Dua Puluh Tujuh Februari Dua Ribu Sebelas


Kalau anda percaya dengan takdir, maka mungkin inilah yang disebut sebagai takdir. Takdir yang tidak kejam tentunya…

Seperti biasa setelah kuliah yang kurang begitu menarik hari itu, maka kebiasaan yang telah menjadi rutinitas harian kami adalah menjambangi kantin walau hanya untuk sekedar menunggui salah satu kawan menyelesaikan satu, dua batang rokok yang belakangan karena urusan tebal tipis kantongnya harus berdamai dengan rasa merk rokok apa saja…hahahaha…. Dan sebelum akhirnya memilih spot yang tepat untuk celingak celinguk kemana-mana, ada satu aktivitas yang belakangan mulai kami sadari kalo ia kini telah menjadi rutinitas, melihat-lihat papan pengumuman yg berjejer rapi tepat didepan kantin. Target informasi yang kami harap tentu bervariasi tapi secara umum mengikuti standar mahasiswa kere…informasi seminar, kuliah umum, pementasan teater, dan tentunya konser musik dan yang paling penting dari semua informasi itu dan yang paling kami perhatikan dengan seksama adalah apakah acara itu GRATIS atau tidak….GRATIS disikat dan yang berbayar dipikir-pikir 1542 kali..hahahaha


Kalau anda percaya takdir itu tidak deterministik, maka berjalanlah menujunya…

Setelah beberapa pamphlet dan poster tentang berbagai macam kegiatan kami perhatikan satu per satu, mata saya tertuju pada salah satu poster atau tepatnya pamphlet berukuran A3 yg sepertinya di print dua kali dan kemudian disambung dengan lem (mengerti kan maksudku). Pamphlet yang sebenarnya tidak terlalu mencolok kecuali karena gambarnya yang menampilkan sesosok perempuan yang tampak pasrah dililiti seekor ular besar dan tajuk kegiatan nya ROCK SIANG BOLONG… wah ini pasti menarik, begitu seloroh kawan disampingku yang berperawakan lumayan tambun dan paling senang menemaniku berlama-lama didepan jejeran papan pengumuman yang seringkali kami itari berkali-kali hanya untuk memastikan bahwa tidak ada hajatan-hajatan GRATIS yang bisa membunuh sepi kami di akhir minggu. Kejutan tidak berhenti disitu, selain deretan band-band yang akhirya kami simpulkan kalau itu band-band lokal jogja, kami juga merasa tertantang dengan satu kalimat di pamphlet itu.. F*ck The 90's Here's 00… siapa mereka yang berani-berani menabuh genderang perang dengan musik era 90 an yang termasyhur itu. Kami yang beberapa bulan sebelumnya telah berikrar tidak lagi “menyukai” musik setelah 90 an tentu tidak percaya kalo tantangan itu justru datang dari generasi 2000 an, apalagi 2000 an akhir ini yang senang dengan haru biru, cenat cenut dan dayu mendayu lainnya… Kesimpulannya, meskipun ini hajatan berbayar yang klo dinominalkan dengan rupiah ia setara dengan biaya sekali makan dengan menu nasi + ikan + sayur di warung mas bro dekat kosan yang berhadapan langsung dengan indahnya kali code yang termasyhur itu, tantangan ini harus kami jawab. Oh ya, kegiatan ini menurut pamphlet itu diadakan oleh Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta…sudah bisa membayangkan acaranya mendengar institusi ini? ..mari menuju takdir…

Bukankah cinta adalah perjuangan?

Hari itu, Minggu…tepatnya tanggal dua puluh tujuh februari dua ribu sebelas. Seperti biasanya saya bangun pagi  dan namun tidak seperti biasanya minggu pagi niat banget ke kampus…bukan untuk kuliah tentunya, meski kalo hari minggu ada sanmor (Sunday morning) di UGM tapi itu target kedua. Bersama kawan pemilik vixion ber DD Makassar segera melaju melewati kumpulan orang yang berseliweran sepanjang lembah UGM dan target kami adalah papan pengumuman kantin fisipol UGM…memastikan tempat dan waktu gigs itu..ROCK SIANG BOLONG…sesuai pamphlet acara dimulai pukul 14.00, ya iyalah klo dimulai 17.00 gak siang bolong namanya, begitu anggapanku awalnya. Nah masalah pertama muncul…sesuai pamphlet gigs ini bertempat di Amphi Theatre, TBY..wah dimana pula itu… sebagai orang yang baru menghuni kota, yang sedari dulu kutau dijuluki kota pelajar ini, sekitar 6 bulan tentu masih banyak tempat yang belum kami ketahui. Namun saat itu sederhana di pikiran kami, karena yang ngadain ISI berarti Amphi Theatre itu sepertinya di seputaran Kampus ISI. Mulailah kami membayangkan perjalanan menuju kampus yang setauku, sekali lagi sebagai orang baru, juga se rute dengan salah satu tempat wisata terkenal di Jogja, pantai parang tritis. Lumayan jauh….namun tidak mengurungkan niat kami berdua.

