...introduction...

Maret akhirnya menemui ujung. Sebuah ujung yang melegakan, karena pemerintah yang menunda rencana kenaikan BBM, membuktikan dua hal. Pertama pemerintah yang telinganya bebal dengan teriakan dan tangisan rakyat, baru ingin mendengar saat massa mengajukan protes keras berbentuk kekerasan. Kedua pemerintah lagi-lagi tidak betul-betul mendengar karena hanya melakukan penundaan bukan pembatalan, kuyakin menunggu perlwanan lemah dan surut. Hampir seminggu, perbincangan orang di tivi dan di sekitarku berkisar tentang kenaikan BBM dan demo. Umumnya mereka sama “menolak kenaikan BBM” tapi tidak dengan aksi massa, apalagi media tidak henti menghabarkan tentang “betapa bobroknya moral para pendemo”. Media memang sering tidak masuk akal.
Nah, maha beberapa hari lalu bertanya pada mami di mobil saat mereka harus mengalihkan jalan karena mahasiswa Bone menutup beberapa jalan utama.
“mami, apa itu demo?” mami saat itu memberitahu seadanya dan menambahkan
“tanya ibu, dia lebih tau.” Tapi maha tidak menanyakannya padaku. Pertanyaan itu kutahu dari mami.
Beberapa malam yang lalu, saat emosiku membuncah mendengar berita di tivi, tentang polisi yang menyerbu kampus UIN Makassar, sesaat sebelum sesi dongeng sebelum tidur kumulai bersama jagoanku.
“cerita apa ibu?” masih dengan adrenalin penuh marah. Aku memilih akhirnya
“ tentang demo “ dia tersenyum.
“ ibu marah sama polisi maha. masa’ mereka tembaki mahasiswa. Tidak betul itu. “ kataku memulai. Paham atau tidak, maha mendengarku.
“ dulu, bapak sama ibu juga sering demo, seperti mahasiswa-mahasiswa itu yang di tivi. Bapak lebih sering. Bapak itu jago orasi.” Kataku memulai
“apa itu orasi?” tanyanya dengan mata berbinar.
“ orasi itu seperti pidato hanya lebih bersemangat.”jawabku sembari duduk dan mencoba mencontohkan gaya orasi bapaknya yang telah hatam kuhapal sejak lama. Belum sempat kumulai, ia dengan dot dimulutnya berteriak
“semangat!” aku tersenyum.
“kawan-kawan..hari ini SBY dan pemerintah sekali lagi membuktikan mereka tidak pro pada rakyat.” Kataku bersemangat seolah berada di mimbar kecil dan lautan massa sedang mendengarku. Padahal, hanya satu pasang mata yang sedang melihatku geli. Aku melanjutkan orasi berapi-api jam 10 lewat di malam hari. Namun kebisingan dari kamar kami saat malam, sudah hal lumrah yang dimaklumi tetangga. Dan maha masih memperhatikan.
“ibu juga orasi?” tanyanya. Aku diam, seingatku jika aksi aku tidak pernah memilih untuk orasi. Pernah sekali, itupun karena terdesak. Saat aku hanya berdua, Nanni dan komunitas kami diundang untuk menyampaikan orasinya. Itupun singkat, dan tentunya selalu diakhiri puisi.
“Oh..ibu nda pernah orasi. Ibu baca puisi sama menyanyi selalu. “ lalu kulantunkan lagu-lagu aksi yang kuyakin masih dipakai hingga sekarang
“di bawah topi jerami...ali baba..........dst” maha lebih tertarik dengan “ali babanya”
“satukanlah..... dan beberapa lagu-lagu aksi yang sebenarnya telah sering maha dengar sejak ia kecil. Tapi maha yang masih minum susu dan dari tadi tersenyamsenyum karena ulah ibunya yang mungkin kelihatan agak gila, mendengungkan nada.ia melepas dotnya sambil menyanyi
“ lawan..lawan..lawan..dengan menang “ ia menyayikannya dengan keras, lantang, sambil melompat, walau agak salah liriknya. Ia meminta susu dan dari bawah, kudengar ia masih menyanyikan lagu itu berulang-ulang dengan teriakan yang semakin keras dan semakin tidak berirama.
Saat mulai lelah, ia membaringkan tubuhnya kembali di dekatku. Susu ke sekian botol malam itu ia minum lagi. kutahu, saatnya memejamkan mata. Ia membaca doa tidur dan berdoa semoga Allah memberinya keselamatan dalam tidur. Iamengatakannya dengan sangat lucu.
“Ya Allah, berikanlah maha selamat tidur.”
Kunyanyikan lagu-lagu yang tidak lagi menghentak-hentak. Kuberitahu padanya masih sebagai sesi dongeng sebelum tidur bahwa kelak saat maha kuliah, maha harus ikut aksi. Belajar marah saat apa yang harusnya kamu dapatkan, direnggut oleh segelintir orang. maha tidak boleh jadi mahasiswa yang tidak pernah ikut aksi...apalagi jadi mahasiswa yang sibuk menulis status dan berkomentar tentang “betapa bejatnya aksi kekerasan mahasiswa.” Jangan pernah seperti itu nak! Memalukan!
Dan pagi tadi, setelah bersama Geng Makassar sibuk mencari titik aksi di derah pelajar sana kemarin, komrad memberitahuku tentang betapa mirisnya nasib gerakan sosial di Jogja.  Katanya, mereka sama-sama sepakat kalau anak-anak mereka kelak harus kuliah S1 di Makassar. Hahaahahaha...nda jadi ke Prancis dong???hahahahahaha....
Aku  mengenalkan maha pada aksi. Memang terlalu dini. Pasalnya malam itu, aku begitu marah dan tak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu harus bercerita pada siapa. Ini bukan tentang memaksakan kehendak. Tapi, saat mahasiswa, aksi itu kewajiban, bukan pilihan!!!

Note: Aku tulis ini dengan masih dengan marah. Marah pada status-status beberapa orang di jejaring sosial yang berteriak sok humanis, berteriak marah dan mengamuk pada tindakan “keras” massa aksi. Parahnya sebagian mereka adalah mahasiswa. Aku tahu beberapa teman yang dulu tidak mendukung gerakan massa tapi tidak seterusterang saat ini. Sungguh memalukan mereka.  Tapi juga kutulis dengan bangga untuk seorang perempuan penjual sayur yang mengatakan “kalau ini untuk membuat pemerintah mau mendengar, saya setuju.” Saat ditanyai pendapatnya tentang aksi mahasiswa yang katanya meresahkan rakyat.

Ibu Nhytha
31032012
#jengkel....

Komentar

Postingan Populer