Ia Masih Tetap Anci yang Kukenal...

Pagi itu, matahari sudah mulai meninggi dan sengatnya pun sudah begitu terasa. Ratusan mahasiswa baru dengan style khas masa perpeloncoan zaman “kegelapan” sudah berbaris rapi berdasarkan jurusannya masing-masing menunggu dimulainya upacara pembukaan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus yang lebih “sangar” disebut Ospek.
Pagi itu, ku tak begitu ingat lagi tepatnya hari dan tanggal serta bulan berapa, tapi tak mungkin kulupa kalau masa-masa itu terjadi di tahun 1999 setahun pas setelah hari-hari yang mendebarkan dan lalu menumbangkan Sang Despotik. Dan yang paling penting, masa-masa ospek saat itu masih dan sangat tergolong ganas. Meski kemudian selalu menyisakan cerita-cerita lucu dan romantis di sela-selanya.
Upacara pembukaan ospek belum lagi dimulai padahal keringat yang berbau tak sedap sudah mengucur deras. Meski semua barisan sudah terlihat rapi, tapi saya dan beberapa teman se pesantren dulu dan kebetulan sama-sama mendaftar dan lulus di kampus itu masih saja sibuk menebarkan pandangan ke seluruh sudut lapangan tempat upacara penyambutan itu akan digelar. Kami mencari seseorang yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya padahal upacara sebentar lagi sudah harus dimulai. Dan terlambat apalagi tidak mengikuti upacara itu sama saja dengan menggadaikan sedikit hak azasi kita untuk dinistakan.
Setelah sekian lama mencari-cari, dari kejauhan kami melihat seseorang yang sepertinya adalah orang yang kami cari. Ia mengenakan sesuatu yang bergambar tanda tambah dan digantungkan dilehernya, dan mahasiswa-mahasiswa yang sebarisan dengannya serta berada paling dekat dengan panitia juga menggantungkan gambar yang sama. Ia berada di barisan mahasiswa-mahasiswa yang mengalami gangguan kesehatan alias sakit sehingga tak bisa berpanas-panas seperti kami.
Kami yang sedari tadi mencarinya lalu saling berpandangan dan tak lama lalu menggelengkan kepala dan segera menutup mulut untuk menahan tawa. Setau kami, sehari sebelum pagi itu ia baik-baik saja, sehat wal ‘afiat. Bahwa ia kemudian sebarisan dengan mahasiswa-mahasiswa yang sedang tidak sehat itu, berarti ada sesuatu yang terjadi pagi itu dan membuatnya harus berpikir cepat dan akhirnya mengambil pilihan konyol itu. Dan betul, setelah hari itu ia bercerita, pagi itu sebenarnya ia sudah terlambat dan memaksakan diri masuk ke area kampus dengan wajar tentu akan berakibat fatal, maka segeralah ia memutar otak. Dan akhirnya, ia mendapatkan akal bulus itu. Diambilnya potongan kardus entah dari mana lalu dibubuhi dengan gambar ‘+’ yang kedua ujungnya diikat tali lalu digantungkannya di leher. Dan kemudian ia melangkah gontai, seolah sedang tak sehat dan segera menemui panitia untuk diikutkan sebarisan dengan mahasiswa yang sakit lainnya. Wkwkwkwk… Betul-betul tipu muslihat!

