Rumah Baru, Semangat Baru

Aku berjalan pelan menyusuri jalan setapak yang disisinya berjejer beberapa rumah yang masih berdiri dengan tiang. Kupergegas langkah kakiku setelah kutahu keluargaku sudah ada di sana sejak tadi setelah memuaskan matanya di beberapa pusat perbelanjaan di kota ini. Aku memilih tidak ikut, ada beberapa agenda yang harus kuselesaikan, lagi pula kantongku sedang tipis setipis-tipisnya. Rumah yang kutuju sudah tepat di hadapanku, aku disambut beberapa kolam buatan untuk pembiakan ikan lele. Seingatku terakhir berada di sini, kolamnya baru 1. Sekarang sudah ada 3 kolam yang memenuhi semua halaman rumah. Aku tersenyum, bersyukur. Sepertinya usaha ini mulai berhasil. Buktinya Om Jonli sudah punya 3 kolam.
Dialah pemilik rumah ini, Om Jonli dan Puang Senna. Begitu aku memanggilnya. Puang Senna adik ketiga bapak. Seingatku, Om Jonli menjadi satu-satunya keluarga yang tidak kami panggil “Puang.” Om Jonli dan keluarganya adalah salah satu bukti nyata yang kulihat dengan mata telanjang bahwa hidup di satu masa akan beramah tamah padamu tapi tanpa kau kira dan terbayangkan, ia bisa saja menghempaskanmu jauh berkali-kali hingga untuk membuka mata pun akan terasa sulit.
Aku mengingat mereka sebagai salah satu keluarga kami yang berada. Om Jonli di usianya yang muda telah memiliki posisi penting di salah satu bank bertaraf internasional. Saat itu dengan 3 anak yang masih kecil, mereka punya kehidupan yang tergolong mewah. Mereka berpindah-pindah tempat, mereka pernah tinggal di Palopo dan lama di Balik Papan, resiko pegawai swasta. Tapi masih terang benderang dalam ingatanku setiap kedatangan mereka, kami dihadiahi banyak barang, Puang Senna kerap mengirimi kami uang. Namun begitulah, kemewahan dan gaya hidup gedongan yang kadang melenakan, membuat mereka lupa bahwa suatu waktu nasib akan menyingkirkanmu dengan mudah.
Akhirnya, nasib mencoba bermain dengan mereka. karena satu hal yang tak kumengerti, Om Jonli di PHK dan semua yang ia miliki hilang dalam sekejap. Hebatnya lagi, mereka sama sesekali tidak punya simpanan yang cukup apalagi investasi yang besar. Mereka pulang ke Makassar hampir dengan tangan kosong. Menurut cerita yang kudengar, Om Jonli bertengkar hebat dengan egonya hingga memutuskan bahwa ia bisa berdiri sendiri dengan alternatif usaha yang telah ia pikirkan. Akhirnya, dengan sisa simpanan yang mereka punya, mereka membeli beberapa mobil untuk dijadikan mobil rental. Tapi tidak lama, usaha ini sama sekali tidak menghasilkan apa-apa malah justru membuat mereka kembali terpuruk jauh, Om Jonli tidak berhenti. Ia bangkit lagi, aku lupa usaha apa yang ia lakukan. Tapi seingatku ragam alternatif usaha yang ia lakukan, malah membuat modal dan simpanannya semakin habis. Ia gagal berkali-kali dan akhirnya hari ini kulihat usaha ini mulai membuatnya tersenyum.
Ia membuktikan pada dirinya sendiri bahwa hidup tidak akan ia biarkan semene-mena memperlakukannya. Ia melawan. Bangkit saat sudah terjatuh berkali-kali. Dan ada banyak hal yang membuatku bangga dengan keluarga ini. Pertama, mereka punya ibu, Puang Senna yang tidak pernah kulihat mengernyitkan dahi sekalipun. Ia selalu kelihatan bahagia menjalani hidupnya, dengan penghasilan yang minim, ibu ini membiayai 3 orang anak yang beranjak dewasa, dengan hampir maksimal. Lalu tiga anak ini, mereka betul-betul pandai menyiasati hidup. Mereka dewasa dengan sendirinya, mereka tidak pernah meminta banyak, mereka bahkan cepat sekali lupa bahwa mereka pernah hidup dalam kemewahan, dan tentunya pada Om Jonli yang saat ini mulai kelihatan kurus, kulitnya yang bersih, putih, berubah hitam, ia tidak lagi tampil dengan dasi dan pakaian parlente seperti yang masih sering muncul dalam ingatanku, tapi ia berjibaku dengan lumpur dengan baju kaos dan celana pendek yang kotor dan bau. Yang masih tidak berubah, adalah kata-katanya yang sedikit. Ia lebih banyak diam.
Setiap menuju rumah ini, aku selalu merasa miris sekaligus merasa bangga bahwa mereka bisa bertahan. Mereka sebagai sebuah keluarga. Dan sebentar lagi, aku tidak akan menyaksikan kehidupan mereka dari jauh saja.
Ibu memutuskan agar aku tinggal di sini. Setelah sekolah pindah, jarak dari rumah ini lumayan dekat. Aku bahkan bisa berjalan kaki. Setelah kupertimbangkan, aku setuju saja. Apalagi, kosanku di Sahabat sudah habis masa kontrakannya. Katanya, Nurda berniat melanjutkannya. Aku menapaki tangga yang lumayan tinggi. Rumah ini, seperti beberapa rumah di kawasan ini adalah rumah panggung yang besar. Dengan 3 kamar di dalamnya.
Kulihat santapan siang sudah tertata di ruang tengah, ruangan tempat kami biasa berkumpul. Aku tadi lupa satu hal tentang Puang Senna, ia adalah koki yang handal, ia pandai membuat kami rindu dengan masakannya. Seperti siang ini, setelah menyapa semua orang, membongkar belanjaan mereka, kami tanpa babibu menyerbu masakannya. Ikan kering dan sambal a la Puang Senna, aku yakin tidak akan ada yang bisa menolaknya.
Puang Senna begitu gembira mendengar bahwa aku setuju tinggal di rumah ini. Sejak kuliah dulu, ia bersikeras menyuruhku untuk tinggal di rumah ini. Aku selalu punya jawaban yang bisa membuatnya paham, lagi pula jarak kampus dengan rumahnya di Pettarani, belakang PU harus ditempuh dengan 2 kali pete-pete. Puang Senna telah menyiapkan sebuah kamar untukku, nantinya berdua dengan Ana. Kamar ini sangat luas, terpisah dengan rumah, dulunya kamar ini adalah salah satu kamar kos-kosannya. Salah satu usahanya yang juga gulung tikar.
Setelah menikmati santap siang ini, aku duduk di teras bersama semuanya. Di tengah riuh mereka yang sedang berbicara entah apa, aku berpikir. Ini adalah kali pertamaku tinggal di rumah keluarga sejak berada di Makassar. Bukannya aku tidak suka. Aku hanya merasa bebas jika punya kamar sendiri. Dan …kukumpulkan semangat baru untuk rumahku yang baru. Untuk kamarku yang masih ditumpuki barang-barang milik Puang Senna. Untuk semua yang mungkin akan kujalani di sini.

Juli 2007
#sanggup ji to?

Komentar

Postingan Populer