Papa, Mau Lihat Jenny!

Malam itu kalau tak salah serupa seperti hari-hari ini, juga berada di akhir Desember. Tahun lalu. Pening dan letih setelah menempuh perjalanan dari Makassar menuju Surabaya dan lalu dilanjutkan ke Jogja masih betul-betul terasa, tapi perayaan akan kesetaraan yang kesekian kali malam itu harus kuhadiri. Bahkan kepulanganku dari Makassar juga karena perayaan itu. Entah mengapa malam itu tak seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda. Aswin yang biasa menemaniku berhimpitan di tengah perayaan-perayaan bersama teman-teman pencerita, malam itu tak bisa menemaniku karena sesuatu hal yang juga tak kalah pentingnya. Itu kali kedua ia tidak menemaniku merayakan akhir pekan bersama Jenny. Sebelumnya, saat Jenny membagikan amplop kosong untuk kami isi surat untuk diri kami sendiri. Ah, sejak awal aku sudah punya firasat tapi selalu kutepis. Pikirku ini mungkin karena efek obat anti mabok yang selalu kukonsumsi setiap perjalanan jauh meski setauku terakhir kali saya muntah saat perjalanan jauh itu waktu masih SMP.
Bersama seorang kawan dan pacarnya kami antri memasuki GOR UNY, tak sabar mengkhabarkan ke kawan kalau sebentar lagi kami akan menerjemahkan energi yang kami dapatkan selama perayaan-perayaan akhir pekan menjadi sebuah energi baru, sebuah kedai buku yang bernama sama dengan ben-benan yang digawangi kawanku itu, Jenny. Nama yang kutau ternyata sama dengan nama anak kawan karibku.
Setelah menunggu tak terlalu lama, saya beranjak ke depan tapi kali ini memilih berada di bagian belakang dan agak menjauh dari kerumunan dan himpitan teman-teman pencerita. Masih letih, jadi biarlah saya menikmati “khotbah-khotbah” kesetaraan itu dari belakang, begitu pikirku. Lagu-lagu mulai mengisi penuh ruangan yang cukup luas itu. Dan kemudian si kawan mengkhabarkan sesuatu.” Malam ini adalah malam terakhir kami memakai nama Jenny dan selanjutnya kami akan mengistirahatkannya di altar yang paling istimewa.” Begitu kira-kira penggal kata kawanku itu yang lalu membenarkan firasatku. Maka jadilah perayaan malam itu terasa berbeda. Penuh kerinduan tapi kutau pilu ini tak perlu kuratapi karena toh kuyakin ada energi baru yang akan lahir di nama yang lain.
Setelah lagu terakhir yang menandai “akhir” yang indah bersama Jenny, saya diajak sang manajer ben-benan itu ke back stage bertemu kawanku itu dan semua yang bersama Jenny selama ini. Setelah jabat erat dan senyum tipis yang tersungging pertanyaan singkat terucap dari kawanku itu, “kaget Bob ya?” Saya menjawabnya dengan senyum dan segera kuberitahu niatan kami dengan Kedai Buku itu. Dia agak terkejut dan lalu tersenyum. Selanjutnya, di ruangan kecil itu lagi “perpisahan” itu ditegaskan tapi tak ada sedu pilu apalagi tangis meski disana ada kerinduan. Itu kuliat nyata dari mata setiap orang yang ada di ruangan sempit itu. Tak terkecuali saya.
Aswin belum juga datang di saat saya ingin berbagi banyak malam itu. Ia ku sms untuk menjemputku pulang. Sambil menunggunya ku memilih melanjutkan tontonan 2 band terakhir. Tapi saya tak begitu berselera. Dan akhirnya memilih untuk menunggu Aswin di luar GOR. Tak lama kumenunggu dan Aswin datang menjemput dan lalu kami berbagi firasat dan cerita. Iya, kami bersyukur pernah mengenal Jenny dan mendapatkan energi besar bersamanya. Kami rindu Jenny.

******

Poster bergambar empat orang dengan logo = (baca:kesetaraan) di masing-masing bagian tubuh yang berbeda beserta tulisan FSTVLST di bagian belakang atas yang kudapatkan lumayan susah payah di salah satu malam perayaan akhir pekan di sebuah kampus yang lumayan jauh dari pusat kota Jogja itu akhirnya tertempel tak begitu rapi di tembok tripleks kamar kecil kami di Bone. Kamar kecil tempatku beristirahat bersama komrad dan jagoan kecilku Mahatma.
Setiap melihat poster itu, maha selalu berujar “itu om fayid (baca: farid) tida’ pake baju” dan lalu tertawa lebar. Dan setiap melihat poster itu, maha masih menyebut nama Jenny. Dan pagi ini, maha minta digendong “Papa, mau lihat Jenny.” Ia kugendong dan kudekatkan wajahnya ke poster itu. Ah, saya belum juga memberitahunya kalau Jenny telah beristirahat tapi ia tak betul-betul “mati” dan kini ia berganti energi baru bernama FESTIVALIST.

Ah maha, pagi-pagi membuatku rindu.

Rock In Peace Jenny…

Watampone, 29 Desember ‘11
Tak terasa sudah setahun

Komentar

Postingan Populer