Namanya Samsir Syarif. Tapi ia lebih akrab dipanggil Anci. Ia dulu sepondok pesantren denganku, meski kemudian harus berhenti pada tahun ketiga bersama beberapa teman yang lain. Seingatku, kami tak begitu akrab selama di pondok dulu. Kami tak pernah sekelas. Saat kelas 3, kami memang se asrama tapi berbeda kamar. Tak begitu banyak cerita yang kuingat tentangnya di pondok dulu, kecuali bahwa ia pernah menjadi salah satu santri di angkatanku yang tiap setelah magrib “menghadapkan” hafalan Al Qur’an nya kepada Ustaz, dan menjadi salah satu tokoh utama  dibalik kisah-kisah usil yang kini kerap kali diceritakan ulang dengan tak bosan-bosannya oleh teman-teman saat bertemu di berbagai kesempatan.
Di kamar sebelah kamarku saat kelas 3 yang dihuni Anci dulu punya kebiasaan usil tapi selalu berakhir dengan gelak tawa. Saat semua santri balik ke kamar setelah shalat Isya atau setelah makan malam biasanya yang pulang ke kamar paling akhir akan menjadi objek keusilan. Saat tiba di depan kamar, ia akan mendapati lampu kamar telah mati meski kamar sebelah tetap menyala. Dan saat kaki pertama melangkahkan kaki masuk ke kamar, tiba-tiba berbagai benda akan beterbangan mengarah ke depan pintu. Karena kondisi kamar yang gelap, maka barang-barang yang melayang itu tentu tak kelihatan dan bisa tiba-tiba mendarat di daerah-daerah vital tubuh, sambil sesekali suara tawa cekikikan yang tertahan terdengar dan lalu berubah menjadi tawa yang membahana seantero kamar. Dan si korban hanya bisa mengeluh kesakitan dan tak bisa berbuat apa-apa. Dan bisa kupastikan kalau Anci menjadi salah satu aktor intelektual dibalik keusilan ini…Wkwkwkwk…
Oh iya, saya juga ingat saat Anci sudah tidak mondok lagi, dan melanjutkan sekolah ke salah satu SMA terkemuka di Makassar, ia masih kerap berkunjung ke pondok beserta beberapa teman sekolahnya. Biasanya, Anci lalu mengajak teman-temannya ini menikmati menu makan siang khas pesantren. Lalu dengan bangga akan diceritakan kisah-kisah masa lalunya kepada teman-temannya itu. Kebanggaan yang tak semu tentunya!

Tak pernah menyangka akan bertemu ia lagi dan bahkan sekampus dengannya. Tahun ’99, kami bersama beberapa teman seangkatan di pondok dulu dinyatakan lulus di Politeknik Negeri Ujung Pandang dengan jurusan yang berbeda-beda. Saya sendiri bersama Anci dan Rahmat “Geggere’” dinyatakan lulus di Jurusan Akuntansi. Selanjutnya, adalah rentetan kisah-kisah menarik, lucu, kontemplatif dan inspiratif, dan Anci tetap menjadi aktor utamanya.
Jujur tak tahu harus mulai dari kisah yang mana karena tumpukan kisah-kisah itu begitu banyak dan kini mereka berkelebat satu per satu dihadapanku seolah meminta untuk dijamah. Tapi biarlah aku memilih beberapa!
Bagi kami atau paling tidak bagi saya, mahasiswa Akuntansi Poltek UP angkatan ’99 Kelas B, Anci adalah Ketua Kelas yang tidak biasa yang lalu mebuat kelas ini juga jadi “tak biasa.” Hahahaha… Sebagai pimpinan menurutku ia tak kalah demokratis dan partisipatif dengan Hugo Chavez, hampir semua keputusan diambilnya setelah mediskusikannya dengan kami. Dan sekali keputusan itu telah disepakati, maka dengan tegas dan konsekuen ia akan menjalankannya. Termasuk untuk urusan pulang kampus di jam yang tak semestinya atau melobi dosen untuk urusan-urusan yang tentunya menguntungkan kami anak buahnya. Hahaha
Dibawah kepemimpinan Anci, kelas kami menjadi begitu dinamis, paling tidak untuk ukuran kampus yang jadwal dan sistem perkuliahannya hampir mirip Sekolah Menengah Atas, kuliah dari jam 7 hingga jam satu siang dengan sistem kehadiran yang ketat. Untungnya, satu tahun sebelumnya kebijakan untuk berseragam ke kampus telah dihapus. Di kelas ini, jangan heran kalau di sela-sela menunggu dosen akan ada diskusi-diskusi menarik tentang apa saja tentu dengan pengetahuan seadanya. Dan ini dilakukan oleh mahasiswa baru, praktis tanpa “instruksi” dari senior-senior. Dan dari diskusi-diskusi ini lalu dibentuk sebuah Kelompok Diskusi Imajiner yang bernama Himaska. Dan Himaska pernah sekali membuat kaos dengan gambar Che Guevara.
Saat masih mahasiswa baru bahkan rambut belum lagi tumbuh sempurna, bersama Anci dan beberapa teman lain, kami memulai pengembaraan atas nama kehausan intelektual. Seperti banyak mahasiswa baru saat itu yang begitu ingin tahu banyak, beberapa dari kami memutuskan mengikuti pelatihan dasar sebuah organisasi ekstra kampus Islam terbesar di Indonesia. Selama seminggu kami mengikuti pelatihan yang membuat kami begadang bahkan tak tidur hingga dini hari, walhasil seringkali kami ditegur dosen karena tertidur di jam-jam kuliah.
Setelah kaderisasi ini, banyak yang berubah dari pola berpikir kami. Meski kadangkala kebablasan tapi seperti kebanyakan jebolan kaderisasi, semangat kami begitu menggebu-gebu dan semua hal harus dikritisi. Kami juga mulai membeli dan membaca beberapa judul buku di luar buku kuliah yang penuh angka-angka itu. Sehingga tak perlu kaget kalau saat itu, buku-buku filsafat dan ilmu sosial justru lebih banyak memenuhi kamar kosanku dan tentu kamar Anci di rumahnya ketimbang buku-buku Akuntansi atau Manajemen.  
Dan karena buku-buku itu pula, suatu saat Anci harus “bermasalah” dengan bapaknya. Malam itu, dari kejauhan saya melihat sesosok yang sepertinya kukenal. Setelah mendekat, kupastikan kalau laki-laki yang sedang menenteng kantong plastic merah besar yang berisi beberapa buku-buku tebal, salah satunya The Tao of Islam karya Sachiko Murata, adalah Anci. Ia sedang berjalan kaki menuju kosanku yang memang juga dihuni oleh beberapa teman sejurusan di Poltek. Sesaat setelah sampai di kosan Anci bercerita kalau malam itu ia “diusir” bapaknya dari rumah dan “dituduh” sebagai “teroris” karena buku-buku yang terpajang di kamarnya itu. Semua fasilitas ditarik termasuk kendaraan bermotor yang dipakai Anci. Bahkan saat itu, uang di dompetnya hanya tersisa 40.000 rupiah.
Setauku, dulu Anci memang digadang-gadang oleh bapaknya untuk menjadi ekonom besar atau sejenisnya. Bahkan kalau tak salah ia pernah diajak oleh keluarganya yang bermukim di Negeri Paman Sam untuk melanjutkan kuliah manajemen di salah satu kampus di negara itu. Pernah juga suatu saat, kebetulan saya lagi berada di rumah Anci, bapaknya memberikan setumpuk buku-buku ekonomi untuk dibaca Anci. Mungkin karena merasa harapan besarnya perlahan-lahan pupus seiring dengan bergantinya genre bacaan Anci saat itu, maka terjadilah peristiwa “pengusiran” malam itu..Wkwkwkwk
Saya lumayan sering ke rumah Anci yang di Antang dulu dan sesekali bermalam disana. Dan karena itu saya jadi lumayan kenal dengan hampir semua penghuni rumah Anci tak terkecuali neneknya yang dipanggil Ibu oleh Anci. Kalau lama tak menampakkan batang hidung di rumah Anci, biasanya si nenek akan bertanya kenapa saya tidak pernah lagi datang. Anci yang memang senang bercanda dengan neneknya itu, pernah mengibuli neneknya kalau saya tidak pernah lagi datang karena harus melanjutkan sekolah ke Iran. Dan si nenek percaya, “begitu memang kalo pintar orang bisaki sekolah ke luar negeri, nda sama kau Anci,” ujar si nenek dengan suara khasnya. Mendengar cerita itu dari Anci, saya tertawa terpingkal-pingkal. Dan beberapa hari kemudian, si nenek baru sadar kalau dikerjai Anci saat saya tiba-tiba nongol di rumah itu. Wkwkwkwkw
Ah, bercerita tentang Anci memang sebagian besarnya akan dipenuhi dengan banyolan-banyolan khas anak muda yang besar di Lorong Nipa-Nipa Antang. Dan selain itu, Anci juga selalu punya trik cepat dan ampuh untuk mengatasi satu masalah yang mungkin bagi kita pelik. Suatu hari, saya hendak meminjam kemeja hitamnya untuk suatu keperluan yang mendesak. Kujumpai Anci di bilangan Jl. Jend. Sudirman, sekretariat IAPIM dulu. Dari sana, kami berdua berangkat menuju rumahnya dengan mengendarai motor Shogun merahnya untuk mengambil kemeja itu. Pas di depan pintu gerbang Masjid Al Markaz ternyata ada sweeping oleh Polsekta Sunu yang kantornya memang tak jauh dari situ. Parahnya, Anci tak membawa berkas-berkas kendaraannya. Dan parah berikutnya karena struktur jalan agak menanjak jadi operasi itu tak terlihat oleh kami dari jauh. Meski sempat agak panic, tapi bukan Anci kalau tak punya solusi cepat. Motor tak ia hentikan di depan para polisi yang sedang memberhentikan dan memeriksa kendaraan bermotor lainnya, tapi sebaliknya motor justru ia arahkan menuju Kantor Polsek yang hanya berjarak sekitar 15 meter dari tempat operasi. “Kita mau kemana Anci,” sambil agak bingung saya bertanya. “tenang saja Bob,” santai Anci menjawab. Motor di parkirnya tepat depan Kantor Polsek dan kemudian ia bergegas masuk menuju Kantor itu dan meninggalkanku di luar. Tak cukup sepuluh menit Anci sudah keluar dan segera meninggalkan kantor dan deretan polisi yang masih menggelar operasi rutin malam minggu itu sambil tertawa lepas. Masih didera kebingungan, saya bertanya apa yang sudah dilakukan Anci di kantor polisi tadi. Anci pun bercerita sambil memacu motornya menuju Antang. Singkat cerita, saat masuk ke kantor polisi itu Anci bertemu seorang polisi dan menanyakan nama seorang polisi, dan kebetulan sekali nama yang disebut Anci memang ada di kantor itu tapi sedang bertugas keluar, jawab si polisi. Dan yang membuat ini lucu karena nama polisi yang dicari Anci itu juga tak ia kenal, nama yang kebetulan hinggap saja di kepalanya. Wkwkwkwk

