...future rhapsody..

Di sebuah pagi yang cerah, seorang perempuan 40an tahun menapak langkah demi langkah membawa sebuah nampan. Berisi sepiring pisang goreng, segelas susu kalsium tinggu menuju halaman belakang rumahnya. Halaman belakang yang luas, dipenuhi bunga-bunga yang mempercantik  sebuah pendopo kecil, semalam dipakai beberapa mahasiswa untuk belajar, berdebat dan tentunya begadang. Langkahnya pasti menuju seseorang, seorang pria yang selama ini bersamanya, pria yang  sedang menunggu dengan lapar dan senyum.
“sarapan pagi sudah siap.” Perempuan itu menyuguhkan dengan cinta. Lahap, mereka berdua bercerita menyambut pagi. Seperti pagi-pagi yang telah mereka lewati 20 tahun terakhir. Tentang rajutannya yang belum selesai, tentang proyek film dokumenter untuk anak-anak di daerah industri KIMA, tentang buku-buku yang laris manis di lapakan kematin, tentang pengunjung kafenya,tentang teman-temannya, tentang perdebatan mahasiswa-mahasisiwi semalam, dan tentunya tentang anak-anaknya.
“ Semalam, anak kamu menelpon. Saya tanya, minggu depan nda bisa pulang? Katanya mungkin semester depan. Semester ini ada agenda musim panas yang harus dia selesaikan.”
Laki-laki itu seperti biasa, terdiam mengerti. Tidak ingin berbicara  banyak padahal sedang menampung rindu untuk laki-laki kecilnya yang tumbuh besar di negeri dimana Eifell berdiri angkuh menantang dunia. Ia diam dan mengerti bahwa anaknya akan memeluk masanya sendiri. Mungkin tanpa mereka berdua di sisinya.
************
Dan di sebuah asrama bergaya klasik Eropa, rindu sedang  melintasi benua dan samudera. Malam,masih menggantung. Pusing, tiba-tiba penat dengan semua yang ia kerjakan. Sejak pagi ia sibuk mengedit tulisan teman-temannya untuk diterbitkan di koran kampus sekaligus untuk bahan aksi besok. Lapar mulai menyerang perutnya. persediaan uang bulan ini masih lumayan banyak. Kiriman uang beasiswanya teratur dan selalu berlebih , harusnya ibunya toh tidak perlu mengirimkan tambahan uang jajan apalagi bisnis sablon menyablon yang digeluti bapak dan ibunya sedang sepi. Mahasiswa di Makassar sedang begitu terpesonanya dengan segala yang serba instan, baju ospek yang biasanya dikerjakan bapak dan ibunya dengan manual, kini harus bersaing dengan percetakan besar yang menawarkan harga murah.
Segala tumpukan pekerjaan tiba-tiba menggunung dan memucak dalam lapar yang dalam, hingga ke ulu hati.
“ ingat..jangan terlambat makan! ” begitu selalu pesan ibunya setiap menelpon atau menghubunginya via YM. Kemarin, ibu memintanya pulang liburan ini. Musim panas masih lama...harusnya ia bisa mengunjungi “rumahnya” jika saja tidak terlanjur terlibat dalam kegiatan ini. Tapi dia tahu betul bapaknya akan lebih senang dengan pilihan yang ia buat.
Lapar semakin terasa. Kulkas penuh dengan makanan instan. Ia mencoba meracik masakan sendiri seperti yang sering diajarkan bapaknya. Ibunya selalu lebih tahu mengkritik dari pada membuatnya. Sepiring nasi goreng, telur dadar,  dengan bumbu dari “rumah” telah siap menemani malamnya yang mungkin panjang. Sesuap demi sesuap ia mengunyah.  Enak, tapi ada yang kurang. Tiba-tiba ia teringat hari itu....
Umurnya masih 3 tahun. Pagi itu ibunya terbangun dengan letih di seluruh badan dan sedikit sakit di perutnya. ia ingat,  saat itu, bapaknya masih kuliah di Jogja. Dia dan Ibu sedang berjuang menahan rindu karena bapaknya harus menunda kepulangannya berkali-kali. Entah urusan apa, saat itu ia sama sekali tidak mengerti. Ia hanya tahu, ia tidak bersama bapaknya saat itu.
Dia bangun dengan malas, setelah berkali-kali ibunya mengganggu tidurnya dengan mengecupnya berkali-kali. Matanya akhirnya terbuka juga, rasa lapar yang sama ia rasakan. Lapar yang menusuk hingga ke bagian paling dalam. Dan ia berteriak
“ Bu..mau makan nasi goreng ibu.” Teriakan kecil itu serta merta melenyapakan segala susah dalam pandangan ibunya yang sejak kemarin entah memikirkan apa-apa yang terselip di sela-sela tawanya. Ibunya dengan sigap membuat nasi goreng, juga dengan bumbu instan. Dia melihat mata ibunya begitu berbinar saat suap demi suap menghabiskan nasi itu dengan lahap. Ia melihat kebahagiaan ibunya. Kebahagiaan yang selalu sederhana dan selalu kedua orang tuanya ajarkan sejak ia masih begitu kecil.
Samar masa kecil tiba-tiba hilang, bertumpuk di atas nasi goreng yang tak juga lahap ia santap. ia beranjak, menuju meja lalu membuka laptop. Berharap seseorang di list contack d YM nya sedang online.  Dan harapannya terwujud ibunya sedang menggerayagi dunia maya. Dia tahu, pagi-pagi di sana setelah sarapan bersama bapak, setelah pekerjaan rumah beres, ibu akan mengutak-atik blognya yang sudah ada sejak ia masih berumur 1 tahun.
“bu..maha rindu nasi goreng ibu.”
Dia membukanya dengan kalimat singkat. Dan di ujung mata di depan perangkat yang sama, ibu 40 tahunan itu sedang tersedu menangis rindu, bahagia, demi membaca seuntai kalimat untuknya di pagi hari.
“Komraaaaad....maha!” di sela tangis, ibu itu berteriak. Laki-laki yang tadinya sedang menyusun bahan ajar kuliahnya berlari dengan senang! Menjumpai anaknya, lewat layar sekian inci.

*****************
Hmmmmmmmmmmmmmmmm...sesimple cerita di atas. Beberapa pagi kemarin, aku begitu bahagia, saat maha terbangun dan ingin makan nasi goreng buatanku. Walau lebih sering, rasanya yang memang enak  bukan hasil dari racikan ketepatan perkiraanku memasukkan bumbu demi bumbu, tapi sudah begitu lengkap dalam bungkusan dan  hanya bisa kudapatkan dengan harga Rp. 3.000,. Aku hanya cukup, menambah tumisan bawang merah, telur orakarik, atau sosis. Dan aku begitu bangga jika ia makan dengan lahap, menghabiskan semua makanan itu tanpa sisa. Seperti minggu-minggu terakhir ini. Aku bahagia dan berharap, waktu mempertemukanku dengan impian-impian kecil di suatu masa. Bahwa mahaku akan bangun dan merindukan masakanku.
I promise, you will! Karena ibu akan belajar memasak untukmu, untuk bapakmu, dan untuk adik-adikmu kelak.
 
Ibu Nhytha
20 Maret 2012
#hujanmenggerusrindu

Komentar

Postingan Populer