Aku memiliki 9 anak

Terbayang berjibaku bersama 9 anak ini, adalah hal utama yang menguatkan alasanku untuk tetap berada di sekolah ini. kuharap itu menjadi alasan utama. Sejak berada di sekolah ini, aku memang menempatkan diriku bukan hanya sekedar guru mereka, lebih banyak sebagai sahabat mereka yang bisa mereka ajak curhat tentang segala permasalahan remaja seusianya. Tubuh mereka besar-besar bahkan beberapa lebih besar dariku, saat berjalan bersama di luar sekolah tanpa seragam, mereka seperti sebaya denganku. Haahhha…sok muda!
Itulah mereka, nama yang kuharap tidak akan lekang dari ingatanku. Hampir lima bulan bersama mereka, seolah semesta mempertemukanku dengan diriku yang dulu saat sesusia mereka. Usia dimana semuanya bergejolak, rasa ingin tahu yang terlalu besar, kompetisi, intrik cinta monyet dan segalanya yang membuatku tersenyum jika harus mengingatnya. Andai, aku tidak berada di bawah sistem sekolah dengan perangkat aturannya aku toh tidak akan terlalu kewalahan menghadapi ulah mereka. aku hampir yakin tahu betul bagaimana memperlakukan diriku saat seusia mereka. Makanya, di satu sisi aku tampil sebagai pahlawan mereka yang akan berdiri paling depan, saat masalah mengharuskan mereka berhadapan dengan Mr. Head. Dan menurutku seantero sekolah tahu hal itu. Saat sedang menghadapi masalah, mereka saban pagi menungguku di depan gedung sekolah, dan berlari mengerumuniku yang belum turun dari becak sembari mengoceh dengan keras, sesekali bahkan dengan tidak sopan. Tapi untuk yang satu itu, aku bertindak keras, bahwa memberi pendapat dengan sopan dan tutur kata yang baik lebih harus diutamakan. Jika sedang sadar, aku mencoba member petuah bijak, sok tua! Tapi saat kalap, aku tidak jarang menyulut api kemarahan mereka. Marah dan menghujat bersama mereka. Bahayakah?? Sepertinya ia. Dan kedekatanku ini mungkin yang digunakan Mr. Head untuk menjebakku dengan alasan bahwa harus ada orang tepat yang mebimbing mereka utamanya untuk “lulus” dengan nilai yang memuaskan. Dan aku menerima tantangan Mr. Head.
Pagi ini, dengan semangat membabi buta aku menuju kelasku. Pagi-pagi sekali…beberapa guru bahkan senyam-senyum melihatku begitu bersemangat. Aku duduk untuk kali pertama di kelas ini. di lantai 3, kelas paling ujung. Kelas Zalman Al Farisi. Kelas sudah bersih, si Fahrul OB yang baru menggantikan posisi Pak Beni yang diangkat jabatannya menjadi Satpam lengkap dengan pakaian serius, sepertinya bekerja dengan baik. Dari dinding kaca, kulihat pemandangan di bawah sana. Hari pertama sekolah setelah pembagian rapor kemarin. Aku dagdigdug tidak karuan. Padahal kesembilan anakku ini telah bertemu muka denganku waktu pembagian rapor kemarin. Tapi entahlah, perasaanku lebih persis saat SMP dulu saat teman-teman ingin mempertemukanku dengan seorang kakak kelas yang katanya naksir denganku di belakang sekolah. Kulihat siswa mulai berdatangan, hari pertama dimulai dengan upacara selamat datang, acara pembacaan aturan yang lebih ketat, dan acara rindu-rinduan, termasuk perkenalan dengan banyaknya guru baru. Aku melewatkan momen itu dan menunggu di atas bersama Bu Kiki, aku lebih sering memanggilnya Kiki. Cerita tentangku bersamanya juga menurutku harus diberi tajuk yang lain. Tunggulah! Kudengar langkah kaki mulai bergemuruh beradu dengan suara-suara teriakan mereka. beberapa anak kelas besar sudah mulai kelihatan di ujung tangga. Beberapa datang menyapaku melepas rindu dan bercerita. Dan lambat tapi pasti anak-anakku mulai kelihatan satu-satu.