Meski dengan perawakannya yang lebih senang bercanda, saya tau betul Anci selalu tegas dan berani untuk semua hal yang ia anggap benar. Dan karena itu pula ia harus di skorsing dua semester, kalau tak salah ingat, di Poltek dulu yang membuatnya memilih untuk tak melanjutkan kuliah di kampus samping Unhas itu. Skorsing ini seingatku untuk dua kasus yang berbeda. Pertama, karena anci dianggap menjadi aktor unjuk rasa mahasiswa yang meminta transparansi pengelolaan dana di jurusan akuntansi dan selanjutnya untuk kasus demonstrasi yang digelar mahasiswa Poltek yang juga meminta transpransi pengelolaan dana namun kali ini oleh Direktur Poltek. Wah, hari-hari itu betul-betul melelahkan. Saya yang sejak tahun 2000 sudah pindah ke kampus sebelah juga ikut merasakan hari-hari yang revolusioner itu. Unjuk rasa berhari-hari, mogok makan, evakuasi oleh aparat dan rentetan aksi-aksi yang melibatkan begitu banyak mahasiswa se Makassar. Dan Anci ada disana.
Setelah memilih untuk pindah kuliah ke kampus lain, cerita “subversive” ini belum selesai. Malam itu, seusai menjadi pemateri di pengkaderan Fakultas Hukum Unhas, Anci menelpon. “Bob, ada ko kenal pengacara,” tanya Anci. Pertanyaan itu tak kujawab, ia langsung kusuruh ke tempatku malam itu. Setelah tiba, Anci bercerita kalau ia baru saja bersama teman-temannya di Stikom Fajar menggalang unjuk rasa penolakan aturan kampus tentang Pengkaderan, kalau tak salah ingat, dan karena itu ia terancam kena skorsing lagi. Dan saya hanya tertawa, sekali lagi tertawa. Lelaki ini memang keren, pikirku!

Meski lebih sering bercanda, namun tak jarang Anci akan jauh tenggelam dalam diskusi-diskusi yang kadang bagiku cukup “berat.” Saat bertemu atau via media sosial beberapa kali ia mengajakku terlibat dalam percakapan-percakapan tentang hal-hal yang substansial. Dari soal ekonomi, politik kontemporer hingga kiat menuju spiritualitas yang membumi. Dan saat-saat seperti itu, saya tidak sedikit pun kehilangan Anci yang saya kenali akrab sejak kuliah dulu karena ia memang sudah seperti itu sejak kami memilihnya sebagai ketua kelas. Dan tak salah kalau beberapa bulan kemarin saya tak bosan-bosan me ‘like’ semua petuah-petuah keren yang ia posting di group yang juga kuikuti hampir setiap hari.

Kemarin Anci berulang tahun dan terlintas untuk memberikannya kado tulisan ini. Jujur tak tahu harus berhenti dimana karena masih banyak yang belum kuceritakan. Tapi biarlah tulisan ini seperti film yang akan melahirkan sequel-sequel baru karena toh hidup dan semua cerita beserta hikmahnya masih akan terus terpempang untuk diresapi dan dijadikan sebagai bahan belajar.

Selamat Ulang Tahun ces…
Tetaplah menjadi Anci!
Dan salam untuk keluarga…

Jogja, 23 Maret 2012

Komentar

  1. betul -betul seperti anci yang ku kenal juga hahahahha

    BalasHapus
  2. Selalu mentong jd pemeran utama.. Hahaha

    BalasHapus
  3. ...Toba masa tiba akal...senjata paling handal...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer