.. that's why i'm here...

Sore dan aku telah mempersiapkan barang-barang untuk segera pulang. Hampir pukul 5 dan tinggal 1 kelas terakhir. Sembari kumasukkan laptop ke tasku, kulihat seseorang dengan pakaian Dinas lengkap berwarna orange mati, sedang berjalan di teras. Dia membawa sebuah buku yang lumayan tebal, dan aku menebak-nebak. Paling tidak, dia adalah seseorang dari Dinas Pendidikan yang akan  melakukan inspeksi kursus. Tapi, dari perawakannya dia terlalu mewah untuk datang sendiri menginspeksi. Aku berjalan menyambutnya,
“silahkan masuk pak.” Jemputku ramah. Ia tersenyum sambil membuka sepatu dan membuka bukunya yang tebal itu.
“ mau translate” katanya dengan rendah hati. Aku tersenyum mempersilahkannya duduk.
“ Pak Farid, merekomendasikan tempat ini untuk translate. Kataya ke sana saja Pak, di sana transletannya bagus dan murah.” Saya tersenyum.  Kerjaan transletan ini sudah komrad dan saya geluti sejak masih kuliah dulu. Lebih banyak komrad yang mengerjakannya. Pertama, kerja mengerjakan translate bukan cuma butuh pengetahuan Bahasa Inggris yang bagus tapi juga kita harus sabar untuk kait mengaitkannya hingga berkesinambungan arti. Dan untuk urusan ini, aku sering tidak sabar. Dan komrad sangat ahli melakukannya. Apalagi, kalau ia suka dengan bahan yang ia kerjakan. Terakhir ini sekaligus yang disebutkan sama bapak ini adalah proyek transletan paling banyak. Komrad mengerjakannya dengan maksimal tanpa beban karena subjek yang ia translate adalah pengetahuan baru untuknya dan terbukti, temanku saat itu tanpa edit mengedit lagi langsung menyetor transletan itu sebagai tugas resumenya. Nah! Karena komrad sering mengerjakan sesuatu tanpa beban, yang biasanya kebabalasan dengan waktu, di situlah aku sering berperan. Bukan hanya masalah transletan. Tapi dalam semua hal, aku “jam weker” untuk kerjaan-kerjaan komrad.
Bapak itu, mulai mencari-cari halaman tugasnya sembari bertanya-tanya. Berkesah tentang jasa pentranslate yang menurutnya tidak pernah memuaskan. Sambil terus mencari ia sibuk bertanya, tentang tempat kursus ini. Untuk orang tua, dia punya cukup banyak pengetahuan tentang bahasa Inggris. Katanya, ia mengajarkan anaknya pakai kayu. 50 vocabulary 1 hari. Lucu! Masih ada juga yang melakukannya. Ia berkisah kalau ia juga pernah kursus di Britton, pantas tahu bicara tentang Bahasa Inggris. Dia berkilah, tugasnya ini tidak bisa ia lakukan karena kerjaannya yang menumpuk. Saat kutanya tentang pekerjaannya, ia tidak menyebutkannya secara eksplisit.
Bapak ini lumayan keren di ajak bicara. Ia sedang mengambil jurusan Administrasi
Publik di UNM untuk S3 nya. Dia bercerita kalau tahun depan, dia bersama 50 temannya akan ke Amerika untuk kursus singkat.
“ Tidak banyak kok, biayanya. 50 juta saja” katanya mulus. Aku tersenyum, tertawa dalam hati. Begitu gampangnya ia menyebut 50 juta dan dia pandankan dengan kata “tidak banyak." Seperduapuluhlima dari nominal itu, bisa membuatku terbang bersama maha ke komrad. Dan mengguyur rindu kami. Finally, its just about the money. Hahahahah....
Ia bertanya banyak tentang metode belajar yang kami terapkan di tempat kursus. Ia menimpali banyak, dan mengeluarkan banyak pendapat.
“  oh..ya dek. Alumni...???”
“UNHAS pak“ kataku.
“ jurusan??
“ HI.” Ia menyetop tangannya yang sedari tadi sibuk mengutak-atik halaman buku yang tak juga ia temukan. Lalu menatapku.
“ Hubungan Internasional? Aku mengangguk. Untuk ukurannya, ia tahu jurusan ini adalah jurusan bergengsi dan banyak yang menyepakati itu. Ia membetulkan posisi duduknya dan bertanya.
“ Apa yang kamu kerjakan di sini? Kenapa lulusan HI UNHAS pulang ke Bone hanya untuk mengajar Bahasa Inggris?” tiba-tiba senyumku yang tadi menghiasi wajah, perlahan berubah. Wah...dia tidak secerdas yang kukira, kataku dalam hati. Aku tersenyum. Enggan menjawab. Pertanyaan ini sudah sering kudengar. Bahkan dari keluarga sendiri. Dan rasanya lebih pahit untuk dicerna. Ia mengulang pertanyaannya lalu melanjutkan
“ Harusnya kamu kerja di KEMENLU, kerja di kedutaan, di luar negeri. Seperti beberapa orang jurusan HI yang saya kenal, ilmumu tidak akan berguna di Bone. Banyak anak HI semuanya berhasil di luar negeri “iyya mengatakannya dengan haqqulyaqin (betulji tulisannya komrad?) aku tersenyum, dan hanya bisa bilang
“ banyakmi anak HI yang mau kerja begitu, dan yang mau mengajar sedikit.” ia tidak ngeh mungkin, atau tidak secerdas pikirku hingga tidak menanyakan “kenapa kamu harus ikut yang sedikit itu”
“Nah..ini halamannya” katanya sembari menunjukkan lima lembar halaman yang harus kutranslate untuknya. Ia membuka percakapan lagi dan berharap, ia bisa mengambilnya minggu depan. Aku mengiyakan. Ia pulang.
 