Dan dimulai dengan geng ikhwan Dede, Uki, Jaya, Afaq, Sofwan, dan Rial yang datang padaku dengan tergesa senyum bahagia demi mengetahui kebenaran bahwa aku yang akan menemani mereka selama setahun ini lalu dengan langkah yang pelan tapi pasti kulihat Ela, Arum, Zahrah, Tira, para akhwat yang pikirannya jauh lebih dewasa dibanding geng ikhwan. Diantara keempatnya, Zahrah menjadi satu-satunya tokoh yang sering dikerjai oleh teman laki-lakinya. Pasalnya, dia rada tertutup dan sama sekali tidak bisa melakukan perlawanan saat teman-temannya mengganggu. Lain dengan 3 orang itu, sedikit saja mereka disentil, pukulan, tendangan dan teriakan akan langsung serentak mereka hadiahkan. Mereka berjalan masuk ruangan. Bukan mereka jika tidak memulai sesuatu dengan keluhan. Ruangan yang memang belum ber AC membuat mereka kepanasan.
“apa yang akan kita lakukan setahun kedepan?” tanyaku dengan santai pada mereka di depanku. Pada umumnya mereka berteriak bermain, hanya satu dua dari mereka yang menyelipkan kata belajar di dalam jawaban-jawaban mereka. Kutunjukkan kesanku yang sama seperti dulu, bersahabat dan terbuka menerima setiap mereka apa adanya. Tapi, jika ingin buat semuanya lebih lancar. Aku memberikan mereka beberapa batasan. Aku tahu,dalam beberapa case aku harus bersikap tegas. Bukan hanya mereka, hampir semua anak di sekolah ini adalah mereka yang terbiasa diwujudkan keinginan dan kemauannya. Dan sepanjang perjalananku, nilai itu tidak teralu bagus untuk hidupnya kelak.
“Kelas ini seperti kamar kalian. Kita belajar, bermain dan berteman di kelas ini, kalian harus berbagi karena ini milik kalian semua, tanpa terkecuali. “ begitu kataku dan mereka menimpalinya dengan banyak timpalan-timpalan yang tidak perlu kuambil pusing. Aku mengharuskan kelas bersih setiap setelah mereka ada di sana, Fahrul si OB tidak kuijinkan masuk ke kelas selama mererka berada di sana, kuharap mereka akan belajar bertanggung jawab terhadap apa yang mereka miliki. Tidak seperti kelas lainnya, aku tidak menentukan siapa ketuanya. Hanya kuberikan tanggung jawab penuh pada orang berbeda tiap hari untuk memanage teman-temannya. Itu toh akan memberikan kesempatan untuk mengembangkan bakat kepemimpinan yang semua orang memilikinya.
“Dan satu hal lagi, sebelum pelajaran dimulai di awal hari, kita akan melakukan relaksasi” kataku mantap tersenyum.
“ apa itu Ka’?” tanya mereka hampir bersamaan.
“Yah kondisinya seperti ini, 5 menit sebelum pelajaran pertama kita akan duduk melingkar seperti ini, menyatu dengan keadaan di sekitar, membersihkan diri dari kantuk dan malas dan mengumpulkan semangat pagi untuk menjalani hari kita ke depan.” Mereka mengangguk setuju termasuk saat kukatan kita juga harus punya sesi 10 menit sebelum pulang untuk saling terbuka, mengungkapkan masalah seharian, baik itu dalam proses belajar atau di luar kelas, dan tentunya masalah internal antar mereka. dan aku tidak akan membiarkan satu masalah tidak kelar dan rampung di hari itu juga. Begitulah caraku mengajarkan mereka untuk terbuka, menerima kritikan, saran dan menyelesaikan masalahnya bukan dengan kekerasan.
Pagi ini, kami berdiskusi panjang lebar tentang segala yang sifatnya boleh dan tidak boleh dilakukan di kelas ini. dan aku bahagia melakukannya. Tentang proses belajar, aku tidak ingin memaksakan, walau kutahu Ujian Nasional kerap kali menakutkan untuk anak kelas 3 SMP. Namun, aku ingin memulainya pelan-pelan saja. Mereka toh anak-anak yang cerdas, ditambah dengan kurikulum yang padat dan maju dibanding sekolah negeri menurutku mereka akan medobrak Ujian nasional dengan nilai yang memuaskan. Dan kuharap ini akan menjadi pemompa semangatku untuk menjalani hari, sebagai guru, teman dan sahabat mereka, bukan sebagai kelas pekerja yang terkungkung dalam dunia kerja yang bisa saja membunuhku.
Kulihat wajah mereka satu persatu, aku tersenyum dan bangga sekali bisa menjadi bagian dalam kehidupan anak-anak ini. Remaja usia 14-15 tahun yang dihadapannya masa depan sedang membentang gemilang, masa depan yang akan ikut kutorehkan hari ini dan setahun ke depan untuk mereka.
Dan dalam hati, aku berjanji akan menemani mereka sampai usai degan bahagia, dengan gembira dan tentunya dengan caraku. I believe they’re gonna love it.

Juli 2007
Menjadi ibu wali kelas…

Komentar

Postingan Populer