Karena ia bernama kejutan, maka kami lalu terkejut dan tertawa…

Cerita berlanjut……bersama kawanku yang berkaca mata dan kini memutuskan untuk berplontos ria ini, kami memutuskan untuk sejenak melupakan ROCK SIANG BOLONG…dan kemudian menuju ritual weekend lainnya, Taman Budaya Jogja. Kami tau saban akhir minggu di tempat ini pasti ada-ada saja yang bisa ditonton. Kembali vixion itu dipacu menuju sesuatu yang kemudian kami menyebutnya dengan “kejutan.” Saat itu disana ada pertunjukan tari-tarian tradisional yang selanjutnya dari spanduk yg terpajang kami ketahui klo acara seperti itu akan dilaksanakan sepanjang tahun…menarik dan berpenonton…hal yang saya kira akan sulit ditemukan di tempat-tempat  yang tidak punya apresiasi cukup terhadap kebudayaan lokal. Sambil memperhatikan tarian yang sepertinya, paling tidak dari kostumnya, bercerita tentang pasukan kerajaan blablabla…tiba-tiba papan pengumuman di area pementasan itu menarik perhatian kami berdua. Disana ada sekitar sepuluhan pamphlet, mulai dari pertunjukan teater, pameran foto, gigs punk, dan pamphlet ROCK SIANG BOLONG juga ada disana..hahahaha…kejutan itu semakin dekat…pertanyaan pertama kenapa pamphlet ini juga ada di tempat itu? Jawaban sementara cepat kami temukan…karena ini adalah Taman Budaya berarti penyelenggara acara tentu sangat tau kalau disitu akan banyak yang memperhatikan pengumuman itu dan plus nya karena pasti sebagian besar penikmat dan pelaku seni. Namun tidak berhenti sampai disitu, dari beberapa pamphlet khususnya yang berhubungan dengan pementasan terbuka, mereka sama-sama memakai tempat yang sama AMPHI THEATRE,TBY. Semakin dekat….
Pandangan semakin kai dekatkan jaraknya dengan deretan pamphlet dan poster yg sebagian sudah saling menutupi…semakin diperhatikan dan sambil menganalisa…hahahaha…ternyata TBY itu Taman Budaya Yogyakarta….berarti tantangan itu ada di sekitar sini…hahaha..terkejut dan tertawa… sementara alunan gamelan tetap terdengar bersemangat…

Karena kejutan biasanya sering bersama kawannya yang juga bernama “kejutan”

Dari dulu saya selalu percaya kalau sedang mencari sesuatu atau seseorang di tempat yang ramai biasanya yang saya cari justru berada tidak jauh dari tempatku melayangkan pandangan kearah yang lebih jauh. Sepertinya pepatah lama, semut di seberang mata terlihat namun gajah di pelupuk mata tak tampak, menjadi relevan untuk masalah ini. Dan keyakinanku itu terbukti lagi hari itu. Ternyata yang kami cari justru dekat bahkan sangat dekat dari tempat kami memulai kebingungan…hahahaha….bayangkan jaraknya hanya sekelebat (ah lebay) dari tempat kami menyelesaikan teka-teki TBY…. Lokasi Amphi Theatre tepat di bagian belakang Taman Budaya Yogyakarta, modelnya mirip seperti panggung pertunjukan lainnya hanya berbedanya karena dia terbuka. Belakangan oleh Wikipedia saya diberitahu kalau amphitheatre memang adalah istilah untuk tempat (venue)open air yg dugunakan untuk pertunjukan dan hiburan. Lagi menurut Wiki, ada dua bentuk amphitheatre yang serupa namun tak sama; yaitu model yang dibangun di zaman Roma Kuno dimana tempat perform yang luas berada di tengah dan dikelilingi oleh tempat duduk yang berderet keatas dan di film-film berlatar belakang kerajaan roma kuno saya kira sering kita jumpai. Model yang kedua biasa juga disebut sebagai modern amphitheatre yang biasanya digunakan untuk pertunjukan teater atau konser yang panggungnya mengikuti style terbuka alias teatrikal tradisional dimana para penonton berada hanya di satu sisi dan biasanya juga berbentuk semi lingkaran. Untuk model yang terakhir ini sangat dekat dengan tradisi Yunani Kuno. Nah, Amphi Theatre TBY mengikuti model ala Yunani itu. Setelah melihat lokasinya kami memutuskan untuk balik ke kosan untuk segera kembali “menyambut tantangan” era 2000 an…tepatnya sekitar pukul 14.00 waktu malioboro dan sekitarnya.

Bersabarlah karena ia bagian dari kesabaran yang lebih besar…

Energi telah pulih setelah sepiring nasi beserta lauk mas bro dan racikan nutrisari jambu mama edho berakhir di bagian tubuh yang sering dijadikan alasan untuk banyak perbuatan yang dikategorikan sebagai criminal dalam Kitab Undang-Undang Pidana, dan juga dijadikan alasan bagi jutaan orang seantero jagad ini untuk tetap berkata “tidak” karena pilihannya hanya lawan atau mati kelaparan… ah pokoknya sudah kenyang dan siap menyambut tantangan itu. Sampai di TBY, langsung menuju amphitheatre namun ternyata konsernya belum mulai dan menurut panitia akan dimulai sekitar pukul 16.00. Itu artinya masih dua jam lagi…sekali lagi ini tidak menyurutkan apa pun…pilihannya tentu bukan pulang ke kosan karena kalo itu pilihannya maka sama saja dengan membiarkan perjuangan dan penantian ini berakhir tragis…tubuh ini terlalu mudah menjadi manja dan segera mengistrahatkan dirinya jika sudah bertemu dengan bidang datar belum lagi jika ditambah dengan ritual pemanggil “kantuk” yang sangat ampuh dengan berpura-pura meletakkan buku di depan mata…dijamin ampuh…dan kalo itu terjadi berarti selamat tinggal… Berarti pilihannya adalah harus tetap berada di sekitaran TBY. Beruntung saat itu ada acara karnaval di Malioboro menyambut peringatan serangan umum 1 maret yang termasyhur itu…maka jadilah dua jam itu digunakan untuk fotafoto sana sini lumayan buat koleksi foto profil di pesbuk…dari acara ini kami akhirnya tau kalo sebenarnya kami punya bakat jadi objek fotografi..hahaha…
Jam di tangan kawan menunjukkan pukul 16 lebih banyak, kalo tidak salah lebihnya 30 menit saat karnaval sudah selesai segera saja kami kembali ke TBY dan membayar 5000 perak untuk menuju takdir kami…takdir baik tentunya….
Sore itu, hanya sekitar tiga band yang manggung sebelum istrahat shalat maghrib dan kami memutuskan untuk melaksanakannya di kosan yang sangat kami cintai itu…saya lupa nama-nama bandnya yang jelas yang nampil saat kami tiba itu yang paling keren, sempat nyanyiin lagunya Guns dan lengkingannya juga keren, saying lupa nama bandnya padahal kalo tau kan bisa nyari lagu-lagunya. Dua band lainnya yah lumayan…yang terakhir nampil serupa sama Peewee Gaskin (udah tepat kan penulisannya)…....hahaha… …

Serius…selalulah bersiap untuk pelajaran baru…

Malam itu hujan menyelimuti Jogja…lumayan deras tapi kami tetap memutuskan berangkat dan kali ini kami bertiga. Kali ini seorang kawan yang kutau piawai bermain drum juga ikut menemui takdir baik malam itu.  Saat tiba, tak ada lagi kami temui panitia yang menagih 5000 an perak dan membubuhkan stempel panpel di tangan tiap penonton di jalan menuju venue. Saya kira panitia juga tidak ingin ketinggalan dengan aksi-aksi menarik di panggung berukuran lumayan luas untuk hanya sekedar mengumbar aksi-aksi ala rocker. Susah saya menggambarkan semua kekerenan dari penampilan masing-masing band yang mewakili alirannya masing-masing dan tentu dengan kekonyolan-kekonyolan. Nantilah kita membahasnya di tempat lain…yang jelas malam itu ada Sangkakala yang aksi panggungnya sangat luar biasa, lengkingan dari sang vokalis yang berkualitas dan ditambah aksi sang gitaris yang semakin semarak dengan nyala kembang api disetiap sesi melodi yang ia mainkan dan saya sendiri begitu menikmati khususnya saat band ini memainkan lagu Bus Kota kepunyaan Good Bless. Saya paling ingat sama bagian ini: Memang Susah Jadi Orang Yang Tak Punya Kemanapun Naik Bis Kota … yang jelas Sangkakala lumayan berhasil membuat kami bertiga merasa tidak rugi berhujan-hujan ria dating menjambangi takdir baik… Nah selanjutnya ada band yang menurutku sudah menjadi legenda di ajang Rock Siang Bolong ini. Mereka begitu dielu-elukan dan dinanti-nanti dan yang pasti personil band ini sepertinya tidak muda lagi…sebelum band ini beratraksi seseorang memperkenalkan mereka dengan sangat kocak, misalnya saat sang gitaris mengeluarkan handphone nya yang didalamnya ada rekaman efek gitarnya dan didekatkan ke pengeras suara, maka si host dadakan itu mulai melancarkan serangannya…ternyata Gobrams (nama si gitaris) menggunakan mp3 merk Sunny..oh ternyata dia kini menggunakan handphone yang juga merk Sunny…ah banyak lah guyonan-guyonan lainnya…Dan ini dia si vokalis Didit Purnomo…wah aksinya begitu memukau goyangan rock ‘n roll nya mantap meski sekali lagi umurnya sepertinya tidak muda lagi…dan yang penting saat band ini memainkan lagunya sekitar 10 orang naik ke panggung bernyanyi bersama…sepertinya ini sekalian nostalgia masa-masa lalu karena yang naik ke panggung sepertinya senior-senior kampus zaman-zaman baheula…hahaha..keren…jadi berpikir kenapa rutinitas harus membunuh kegembiraan-kegembiraan yang dulu sering dijalani bersama teman-teman..ah tidak sabar ingin segera pulang ke makassar dan menyusun kembali kegembiraan-kegembiraan yang telah direnggut paksa oleh aktivitas yang memang tidak akan pernah berdamai dan meluangkan ruang bahkan untuk hanya sekedar sepetikan dawai gitar. Setelah itu, ada beberapa band lagi…lupa saya… dan yang paling saya ingat saat si host memanggil band satu ini untuk perform…

Kami diperkenalkan…namanya Jenny

Namanya Jenny… awalnya tak ada yang luar biasa. Kulihat beberapa orang diatas panggung berpenampilan ala punk maka kupikir ini band punk sampai personil band ini naik ke atas panggung baru kutau kalo beberapa orang tadi adalah crew Jenny. Masih biasa-biasa saja…lumayan lama kami menunggu karena gitar yang agak bermasalah. Dan…setelah semuanya beres maka mulailah kami mengenali bahwa inilah takdir baik itu…hahahaha…lebay? Terserahlah apa bahasanya. Si vokalis mulai mondar mandir panggung seperti sedang memulai ritual dengan buku note hitam ditangan kirinya dan sebatang rokok di tangan kanan dan mulai menyapa semua yang ada di amphitheatre TBY malam itu. Semuanya menjadi tidak biasa saat Jenny mulai bercerita tentang mati muda, manifesto postmodernisme, hujan mata pisau, menangisi akhir pekan, monster karaoke, maha oke dan yang paling anyar Hari Terakhir Peradaban….budaya teraniaya…
alam raya terperkosa… seni tak lagi murni… norma tak lagi suci… dipersundal ambisinya … diperbudak kelaminnya… serentak semua… serentak lupa pada Pencipta. Saya tak akan berlama-lama meperkenalkanmu tentang Jenny…sapalah ia segera dan jadilah teman penceritanya karena ia akan bercerita banyak tentang ruang dan waktu dan segala yang ada padamu…seperti kami, hari itu Dua Puluh Tujuh Februari Dua Ribu Sebelas berjanji tidak akan menjadi fans apalagi groupist. Kami hanya ingin menjadi Teman Pencerita dari timur yang anging mammiri nya tidak sepoi-sepoi lagi. Kami pulang dengan senyum tersungging dan helm kawan ku hilang. Tetap senyum.

(seumpama)Makassar, 26 Maret 2011
temanpenceritamakassar




Komentar

Postingan Populer