Nasi Goreng dan Kebersamaan

Sudah tiga hari ini, saya dan teman-teman di kosan menikmati santap malam dengan menu sama. Nasi goreng. Ceritanya bermula sore tiga hari yang lalu. Saat itu, Mbak Sri, pemilik warung makan dan barang kelontongan samping kosan mengkhabarkan ke salah satu penghuni kos kalau menu makan malam nanti adalah nasi goreng. Soal info meng-infokan suguhan menu di warungnya, Mbak Sri ditamani Mas Joko (yang lebih akrab kami panggil Mas Bro) bukan sesekali itu melakukannya. Hampir tiap hari jika ada menu baru, kami pasti dikabari pada jam makan sebelumnya. Contohnya, sore tiga hari kemarin itu.
Sebelum lanjut ke soal sensasi di antara tiap suapan nasi goreng tiga malam ini, sepertinya keren menceritakan bagaimana hubungan kami (anak-anak kos) dengan Mbak Sri dan Mas Bro. Hubungan kami dengan duo chef itu lumayan dekat, sedekat jarak kos kami dengan tempatnya beraktivitas tiap hari. Hanya dibatasi tembok kamar salah satu penghuni kos yang sensasional itu. Hahaha…
Kami selalu senang menikmati santap siang, malam atau waktu-waktu tertentu dimana tiba-tiba lambung tengah ini meminta pasokan nutrisi, di warung Mas Bro. Itu sebutan kami untuk warung yang tak begitu luas itu. Ada banyak alasan kami memilih warung itu sebagai tempat kami makan. Selain karena jaraknya yang sangat dekat tentunya, Wawan bahkan menyebutnya tentu dengan agak hiperbolik, “hanya 10 langkah”. Kami begitu senang dengan model komunikasi mereka berdua, khususnya Mas Bro. Selalu saja ada perbincangan dan joke-joke menarik sebelum dan sesaat transaksi terjadi. Tidak hanya itu, ia juga memberi macam-macam pesan meski tetap dibingkai dengan canda. Seperti dua malam kemarin, saat kutanya berapa harga sepiring nasi goreng itu, Mas Bro menjawab dengan santai “hanya lima ribu saja, Bob! Harga mahasiswa”. Setelah itu ia lanjut, “tapi kalo udah jadi bupati ingat-ingat yah”. Saya tertawa dan menyerahkan uang lima ribuan lalu berlalu. Namun saat punggungku sudah membelakangi diplay makanan yang menjadi jarak antara duo chef itu dengan para pembeli, Mas Bro dengan suara agak keras menyangka saya sudah berlalu jauh berujar, “tapi jangan korupsi Bob ya!”. Hahaha
Oh iya, makanan di warung ini tergolong murah bahkan sangat murah menurutku. Uang tiga ribuan masih memiliki makna signifikan di tempat ini. Dan hal itu menjadi alasan kesekian bertransaksi disini. Dan yang juga menarik dari Mas Bro, ia punya nama panggilan khusus untuk hampir semua penghuni kos. Dan belakangan ini kami bahkan meminta kepada Mas Bro untuk member nama panggilan ke beberapa penghuni kos yang baru. Abib misalnya, adik kawanku yang dari Lombok, kami mintakan nama panggilan ke Mas Bro. Tapi usut punya usut, ternyata Abib rumornya sudah meminta ke Mas Bro agar ia dipanggil dengan nama Beckham! Haa, yang benar aja Bib? Sadar konstruk wajah dong! Hahaha…Kami sebebanrnya mengusulkan Abib dipanggil Faang atau Andika (Kangen Band)..hahaha….
Banyak nama-nama yang sudah disematkan untuk penghuni kos. Ada yang ia beri nama Faang (mengikuti nama vokalis band ndayu Wali), Marcello (pemain Real Madrid) untuk seorang teman yang rambutnya menyerupai Marcello, Narji untuk seorang teman yang tinggal tidak jauh dari kosan ini, hingga Luis Nani untuk Pak Nani yang usianya tidak muda lagi.
Dan hampir semua dari kami punya cerita masing-masing tentang duo chef yang keren itu. Dan pasti membuat kami terpingkal-pingkal. Dan bagiku, ada humanisasi di setiap proses transaksi. Relasi kami tidak sekedar di lembaran-lembaran kusut berisi angka-angka itu. Kami tetap sadar bahwa ada sisi lain yang mesti terbina di sela hitungan untung dan rugi. Dan kami merayakan itu!
Kembali ke nasi goreng. Sejak tiga malam lalu itu, tiap masuk jam makan malam kami mengutus soerang teman untuk merequest nasi goreng lagi. Tentunya setelah memastikan beberapa orang yang memesan menu itu. Dan Mas Bro loangsung mengeksekusinya. Tak begitu banyak campuran di nasi goreng itu, hanya telur dadar dan seiris mentimun. Namun malam tadi kuliat ada sedikit bawang goreng yang ditaburkan di atas nasi goreng yang lumayan pedas dan tentu porsinya banyak saudara-saudara. Kualitas nomor dua yang penting kuantitasnya oke. Bukan begitu anak-anak kos? Hahaha
Dan yang menarik, setelah semua yang memesan sudah mendapatkan jatahnya dan menyelesaikan proses transaksi dengan menyerahkan lembaran lima ribu, adegan berikutnya adalah kebersamaan. Sambil menikmati tontonan komedi dari tivi kos yang sedah layak di museumkan, kami menikmati sendok demi sendok, suap demi suap nasi goreng, dengan diselingi canda dan obrolan-obrolan jenaka lainnya. Kami senang dengan kebahagiaan ini. Kebahagiaan yang sederhana.

Jogja, X Code
10 Des 2011
Occupy My Heart..hahaa

Komentar

  1. Sepakat....

    Mas, bro adalah penolong perut kita di kosan Pak Slamet (dan mungkin untuk setiap mahasiswa di sepanjang lorong itu)...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer