Man Jadda Wajada

Hari-hari ini, orang-orang lagi rame-ramenya membicarakan tentang sebuah film yang diadopsi dari sebuah novel Best Seller dengan judul yang sama, Negeri 5 Menara. Saya sendiri belum sempat membaca novel itu apalagi menonton filmnya. Dari cerita teman-teman yang sudah membaca novel ini dan hasil amatan di lini masa twitter beberapa orang yang sudah menonton film ini, bisa kutau kalau film ini kira-kira bercerita tentang hiruk pikuk kehidupan di pondok pesantren beserta impian dan cita-cita besar para santri.
Saya dan siapa pun yang pernah mengecap kisah manis getir pondok pesantren dan belum sempat membaca novel atau menonton film ini pasti sudah bisa meraba-raba alurnya. Karena menurutku tak ada yang terlalu berbeda dari kisah-kisah kehidupan selama mondok mulai dari bangun di subuh hari hingga hendak beranjak tidur lagi serta berbagai aktivitas di sela-sela awal dan akhir waktu itu. Paling tidak, begitu kesan yang kudapat dari hasil berbagi kisah dengan beberapa teman yang juga mondok di pesantren yang berbeda.
Kembali ke film Negeri 5 Menara. Ada satu kalimat tepatnya pepatah Arab di film ini yang belakangan juga sering diulang-ulangi di banyak tempat. Bahkan kemarin pagi kudengar pepatah ini diucapkan oleh seorang selebritis yang jadi host di acara pagi sebuah radio anak muda yang cukup terkenal di Indonesia. Pepatah yang menurutku berlaku sangat universal dan ia selalu menjadi bagian penting dari skenario yang bernama kehidupan. Man Jadda Wajada, barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil. Begitu bunyi pepatah ampuh itu!
Selama 6 tahun saya mondok di salah satu pesantren modern yang cukup terkenal di Kota Makassar bahkan Indonesia Timur. Terminologi modern ini setauku digunakan untuk pesantren yang menerapkan kurikulum khas pesantren yang dikombinasikan dengan kurikulum umum milik pemerintah.  Salah satu pelajaran yang lumayan kusenangi di tahun pertama yaitu Mahfudhat, pelajaran tentang pepatah dan petuah Arab. Dan pepatah pertama yang harus kami lafazkan dan hafalkan dan tak mungkin kulupa adalah Man Jadda Wajada itu. Dan seratus persen kuyakini, siapapun yang pernah mondok tak akan mungkin lupa pepatah ini.
Perjalanan 6 tahun di pesantren tentu bukan waktu yang sebentar. Apalagi untuk perjalanan ke kehidupan yang lebih azali. Dan perjalanan menempuh waktu yang tak sebentar itu bertaut-temaut dengan komprehensifitas pemahaman atas pepatah Man Jadda Wajada ini. Makanya, mungkin itu mengapa pepatah ini menjadi yang pertama didengungkan ke telinga kami dengan harapan ia akan menggema dan selalu hadir di setiap pojok ruang waktu dan hidup saat langkah begitu malas menapak atau ketika tembok terjal menyapa tak ramah di salah satu penggal hidup.
Seingatku, pepatah ini sepaket dengan pepatah-pepatah lanjutannya. Man Shabara Dhofiro, barang siapa yang bersabar maka beruntunglah ia dan Man Saara ‘Alaadarbi Washala, barang siapa yang berjalan pada jalannya (diaman seharusnya ia berjalan) maka sampailah ia. Wah, sungguh dahsyat! Perpaduan antara kerja keras, kesabaran dan konsistensi. Dan bukankah rumus untuk hidup yang berkualitas adalah perpaduan ketiga unsur ini plus ketaatan atas nilai-nilai tauhidiyah? Sehingga semuanya tidak hanya akan berhenti di cucuran keringat dan sunggingan senyum saat kerja telah berubah bentuk menjadi “angka” dan “kursi “ namun kemudian lupa dan alpa atas sapa dan syukur.
Hari-hari ini, saat banyak orang sedang sering-seringnya bercerita tentang film Negeri 5 Menara yang mungkin juga akan menambah jumlah pembelian novel dengan judul yang sama, saya sendiri sedang berusaha bekerja keras, bersabar dan konsisten untuk menyelesaikan sesuatu sambil menunggu tuah Man Jadda Wajada menjumpaiku awal minggu depan. Semoga!

Jogja, 10 Maret 2012
Ah, tulisan ini awalnya bergenre nostalgia tapi kenapa jadi begini..biarlah!

Komentar

  1. man jadda wa jadda = mengingatkanku di IMMIM
    apalagi dengan kata kata robitatul masajidi walmusallayatil muttahida.. :P

    Ichan Katili Duhe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer