We're Everywhere!

Saya tidak mengenal Bung Sondang Hutagalung. Namanya pertama kali kubaca di salah satu media on line yang mengkhabarkan bahwa ia adalah mahasiswa yang melakukan aksi bakar diri di depan Istana Merdeka (7/12/11). Bertepatan dengan peringatan Hari HAM Sedunia kemarin, 10 Desember 2011, nama Bung Sondang kembali dibicarakan banyak media karena akhirnya ia dipanggil Sang Maha Segala setelah beberapa hari bergelut dengan luka bakar yang sangat parah.
Dari media kutahu kalau semasa hidup, Bung Sondang aktif di beberapa organisasi sosial yang ikut menyuarakan ketidakdilan. Ia menjadi ketua di Himpunan Advokasi-Study Marhaenis Muda untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hammurabi), yang merupakan salah satu komunitas Sahabat Munir. Dia hampir tak pernah absen dalam aksi Kamisan di depan istana merdeka yang dilakukan untuk menuntut pertanggungjawaban penguasa negeri ini atas pelanggaran atas kemanusiaan di masa lalu. Aksi yang diinisiasi oleh orang tua mahasiswa korban penembakan Trisakti dan Semanggi bersama beberapa lembaga dan organisasi penggiat Hak Azasi Manusia.
Kemarin, entah siapa yang men share¸ kutonton video Bung sondang yang sedang berteatrikal di depan Istana Merdeka pada aksi Kamisan yang ke 222 (kalau tak salah ingat) bersama beberapa orang, masih tentang isu kejhatan HAM masa lalu. Dan sepertinya tidak sekali itu ia berteatrikal. Di beberapa dokumentasi yang lain juga kudapati ia sedang berteatrikal dengan cara sederhana, seperti biasanya happening art aksi. Dan semakin kudekatkan mata ke layar monitorku ini, kudapati wajah keseriusan dan keteguhan dibalik cat putih yang terlumur di wajahnya. Tak ada kesan bercanda dalam tetarikal sangat sederhana yang dipertunjukkan seperti banyak tetarikal yang kuliat dan kumainkan dulu.
Bung Sondang adalah mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Bung Karno. Tidak seperti image mahasiswa demonstran masa lalu yang sering jeblok dalam urusan kuliah, ia mendapat IPK yang tidak bisa dikatakan jelek, 3,7. Indeks prestasi yang tak pernah kucapai saat mahasiswa dulu. Padahal saya tidak se aktivis Bung Sondang dan lebih kerap hanya berurusan dengan tetek bengek kelas menengah yang manja dan keras kepala dan berusaha untuk “bicara” tak terlalu keras. Dan hebatnya, Bung Sondang dapat meraih itu semua di tengah kemanjaan dan kekerasan kepala yang semakin akut dan menjadi-jadi.

*******

Saya juga tak begitu mengenal siapa dia. Bahkan hingga ini kutulis dan kucoba memaksa memoriku yang belakangan sering bermasalah untuk mengingat namanya, juga tak dapat kuingat sama sekali. Tapi tak mungkin kulupa kalau saat itu ia kuliah di universitas yang sama dengan Bung Sondang. Universitas yang memakai nama bapak Do It Yourself (baca:mandiri) sedunia. Bung Karno. Tapi kuyakin IPK nya tak setinggi Bung Sondang. Dari seorang kawan kutau kalau ia adalah mahasiswa perantauan dari salah satu daerah di Pulau Sumatera. Kulupa pastinya.
Aku bersua dengannya kira-kira 8 atau 9 tahun yang lalu di tempat yang tak biasa. Aku bertemu dan bercakap tak lama dengannya dari balik jeruji tahanan salah satu Pengadilan Negeri di Ibu Kota negara ini. Sesaat sebelum ia menuju ruang pengadilan yang seringkali tak begitu “adil”. Ia ditahan setelah melakukan aksi yang dianggap menghina kepala negara dan dikenakan pasal hatzai artikelen (maaf kalau salah tulis), pasal karet yang sering dikenakan untuk mereka yang berani membidik para pemuka negara ini meski hanya dengan barisan “kata”. Tapi memang seringkali sangat ampuh dan langsung mengena ke ulu hati dan menyakitkan. Bukankah kata memang adalah senjata!
Saya diantar seorang teman bertemu dengannya yang saat itu mengenakan seragam hitam putih dengan kopiah di kepala seperti semua tahanan yang akan menuju meja hijau. Saya memperkenalkan diri dari Makassar sambil menyodorkan jabatan tangan di sela jeruji. Erat ia menjabat tanganku dengan senyum yang terkembang. Tak kutangkap rasa takut apalagi penyesalan atas apa yang telah ia perbuat beserta konsekuensi yang diterimanya. Dan selanjutnya ia melontarkan kekaguman terhadap mahasiswa Makassar. Tepatnya kekaguman atas metode aksi mahasiswa Makassar yang menurutnya “radikal”. Entah metode mana yang ia maksud. Mungkin yang dia maksud, metode sepaket bakar ban dan teman-temannya yang memang kala itu tak begitu banyak yang memakainya seperti saat ini. Progresif atau konservatif sama-sama bakar ban dan menyandera mobil tangki bahan bakar.
Kami tak begitu lama bertegur sapa karena ia harus segera ke kursi pesakitan dan memulai sejenis pengadilan yang sering berakhir seperti dagelan. Lucu dan memuakkan!

******
Saya tak begitu mengenal mereka berdua. Tapi saya hingga kini masih mengenal lumayan banyak anak-anak muda sesemangat mereka berdua dan memilih berada di jalur yang sama. Kiri jalan. Mereka hampir ada di semua sudut gelap dimana keadilan menjadi hal yang begitu rumit untuk digapai. Mereka memiliki sejuta macam ide dan cara untuk mengatakannya, bahkan ketika mereka dibungkam.

Dan hari-hari ini, sesaat sebelum sobekan kalender bulan terakhir tahun ini, aku lagi-lagi melihat mereka menampakkan wajah. Dan seperti bisa kutebak, teriakan mereka tetap lantang tanpa kata menyerah meski desing timah panas menderu dan darah mengucur. Dan kepala tetap kutundukkan untuk kalian kawan!

Iya, saya mengenal mereka semua, bahkan begitu dekat!

We’re Everywhere!

Jogja-Watampone
27 Desember 2011
Masih tak begitu banyak

Komentar

Postingan Populer