Aksi Massa dan Rock ‘n Roll

Per 1 April bulan depan, pemerintah berencana menaikkan harga BBM dengan alasan yang selalu hampir sama sejak dulu. Alasan-alasan yang selalu tak pernah begitu terang dijelaskan ke kita, masyarakat biasa. Dan yang sering membuat kami heran dan lama kelamaan justru semakin kesal dan marah justru karena ke(tidak)bijakan itu mengatasnamakan kebaikan dan kesejahteraan kita, rakyat banyak dan biasa. Dan saat-saat seperti ini, kekesalan dan kemarahan terartikulasi dengan begitu massifnya, oleh siapa saja tak kenal kasta dan dimana saja tak kenal ruang. Tapi kadar ekspresi dan artikulasi kemarahan dan kekesalan itu berbeda-beda. Mas Bro misalnya, pemilik warung makanan samping kosan, hanya bisa mengumpat dengan rencana keblinger ini sambil sesekali tak sengaja menunjukkan otot nya yang begitu terbentuk saat adrenalinnya mulai meninggi. Dan level kemarahan seperti Mas Bro ini tentu sangat banyak saat ini. Bukan hanya karena rencana kenaikan harga BBM, tapi karena tumpukan ketidakpastian dan kebobrokan sistem dan pengelolaan republik ini.
Tapi jangan khawatir, kita masih punya mahasiswa-mahasiswa berani yang selalu paling bisa mengartikulasikan kemarahan dan kekesalan itu dengan pilihan-pilihan strategi dan taktik yang lebih maju dan nyata. Pilihan-pilihan yang justru sering berbuah hasil yang tak mengenakkan bahkan membahayakan. Coba pentengi saja layar tivi hari-hari ini, sudah puluhan dan pasti akan terus bertambah jumlah mahasiswa yang harus merasakan kekerasan fisik, dan penangkapan oleh aparat karena pilihan-pilihan strategi dan taktik tersebut. Tapi saya tahu betul, konsekuensi-konsekuensi yang tak begitu “indah” itu sudah diperhitungkan dengan matang. Tepatnya sangat matang. Bukankah tak ada yang begitu mudah untuk ikhtiar yang sungguh-sungguh! Dan karena itu semua, tak salah kalau seorang kawan berujar “untung kita masih punya mahasiswa,” yang lalu kuamini tegas.
Saya sendiri selalu senang melihat berita tentang aksi teman-teman mahasiswa yang begitu bersemangat dan seolah tak kenal bahaya bahkan maut. Dan saat seperti itu, seuntai doa dari saya yang selemah-lemah iman pergerakannya ini semoga mereka diberi kekuatan serta konsistensi dan energi lebih untuk tetap bertahan dan yang paling penting semoga saat balik ke kosan setelah “pertempuran” yang melelahkan, pemilik warung sebelah rela memberi seporsi makanan meski harus ngutang dulu. Amin.
Tapi melihat aksi mahaiswa, selalu ada yang mengganjal dan mengganggu. Dan itu sudah kurasakan lama. Sejak masih lumayan sering berada di jalan yang sama hingga kini saat hanya bisa melihat “pertempuran” jalanan dari balik layar tivi sambil sesekali mengeluarkan umpatan-umpatan kepada para empunya seragam. Ini sederhana sebenarnya tapi tak kalah penting dengan deretan bait-bait orasi politik yang kadang justru membosankan tatkala adrenalin mulai memburu. Lagu-lagu aksi dan agitasi.
Sore kemarin. Sesaat setelah salam dan doa pendek kupanjatkan, dari ruang nonton kosan kudengar agitasi aksi yang setauku sejak setelah aksi-aksi revolusioner ’98 sudah digunakan. “Satu komando, satu perlawanan,” dan selanjutnya lagu-lagu aksi yang sama kembali mengalun. Bahkan pernah suatu saat, tak begitu lama setelah menyelesaikan S1 dan masih sesekali mengikuti aksi mahasiswa, karena kebingungan mau menyanyikan lagu apa untuk mengagitasi dan menjaga semangat massa, seorang korlap tiba-tiba mendekatkan megaphone nya ke ponselnya yang sedang memutar lagu soundtrack film Gie. Walah, parah..parah!
Bagiku, aksi massa adalah bagian dari ekspresi seni. Seni yang berpihak tentunya. Dan karenanya, sekecil atau sespontan apa pun aksi itu ia harus menarik dan tentu tanpa mengurangi substansi aksi tersebut. Targetnya sederhana, dengan variasi aksi yang menarik tentu akan mencuri perhatian banyak orang, pengguna jalan misalnya, dan tentu harapannya mereka menangkap substansi aksi dan solidaritas menjadi mudah diraup. Dan paling minimal tentu membuat massa aksi yang selalu tak semuanya memiliki kesadaran politik apalagi ideologis yang sama rela bertahan dan berlama-lama. Bahkan dalam kondisi yang terburuk pun, bukankah agitasi yang jelas dan menarik menjadi sangat begitu krusial. Tidak hanya untuk membangkitkan semangat namun sekaligus untuk membangun atmosfer yang “revolusioner.” Hahaha….
Saya jadi ingat sekitar 9 tahun yang lalu saat pemerintahan Mega-Hamzah menaikkan harga BBM dan “pertempuran jalanan” di berbagai daerah terjadi berminggu-minggu. Hampir tiap hari ribuan orang memenuhi jalan-jalan di berbagai kota, Makassar tentu salah satunya. Bahkan pernah suatu hari di tahun itu, Makassar menjadi kota dengan jumlah massa terbesar yang menggelar aksi penolakan kenaikan harga BBM, bayangkan 10.000 orang lebih. Saat itu, seingatku ada dua front dengan massa besar, Front Perjuangan Rakyat Miskin (FPRM) yang terdiri dari gabungan antara mahasiswa, buruh dan kaum miskin kota serta Aliansi Mahasiswa Makassar (kalau tak salah ingat!). Dan yang tak mungkin saya lupa, untuk persiapan aksi hampir setiap malam kami bersama teman-teman berupaya untuk membuat dan mengubah serta mengaransemen lagu-lagu untuk dinyanyikan saat aksi beserta yel-yel yang akan dipakai dan menentukan siapa-siapa yang bertugas mengarahkan massa untuk terus meneriakkan lagu-lagu dan yel-yel tersebut. Dan keesokan harinya, tak pernah ada jedah waktu yang begitu lama tanpa variasi-variasi dalam aksi. Sehingga tak begitu berlebihan jika barisan massa kami begitu mendapat perhatian dari kelompok yang lain. Dan saya sendiri tak pernah bosan mengajak dan ikut bernyanyi bersama dalam kondisi seperti itu. Rock n roll guys!

Ah, tulisan ini tak perlu diambil hati, toh hanya romantisme dan sedikit keluh kesah dari seseorang yang akhirnya tak bisa berbuat apa-apa dan selalu menganggap kalau aksi massa selalu tak kalah rock ‘n roll dengan ribuan panggung musik secadas apa pun itu.

Tetap berjuang kawan!

Jogja, 15 Maret 2012

Komentar

Postingan Populer