Cita-cita maha….

Dalam mimpi, siapun tidak akan bisa memaksamu. Kamu berhak bermimpi seperti apa yang kamu inginkan. Sama dengan cita-cita. Semua orang toh punya keinginan, punya cita-cita yang biasanya sejak kecil sudah tertanam di kepalanya, ada yang betul-betul menggapainya tapi lebih banyak yang dalam perjalanannya menemukan arah lain, berbelok dan melupakan cita-citanya.
maha pun punya cita-cita. Dia sudah pandai menentukan ingin jadi apa. Sejak pandai berbicara layaknya orang dewasa saat umurnya berkisar 2 tahun. Jika ditanya maha ingin jadi apa
“ingin jadi pak polisi” begitu katanya dengan bangga. Wah…bahaya! Pikirku saat itu. Aku lupa, sejak kapan ia bilang dirinya ingin menjadi polisi. Aku lupa kapan tepatnya, ia kuperkenalkan dengan profesi ini. Jelasnya, ia berkenalan dengan tidak bagus.. polisi dijadikan mamaku sebagai sesuatu yang menakutkan untuk membuatnya terdiam saat menangis dulu. Nah, karena sering dibuat takut dengan suara sirine polisi mungkin maha penasaran, seperti apa polisi itu. Yang  kuingat betul, ia begitu terpesona dengan seragam kepolisian dengan senjata di pinggangnya apalagi disertai dengan rompi yang kerap menyala saat gelap. Aku tahu maha terpana, karena saat itu ia selalu minta dibelikan baju seperti itu.
Keinginannya untuk menjadi polisi tidak berubah apalagi, English Home tempat ku membuka kursus-kursusan tepat bersebelahan dengan kantor Brimob Bone. Ia selalu terpana saat melihat para anggota BRIMOB itu latihan di halaman kantor mereka dengan persenjataan lengkap. Ia senang melihat mereka latihan karate, ia senang melihat semua peralatan di kantor polisi. Menurutku sepertinya, sebagai laki-laki maha melihat sosok polisi begitu bersahaja dengan seragamnya. Kecintaannya pada polisi semakin menjadi saat Briptu Norman menguasai tayangan televisi. Mungkin pikirnya, ternyata polisi juga hobi menyanyi yang nota bene adalah hobi nya juga. Jadilah minggu-minggu saat masyarakat demam Norman, maha juga tidak ingin ketinggalan. Ia akan berlari kencang, saat lagu India yang melambungkan nama polisi itu terdengar, hanya untuk melihat sang Briptu bergoyang.
Berhubungan dengan keinginannya, jujur secara subjektif aku telah melakukan pembunuhan karakter atas profesi ini. Minggu-minggu pertama saat maha mengungkapkan ingin jadi polisi, aku kerap menolak.
“ah..janganmi polisi! Yang lain saja” kataku selalu. Dan jika kukatakan seperti itu, ia akan marah dan menangis.
“polisimo..polisimo ibu” katanya memelas. Entahlah jujur saja, aku selalu malu saat ditanya orang dan ia dengan lantang berteriak ingin jadi polisi. Masalahnya, aku sulit menjelaskan padanya apa yang membuatku begitu tidak menginginkannya menjadi polisi. Dulu, untuk menenangkan kami secara pribadi, saat maha berteriak ingin jadi polisi. Bapak bebi pasti menambahkan
“ Polisi PBB mo di’?” ah lucu.., tapi belakangan aku tidak lagi terlalu memperdulikan. Beberapa kali ia kuperkenalkan dengan banyak profesi. Dokter, pilot, guru, astronot, wartawan, dan kuceritakan betapa bagusnya pekerjaan mereka. maha menyukainya, tapi tidak merubah keinginannya untuk menjadi polisi. Aku menyerah, seperti yang kukatakan sebelumnya, toh ini hanya cita-cita masa kecil yang kelak dalam perjalanannya akan ia temukan, akan jadi apa ia kelak.
Secara pribadi, aku memang tidak menyukai profesi ini. bahkan sejak belum kutahu tentang peran mereka sebagi penjaga modal ala ilmu politik. Aku mengenal polisi sebagai sosok yang angkuh dalam seragamnya, sering bertindak seenaknya, dan selalu tidak sopan saat bertemu dengan perempuan. Kutahu tidak semuanya seperti itu, tapi entahlah sejak SMP aku tidak menyukai mereka.
Nah, beberapa minggu lalu lewat FB kutonton video pembantaian petani di Mesuji. Ini bukan kali pertama polisi, tentara berindak tidak manusiawi. Ini kali ratusan, pola-pola penanganan mereka selalu tidak berpihak pada yang lemah. Pada rakyat yang harusnya mereka bela. Senjata hanya mereka todongkan bagi kita yang tak berpunya. Pada setiap penggusuran, pada setiap aksi mahasiswa, setiap aksi mempertahankan tanah rakyat, segala menurut mereka yang mulai bertentangan dengan kehendak penguasa. Parahnya, negara bukan memberi mereka hukuman, malah membela mereka habis-habisan. Polisi, tentara, tidak pernah berani mengusir para pengusaha yang mengeruk tanah dan air mereka bukan?
Dan jadilah,  saat darahku seperti mendidih  menonton tayangan itu di ruang tengah, maha yang bermain bersama Puang Beda  dan Om Jai di luar sayup-sayup kudengar sedang bermain tembak-tembakan. Ia teriak “ awas..pak polisi ini..maha polisi mau tembak Om Jai ” tiba-tiba secara spontan kudatang padanya, dengan suara agak keras dan mengambil raket yang ia jadikan senjatanya.
“maha..tidak boleh jadi polisi. Itu… polisi tembaki semua orang. Mau begitu?” ia menatapku, lalu sambil marah dan menangis bercampur kaget dengan reaksiku yang berlebihan, ia terpaku. Om Jai yang melihatku cuma bisa senyum-senyum heran. Aku menarik nafas. Astaga. Aku salah.  maha yang dengan tangis kecil-kecil kuraih, lalu keceritakan padanya tentang peristiwa yang tadi yang baru saja kutonton. Kutahu ia tidak mengerti tentang kemarahanku, tentang rasa benciku yang tiba-tiba kulampiaskan padanya.
Aku tahu, sama sekali tidak berhak mematahkan cita-cita seorang anak kecil walaupun dia adalah anakmu sendiri. semangat bercita-cita, semangat bermimpi, adalah semangat yang harus dipupuk sejak ia kecil. Apa jadinya kalau tindakanku itu, akan membuatnya urung bercita-cita. Sore itu, dengan cerita-cerita tentang polisi kembali, sekejap ia kembali berlari. Bertindak sebagai polisi yang sedang mengatur parkir motor.
Aku tersenyum, tiba-tiba aku sadari, aku tahu sosok polisi yang ia cintai adalah polisi yang ia perhatikan di sudut jalan sambil mengatur jalannya lalu lintas, Pak Deni, polisi tetangga rumah yang dengan seragamnya selalu gagah, tersenyum ,dan banyak membantunya,Polisi yang ia tonton di tivi yang sedang menolong ibu-ibu tua dan anak-anak menyebrang jalan, dan polisi yang dengan seragam lengkap sering menyapanya di mesjid. Dan sekali lagi, aku tidak punya hak untuk mengaburkan kenyataan-kenyataan itu.  Dibalik seragam-seragam itu, mereka adalah ayah, kakak, om, adik, dan teman seseorang. Tapi dibalik seragam itu pula, tidak boleh kita pungkiri, juga ada penjahat, preman, tukang pukul, dan tukang jagal.
Nah, beberapa hari terakhir saat kutanya lagi tanpa kusangka
“maha mau jadi pilot” katanya. Aku tersenyum, bahagia.
“lho? Kenapa nak? Tidak mau jadi polisi lagi?” tanyaku.
“ maha mau keliling dunia…” aku tertawa bahagia. Sangat bahagia. Lihatlah, ia mulai berubah. Mungkin itu karena ceritaku padanya tentang polisi yang bertindak kejam di Mesuji dan di Bima, atau mungkin begitulah imajinasi anak kecil bekerja. Mungkin besok, ia akan bermimpi dan bercita-cita berbeda lagi. So, don’t worry!!
Yah..melepaskan ingin kita sebagai orang tua terhadap anak, adalah sesuatu yang begitu susah. Tapi itulah yang harus diusahakan. Membiarkannya tumbuh tanpa tekanan, membiarkannya memilah jalannya sendiri, membiarkannya merasakan sakitnya terjatuh agar ia tahu bangkit kembali. Kadang sebagai orang tua kita menerjemahkan rasa sayang berlebihan hingga menjadi beban berat untuk anak kita. Dan kuharap  aku tidak berhenti belajar untuk menjadi  ibu yang top untuk anak-anakku.
Bercita-citalah..., nak! setinggi langit! tapi……………,
janganmi polisi kodong!hahahahah….#tetep


30 Desember 2011
Ibu Mahatma
Untuk  semua aparat yang telah, sedang dan akan menodongkan senjatanya pada rakyat…!
Karena kalianlah aku tidak menginginkan anakku menjadi polisi..betul-betul tidak ingin!

Komentar

Postingan Populer