...menjadi pemimpin....

“masing-masing kita adalah pemimpin dan kelak akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”

Salah satu alasan, mengapa aku tidak ingin berboyong-boyong hingga kini untuk ikut tes PNS adalah karena jika lulus, aku tahu aku pasti tidak siap. Menyandang gelar sarjana adalah sebuah momok yang menakutkan bagi mereka yang menganggap pekerjaan adalah ketika kamu bergelut dengan pagi, lalu tergesa berangkat menuju tempat kerja, mengeluh dengan pekerjaanmu, lalu pulang dengan penat dan lelah saat matahari telah berpamitan. Karena tidak ingin dihantui oleh gelar dan sempitnya mata banyak orang mendengar kata “pengangguran”, aku telah berkali-kali mencoba berdamai dengan dunia kerja. Syarat utamanya, adalah “ I love my job.”
Dan salah satu pekerjaan itu adalah mengajar. Mengajar adalah proses belajar yang tidak henti. Menghadapi sekian kepala dihadapanmu dengan potensi “keliaran” yang variatif adalah sebuah tantang besar untuk mendidik kita menjai manusia yang memanusia. Dan kali pertama, mengajar di sebuah sekolah Islam swasta di Makassar. Aku mencintai pekerjaan itu, tapi hanya sebentar. Aku lupa bahwa konsep mengajar yang dalam artianku adalah berbagi ternyata harus berbenturan dengan sistem sekolah. Aku lupa, bahwa pekerjaan yang kucintai berada di bawah sistem manajemen sekolah yang pada umumnya berasas manjemen bisnis. “bukan Freire banget”. Sekitar sembilan bulan, aku bertahan dengan golakan besar antara “mendidik” menurutku dengan “mengajar” menurut sekolah. Itupun yang membuatku bertahan adalah wajah-wajah imut penuh senyum yang menyalamiku tiap pagi dan memanggilku “Bu…Nita”. Tapi, aku kalah. Sekaligus memenangkan pertempuran antara ketakutan hidup susah melawan nomina angka di awal bulan yang kudapat dengan melindas kebebasan berfikirku.
Selanjutnya, tidak lagi. Jika ingin bekerja, maka aku harus menjadi bos atas diriku sendiri. Dan aku melakukannya. Namun, saat hidup tiba-tiba menemui persimpangan, 7 bulan lalu aku kembali mengajar, di sebuah tempat kursus. Lagi, aku mencintia pekerjaanku. Tidak ada kontrak yang memasungku, waktunya tidk terlalu banyak, dan aku mendapatkan gaji. Minimal untuk menambah pembeli diapers dan susu untuk maha. Entah karena keberuntungan atau karena prestasiku a\yang menonjol, 4 bulan lalu aku didaulat untuk memimpin cabang di Bone. Melalui proses panjang dan tetek bengek persyaratan yang kuminta pd Direktur Utama, akhirnya aku mengiyakan. Sekali lagi, aku tidak ingin menegasikan kebersmaanku bersama maha yang tak bisa kunilai bahkan hingga 8 digit angka. Dan kali ini berbeda, harapannya, dengan kendali dan kuasa yang kupegang aku bisa menggagas konsepku sendiri. Ingat, jika menginginkan perubahan, rebut kekuasaan” om Chavez bilang begitu. Dan aku menikmati semua ini, selama hampir tiga bulan. aku merombak manajerial yang kaku, hubungan bos dan karyawan kuubah menjadi partner kerja. Aku menempatkan diri bukan hanya sebgai penggagas, tapi sebagai penampung ide dari semua tutor dan karyawan yang kubawahi.
Dan, inilah saat-saat yang paling buram sejak tiga bulan memimpin. Kondisi perusahaan mulai goyang secara finansial. Murid semakin berkurag karena di penghujung semester, hampir semua sekolah memadatkan jam belajar hingga sore apalagi untuk kelas enam. Diperlukan inovasi yang menyegarkan untuk menarik siswa baru. Melakukan sesuatu untuk skala besar, diperlukan biaya. Dan inilah masalahnya. Si empunya perusahaan, mulai melirik cabang yang kupimpin sebelah mata. Intinya, dia tidak ingin mengeluarkan banyak modal untuk sesuatu yang keuntungannya tidak terlalu “menggiurkan”. Dan, aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena tak punya cukup modal untuk menggerakkan kembali roda perusahaan dengan lancar. Salah satu jalan yang diambil dan harus kueksekusi adalah perampingan karyawan dan pengajar. Untuk kali pertama, aku tidak mampu menatap mata orang yang sedang kuajak berbicara. Aku memulainya dengan dua orang tutor, pilihannya adalah prosentase kehadiran mereka. Kususun kata demi kata, dan kukeluarkan diksi yang paling sopan, tapi tetap saja menurutku itu kejam. Dua tutor ini, tidak terlalu berat. Empat hari setelahnya, aku diinstruksikan lagi mem PHK salah satu karyawanku. Dan inilah yang paling berat. Dua FO ku, yang semuanya perempuan, bukan hanya membantuku dalam menjalankan perusahaan ini, tapi juga selama tiga bulan ini, kami membangun hubungan yang lebih, seperti saudara satu sama lain. Dan aku harus memilih salah satunya, sementara aku paham betul kondisi perekonomian keduanya. Anti, memang sudah berkeluarga, tapi sebulan yang lalu ayahnya meninggal. Secara otomatis, dia menjadi tulang punggung ibunya sekaligus kakaknya yang janda, juga ditinggal mati suaminya dengan dua orag anak.  Dan Reni, dia tinggal bersama ibu dan adiknya yang selama ini ditopang oleh pensiunan bapaknya yang telah lama meninggal. Mirisnya, sebulan lalu Reni dan ibunya sepakat mengambil kredit dari gaji ibunya untuk membeli motor dengan asumsi kebutuhan sehari-hari akan ditopang dengan gaji si Reni. Hari itu, aku kekantor dengan wajah kusam, lama lalu kuceritakan keadaannya. Aku betul-betul tidak bisa memilih salah satu diantaranya. Lama, aku berbicara, tanpa mampu menatp mereka. Akhirnya, Reni memutuskan mundur. Dan kemarin, aku melakukannya lagi pada supirku. Kali ini, aku berbicara lebih cepat dan datar. Seminggu terakhir, semua yang terjadi begitu menguras emosiku. Tetap saja, walau bukan keputusanku, rasanya tidak adil memutuskan rejeki seseorang, dan itu harus keluar dari mulutmu.
Dan inilah bisnis, sebuah logika yang berjalan pongah, angkuh, di dunia kita hari ini. Karena terlampau dipuja, hampir di semua sudut-sudut kehidupan. Sebuah hitungan untung dan rugi yang sama sekali tidak sempat menengok realitas, bahwa dibalik angka-angka itu ada manusia yang sedang berharap untuk kehidupannya.
Kemudian inilah aku, berpikir telah melakukan sesuatu yang akan merubah dunia dari kantor kecil ini, tapi toh ringkuk juga terhadap kuasa pemodal. Aku sadar, bukan aku pemimpinnya.
Tapi, aku tidak terbiasa kalah oleh sekumpulan nomina. Tunggulah sebentar lagi!!!

18 maret 11

Komentar

Postingan Populer