika Serikat meningkat dalam semua kategori sejak 1975. Peningkatan tertinggi antara tahun 1975 dan 2000 adalah dalam konsumsi logam, mineral serta bahan bakar fosil. Coba bayangkan, kebanyakan produk pertanian di AS tidak di makan langsung sebagai pangan, tetapi diberikan kepada ternak sebagai pakan. Orang AS telah menaikkan jumlah makanan yang mereka santap sehari-hari secara drastis selama beberapa dekade terakhir, kekhawatiran akan obesitas pun mengemuka. Seiring dengan meningkatnya produksi dan konsumsi maka limbah pangan pun semakin meningkat. Limbah ini dihasilkan oleh pedagang bahan pangan, restoran, dan individu. 27 persen dari makanan yang tersedia untuk konsumsi di AS dibuang. Dan asal tahu saja bahwa 20 juta penduduk dapat diberi makan setiap hari jika 25 persen dari makanan yang dibuang AS disalurkan. Dan 17 persen dari sampah yang dilempar ke tempat pembuangan sampah di AS adalah sisa-sisa makanan.[3]
Perubahan itu Disekitar Kita
Apa yang dipaparkan diatas adalah sekelumit fenomena sekaligus menjadi masalah yang sedang kita hadapi bersama. Ancaman yang dulu diabaikan atau hanya menjadi masalah “nomor 2” dalam tata hubungan internasional (studi hubungan internasional) paling tidak sebelum berakhirnya Perang Dingin. Seiring perjalanannya, isu-isu dalam hubungan internasional memang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Aktor non negara pun mulai mendapat tempat yang sama dalam panggung hubungan internasional setelah sekian lama hanya dihuni oleh “Negara” sebagai aktor dominan. Isu-isu pun mulai mengalami perluasan. Munculnya isu perdagangan manusia, perbuatan kriminal antar Negara, masalah lingkungan, dan berbagai persoalan lainnya kemudian memunculkan isu keamanan tradisional (non traditional security issues) oleh para tokoh “Copenhagen School”.[4]
Perkembangan yang begitu pesat dalam studi hubungan internasional seharusnya menyadarkan kita bahwa mempelajari studi HI kontemporer, maka akan berhubungan dengan apa yang kita lakukan dan mungkin menjadi rutinitas tiap hari. Mari bertanya pada diri sendiri, berapa banyak sampah non organik yang kita hasilkan tiap hari berupa plastik, sisa kemasan alat make up, lip stick, atau kantongan dari kios sebelah rumah hanya untuk membungkus satu buah roti. Dan sadarkah kita kalau aktivitas tersebut ikut menyumbang terjadinya kerusakan lingkungan dan bumi ini. Studi HI bukan lagi hanya tentang seberapa kuat sebuah negara mempersenjatai dirinya, atau seberapa tangguh seorang diplomat “berbohong” tentang negaranya sendiri, dan tidak lagi melulu tentang keamanan “Negara”. Lebih dari itu, kita (penstudi HI) sudah harus terkondisikan untuk berbicara dan menganalisa bahwa ancaman yang lebih menakutkan justru terhadap habitat “kita”-MANUSIA. Dalam laporan UNDP, Human Development Report 1994, terdapat tujuh dimensi yang dijadikan rujukan untuk menciptakan “keamanan manusia” (human security), yang mencakup: (1) keamanan ekonomi; (2) keamanan pangan; (3) keamanan kesehatan; (4) keamanan lingkungan; (5) keamanan individu (6) keamanan komunitas; dan (7) keamanan politik.[5]
Saatnya Mengambil Peran
Mungkin sedikit dari kita yang tahu kalau selebritis dunia seperti Bono (vokalis U2), pasangan suami istri Brad Pitt dan Angelina Jolie, Antonio Banderas, Chris Martin (vokalis Cold Play) dan banyak lainnya ikut berkampanye dalam tajuk White Band[6] yang bertujuan untuk menjadikan kemiskinan hanya tinggal sebagai sejarah (Make Poverty History), Green Day, System of a Down, NOFX yang menolak invasi AS ke Timur Tengah. Atau selebritis Indonesia seperti Nugie, Katon Bagaskara, Nadine Chandrawinata yang ikut berkampanye bersama WWF untuk menyelamatkan lingkungan, atau Kelompok Musik Efek Rumah Kaca lewat lagunya Di Udara yang berkampanye mengkritisi modus “penghilangan orang”.
Transformasi dalam studi hubungan internasional memang menyaratkan terjadinya perubahan dalam isu, metodologi dan aktor hubungan internasional. Saat ini siapapun memiliki kesempatan dan berhak untuk mengambil peran dalam interaksi hubungan internasional. Selain sebagai pengetahuan, studi HI memang harus mampu menyumbangkan sesuatu dalam upaya perbaikan kehidupan manusia.[7] Dalam posisi ini seharusnya kita bisa lebih terbuka melihat disiplin ilmu ini dan pada akhirnya kita semua bisa memposisikan diri. Kita mungkin bisa bersepakat dengan Al Gore bahwa ini bukan hanya persoalan perdebatan ilmiah atau dialog politik tapi lebih dari itu ini adalah masalah kemampuan jati diri kita sebagai manusia.[8]
Tentunya banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memulai perubahan. Salah satunya dengan menjadikan studi HI ini sebagai pisau analisa untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di sekitar kita. Studi HI bukan lagi hanya untuk kita konsumsi hanya untuk menjadi pengetahuan namun kini saatnya menjadikannya sebagai bagian dari solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia.
Akhirnya, perubahan itu bisa dimulai dari tempat tidurmu begitu kata Oasis.
Seriuslah ber HI…………………………………………..


[1] Fidel Castro Ruz, We Send Doctors Not Soldiers, www.monthlyreview.org, diakses tanggal 30 januari 2010
[2] Thomas Hayden, Memeras Sumber Daya Kita, National Geographic Indonesia, hal. 61
[3] Ibid, hal 73-74
[4] Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap de Wilde, Security: a Framework for Analysis, 1998
[5] Bob Sugeng Hadiwinata, Transformasi Isu dan Aktor di dalam Studi Hubungan Internasional: Dari Realisme hingga Konstruktivisme dalam ‘Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional; Aktor, Issu dan Metodologi, Graha Ilmu, 2007,Yogyakarta, Hal 13
[6] Kampanye yang dilakukan tiap tanggal 1 Juli ini dilakukan di seluruh dunia dengan memakai pita putih sebagai simbol perlawanan terhadap proses pemiskinan yang terjadi.
[7] Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional; Displin dan Metodologi, LP3ES, 1990, Jakarta, Hal. 30
[8] Op. cit, Al Gore, hal. 39

Tulisan ini dipresentasikan pada kegiatan Orientasi Pengenalan Studi Hubungan Internasional (OPSHI) Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Univ. 45 Makassar di Benteng Somba Opu, 2 Februari 2010.

Komentar

Postingan Populer