Pagi ini, tiba-tiba pertanyaannya muncul di benakku. Sebenarnya, bukan hal yang baru untukku. menurutku, ia telah begitu kompleks menjudgeku. Orang yang bahkan tidak kukenal, dan tiba-tiba berkata “ilmumu tidak berguna di sini.” Entahlah, aneh saja mendengarnya.
Kalau bisa jujur, siapa sih yang tidak ingin melihat dunia dalam arti yang sesungguhnya. Berkeliling, melihat kehidupan lain, budaya lain, aku mengimpikannya sejak lama. Itu bahkan salah satu alasanku kenapa memilih HI saat UMPTN dulu. Tapi, kerja di kementerian luar negeri memang tidak pernah masuk dalam list mimpiku. Kerja di Kedutaan, aku pernah mau. Waktu berkunjung ke Kedutaan Venezuela di Jakarta.  Namun, seiring perjalanan mungkin semua orang yang mempelajarinya tahu ilmu HI tidak sesederhana itu.  Dia tetaplah ilmu yang mempelajari hubungan sesama manusia. Bahwa dibalik besarnya negara, dibalik besar kecilnyanya angka-angka pertumbuhan ekonomi sebuah negara, di sana ada manusia. Lalu kenapa harus butuh ke luar negeri untuk mengamalkan ilmu HI? 
Namun, walau begitu aku selalu bangga dan kagum dengan teman-teman yang tiba-tiba kudengar sedang ada di belahan dunia mana, sedang belajar di cuaca -1 derajat, atau sedang bermain dengan bola salju. Aku selalu salut akan mereka yang tidak berhenti bekerja dan belajar untuk mencapai impiannya. Dan mereka mungkin telah meraih apa yang mereka impikan.
Aku? Aku juga telah meraih beberapa hal yang kuimpikan. Menikah muda, punya suami keren dan anak yang sehat, punya kursus-kursusan, punya blog, punya waktu senggang untuk belajar merajut, dan semua yang kupunya hari ini membantuku untuk meraih mimpi-mimpiku yang lain. Diralat, bukan lagi mimpi-mimpiku tapi mimpi-mimpi kami as a family.
Aku mungkin mengacuhkan beberapa kesempatan untuk beberapa prioritas. Seperti tawaran beasiswa ke Jepang, yang harus kutolak karena tidak memberiku beasiswa keluarga. Memang pilihannya kadang berat. Tapi, aku bangga,  aku memilih banyak hal dalam hidupku yang tidak perlu jadi ukuran bagi orang lain. Kerena aku sanggup mengukurnya sendiri. Aku mungkin tidak mendpatkan banyak hingga hari ini atas apa yng telah kujalani. Tapi aku percaya aku tidak akan berhenti berbagi. Dan sepanjang pemahamanku, itulah hakikat ilmu yang sesungguhnya.
 

Thanks pak, atas sore yang menguatkan!
 

Ibu Nhytha
23 Maret 2012
#masihmerindu

Komentar

  1. Biasami kalau saya baca tulisan di sini sambil senyum2, tapi tumben sekarang sambil ketawa...
    nice post

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer