Buatku Berarti

“Lalu,aku siapa?” aku sering bertanya seperti itu, selalu bahkan. Kepada beberapa orang, kepada ayah yang kadang memberi Adith, saudara laki-lakiku lebih banyak dariku. Kepada ibu yang rajin menanyaiku tentang semua teman-temanku, tentang kuliahku, dan memberiku ruang yang lebih sempit ketimbang Adith, saudaraku yang memang semata wayang. Kepada Pak Bachri, guru PPKn-ku di SMU yang tidak pernah berniat mendengar sedikitpun pendapatku. Kepada Riri, sahabatku yang takut merepotkanku sehingga tak pernah mau membagi masalahnya denganku. Dan aku berharap aku tak menanyakan ini lagi. Karena, aku hanya ingin berarti.

       Mataku masih basah, kulihat wajahku yang kusam dari cermin di toilet gedung. Aku coba untuk tersenyum. Seharusnya aku bahagia bersama teman-temanku malam ini. Bagaimana tidak? Pementasan tari kreasi yang baru saja kami gelar terbilang sangat sukses, penonton  membludak, dan tanggapan penonton pun sangat antusias. Bukan hanya itu, pementasan ini adalah jerih kami selama sekitar dua bulan, latihan setiap hari , cari uang untuk biaya produksi, berhadapan dengan muka yang pesimis, pemarah, egois, dan semua yang bisa buat kami rapuh tiap detik dan hari inilah puncaknya.
       Langkah terakhir kami di panggung, mengomando Rina meredupkan lampu, gelap..,gelap.., dan..riuh tepukan penonton mengantar akhir pementasan kami. Lagu ‘Buai Anak Negeri’ buah karya salah satu teman mengantar aku dan 12 pendukung acara lainnya untuk berdiri di tengah panggung, sambil memasang senyum termanis kami. Tujuanku saat itu, pulang, bercerita, dan berbagi tentang pementasanku pada Piro, sahabat terbaikku yang selama kurang lebih setahun bersamaku. Satu persatu penonton meninggalkan gedung pertunjukan, dan seperti biasa kami tersenyum bahagia.
       Teman-teman masih sibuk membenahi gedung pertunjukan yang telah menjadi saksi keberhasilan kami. Sembari bekerja kami tak henti-hentinya bebicara tentang pertunjukan yang baru saja berlangsung.
       “Yan, pinjam pulsa dong!”  kata Ento sambil memandangku dengan memelas. Aku merogoh sakuku dan sekilas melihat pesan di layar ponselku. Kubuka dan ‘Sorry, aku ngak bisa menonton pementasanmu, teman-teman mengajakku menghadiri pelatihan jurnalistik di  Universitas 28 Oktober, dan aku harus ke sana. Bls di noku. Piro.’
       Aku terdiam, ada lahar yang mengalir pelan dari kepala menuju dadaku. Tiba-tiba aku butuh tempat untuk duduk, seandainya tak kusadari aku berada di tengah teman-teman, umpatanku pasti sudah terjamah angin sesaat setelah kutahu ia tak datang di hari bersejarahku. Kusyukuri kekuatan besar yang membuatku masih bisa tersenyum pada Ento walau yang kurasa  seperti ada pisau yang mengulitiku.
       Berbicara tentang Piro, maka banyak hal yang harus kuceritaan. Kami sudah setahun bersama, dia sahabatku, sahabatku yang sudah sangat dekat hingga kami masing-masing merasa bagian dari yang lain. Dia bagiku selalu menjadi orang penting, dia harus tahu segalanya. Aku menempatkannya selalu di urutan pertama, dalam hal apapun. Diapun seperti itu. Itu yang kurasa sekitar empat bulan di awal kebersamaan kami. Dan setelahnya ….,entah
***

       Aku masih terdiam, menatap wajahnya yang sangat tenang. Mungkin pura-pura, mungkin juga inilah dia yang sebenarnya. Tidak mau pusing dan tidak mau peduli. Kutarik nafasku dalam dan pelan berkali-kali sampai akhrnya tak kurasakan kalau aku bernafas. Kulihat ketenangan wajahnya mulai mengalami degradasi, keningnya mulai berkerut, mungkin sebagai reaksi demi melihatku tak mampu menahan air mata. Aku tak bisa melakukan apa-apa, yang kurasa aku tak berarti, sama seperti yang selalu kurasakan selama ini, terhadap siapapun.
       “ Please, Yan.., aku khan dah SMS, mestinya kamu ngerti. Kamu khan yang paling tahu, kalau aku masih harus selalu intens ngikutin kegiatan yang berbau journalist. Kalau seperti ini, aku jadi merasa nda mendapat dukungan.” Ucapnya seakan-akan semua ini adalah kesalahanku. Selalu seperti itu, baginya aku yang tidak pernah mau mengerti keadaannya, tidak pernah mau ngerti hobbynya, nggak pernah mau ngerti cita-citanya untuk menjadi wartawan professional. Padahal yang aku rasa sebaliknya. Tapi, aku tidak tahu ketakutanku begitu besar sehingga aku merasa tak perlu memberitahunya. Aku selalu memilih diam, berharap ia bisa membaca segala yang kurasakan. Tapi., selalu seperti ini ujung-ujungnya, aku yang akan disalahkan.
       “ Bicara dong Yan..!!! ” Pintanya sambil memegang dahinya, yang kutangkap ia mulai jemu melihatku seperti ini, diam dan murung. Lalu, kenapa ia tak bisa membuka pikiran, mungkin mencoba untuk introspeksi diri, sebenarnya salahnya di mana. Aku rasa dia tidak bodoh untuk tahu betapa kecewanya aku. Aku latihan selama dua bulan, setiap hari, hal yang kadang membuatnya merasa dinomorduakan. Dia juga tahu, betapa berartinya sebuah pementasan buatku, sama seperti pentingnya selembar berita yang ia buat.  
       Dan.., dia. Dia satu-satunya sahabat yang kupunya, tempatku berbagi, tempatku menceritakan segala sesuatu, teman bermain, teman jalan, guru yang mengajariku bersabar, memberitahuku cara untuk peduli orang lain, dia yang selalu membuka mataku untuk semua pikiran picik yang sering kupikirkan. Salah kalau aku mewajibkannya hadir pada pementasanku? Apa berlebihan jika aku merasa terpukul saat semua mengucap selamat dan memuji sementara dia yang merupakan bagian dari diriku sama sekali tak tahu bagaimana pertunjukanku? Apa aku egois kalau aku ingin sekali saja dia meningalkan kegiatan jurnalistnya untukku? Yang menjengkelkan lagi, sampai detik inipun dia belum minta maaf, sementara bagiku ini adalah kesalahan fatal.
       Kurasakan ia menatapku, lama dan aku tak berani menatapnya. Beberapa menit kami larut dalam kebisuan, menciptakan kesunyian yang kuharap mampu membuatnya berpikir.
       “ Aku hanya ingin kamu datang, melihat bagaimana kemampuanku yang sering dipuja orang lain. Apa itu salah? “ tanyaku dengan suara lirih. Ia belum berhenti menatapku, kutundukkan mataku dan kutangkap beberapa semut kecil sedang mengerumuni satu butir permen. Betapa nyamannya mereka yang selalu lapang untuk berbagi, saling mengerti kebutuhan yang lain. Kualihkan pandanganku ke langit, betapa luasnya dan megahnya dunia ini. Lalu, kuperhatikan beberapa kamar sepondokanku yang sedari tadi sudah gelap. Memang sudah larut.
       “ Yan, maaf. Aku akui aku salah. Harusnya tadi aku ada di sana.” Ia masih menatapku, menatap sekeliling dan tiba-tiba mengecup keningku. Sesaat kemudian, aku sudah ada  dalam peluknya, dan tangisku pecah. Aku tak tahu, hatiku masih terasa sangat sakit, bagiku tak cukup dengan minta maaf lalu semuanya selesai, aku ingin kejelasan siapa aku buatnya, tapi aku tak kuasa untuk berontak. Aku kehilangan kekuatan. Dan seperti biasa aku luluh.
       “ Jangan pernah merasa tak berarti Yan..,!! ucapnya dan lagi-lagi aku membisu. Hatiku sakit, perih, mungkin bukan karena dia tidak datang. Tapi, kurasa itu hanya salah satu dampak dari inti masalah, yaitu aku terlalu takut. Takut ia tinggalkan. Pikirku, hubungan ini sudah tidak sehat, tapi aku tak bisa pergi dari Piro. Aku sudah terlalu kuat mengikatkan diriku padanya, menggantungkan diriku juga padanya. Jujur, detik ini aku ingin sekali mendorongnya dan melepas pelukannya, lalu berteriak dan mengusirnya jauh dari hidupku. Aku sudah terlalu banyak berubah. Aku tak mengenal diriku sejak ia bersamaku. Tapi.., lagi-lagi aku tak bisa melawan. Dan seperti biasa, aku hanya bisa menurut, melupakan kesalahannya, lalu menjalani hari-hari dengannya, menemaninya membuat berita, menemaninya ke toko buku, makan es krim berdua, nonton dua bulan sekali, bertingkah seperti anak SD, jalan keliling kampus malam-malam, buat kue, dan melakukan segalanya berdua.
       Malam semakin larut, kosanku pun makin sunyi. K’ Tio yang biasanya tidur paling lambat pun  sekarang sudah mematikan lampu kamarnya. Aku masih memilih untuk diam, Piro sudah mulai bercerita, tentunya tentang diklat jurnalistik yang tadi ia ikuti. Yang kurasa angin bertiup lebih lembut dibanding kemarin malam, kasiankah mereka terhadapku? Karena hanya angin dan Tuhan yang tahu apa yang kurasakan selama ini.
****

       Aku menatapnya, sudah sedari tadi ia terlelap. Desiran di dadaku masih terasa amat besar, sampai ke kulitku bahkan menyentuh urat syarafku. Tadinya, aku kira dia datang untuk menemuiku dan memberi kejutan karena hari ini aku ulang tahun. Tadi malam, aku menunggunya datang, bermimpi ia datang membuka kamarku dengan kunci serep yang memang ia pegang, mungkin membawa kue tar kecil dengan lilin di atasnya. Atau, kalau ia tak punya waktu karena tadi malam sedang mengedit berita yang harus terbit 48 jam lagi, aku bermimpi, hpku berbunyi tepat pukul 00.00, lalu ia mengucap “selamat ulang tahun, Yan”, tentunya dengan mesra dan dibarengi dengan doa untukku. Atau, mungkin ia tak punya pulsa karena dua hari yang lalu, uang kirimannya habis buat beli kamera digital yang dari dulu ia ingini, kubermimpi bisa mendengar nada pesan di hpku, lalu muncul kata-kata istemewa untukku yang sedang berulang tahun.
       Yah, dan benar, semua hanya mimpi. Pagi sekali, kubuka jendela lagi-lagi aku berharap. Mungkin ada kado atau mungkin ucapan selamat. Dan lagi-lagi ini hanya mimpi. Ia memang datang, tapi bukan untuk mengucapkan ultahku.
       “Kenapa?” Tanyaku saat ia membalikkan badannya beberapa kali. Ia menggeleng, yang kulihat mukanya bengkok. Kalau sudah seperti ini, artinya ada sesuatu yang membuatnya tidak enak. Kucoba bertanya –tanya, apa kesalahankku lagi. Tapi, semenjak kemarin aku tak bertemu dia. Lagi-lagi ia membalikkan badan, telihat sangat gelisah.
       “Ada apa, Piro?” Tanyaku  tak bosan.
       “Nanti malam kamu ke mana?” aku mengeleng, aku kira dia tahu kalau hari ini Sabtu, jadwal latihan rutinku. Aku menatapnya, kuharap tak ada apa-apa. Lalu ia menarik nafas panjang. Ada masalah di Kertas Kita, nama jurnal intern kampus yang sekarang ia pimpin. Aku hanya bisa menatapnya, sembari mendengar ia bercerita tentang beberapa temannya yang sudah mau keluar, beberapa temannya yang ternyata menulis laporan  palsu, tentang tawuran antar fakultas x dan y beberapa hari yang lalu, tentang kinerja temannya yang kurang maksimal, tidak kooperatif, poko’nya semua masalah dalam dunianya. Aku masih terdiam, kuyakin ia tak tahu kalau kali ini aku betul-betul tidak tertarik dengan pembicaraannya, karena selama ini aku memang sering diam, aku memang seringkali hanya bisa mendengar sedikitpun tak bisa berkomentar. Yang jelas, hatiku masih perih, sebegitu tidak pentingnyakah aku sehingga tak sedikitpun ia memikirkan tentangku. Aku menelan ludahku berkali-kali. Sesekali kulihat, ia masih galau.
       “ Nanti malam kujemput, kita makan malam sama-sama.” Katanya sembari mengemasi tasnya dan berlalu. Aku menatap punggungnya, ia tak berbalik sedikitpun. Aku masih tidak stabil, seperti ada sesuatu yang mengais isi dadaku, dan membuangnya, yang kurasa terlalu banyak yang pergi dan aku harus menangis. Tapi, tidak aku sudah berjanji untuk tidak cengeng, aku harus kuat, aku ingat pesan seorang nenek pada cucunya dalam buku Tapak Sabda, ‘nak, aku tidak pernah berdoa agar kamu jadi orang kaya, juga tidak pernah berdoa agar kamu pintar, aku hanya berdoa agar kamu kuat’. Yah, aku tahu kita harus kuat, karena terlalu banyak hal yang bisa membuat kita jatuh, tentunya hanya manusia kuat yang bisa berdiri dan berjalan kembali.
***
       “Yan, Piro ada di luar” kata Neo tanpa menatapku sedikitpun. Kulirik jam di dinding, 21.48. Aku bergegas keluar. Sepertinya akan ada perang lagi kecuali kalau ia datang beberapa menit yang lalu, tapi biasanya ia datang tepat pukul 21.00, karena aku selesai latihan setengah jam sebelumnya.
       Kudapati ia sedang mengisap rokok di pinggir jalan. Mungkin karena sudah malam, pete-pete kampus sudah jarang. Aku melihatnya, lagi-lagi dengan wajah yang sama ketika aku melakukan kesalahan yang menurutnya tidak perlu diulang-ulang.
       “ Maaf, aku tidak tahu kalau kamu sudah datang. Biasanya kamu khan masuk ke dalam.” Kataku sembari meraih tangannya untuk menyimbolkan maafku padanya.
       “ Kamu selalu seperti ini, kamu pikir aku siapa? yang bisa kamu jadikan seperti kambing, menunggu kamu hampir sejam.” Begitulah kalau ia marah, semua kata-kata kasar akan sangat mulus keluar dari mulutnya. Aku terdiam, tak mungkin aku katakan kalau aku sedang berpesta dengan teman-teman yang ternyata sudah menyiapkan pesta kecil untukku. Tak kuhiraukan kata-kata yang ia keluarkan, kupusatkan pikiranku pada teman-teman di sanggar tari yang ternyata sangat peduli padaku. Aku tersenyum.  Aku tak bisa membujuknya lagi, terserah. Kami berjalan menyusuri kampus tanpa satupun berkata. Aku juga memilih bungkam, rencana makan malam gagal sudah.
       Aku bertingkah seperti biasa, seperti tak ada sesuatu yang terjadi. Inilah caraku mencairkan suasana. Tiba di kamar, aku masih bertingkah sama, walau aku tak penah bicara. Tiba-tiba ia meraih badanku dan mengarahkannya tepat di depannya.
       “ Aku lelah menghadapi kamu, kamu tahu terlau banyak yang sudah kulakukan, kenapa kamu tidak penah mau mengerti, Yan? Kamu khan sudah tahu kalau aku punya masalah, aku berharap kamu bisa membantuku, aku harap kamu bisa membuat aku tenang, bisa membuat aku bersemangat, tapi yang ada kamu malah menambah masalahku. Kamu peduli tidak? Kamu peduli tidak? Kalau tidak, lebih baik semua disudahi saja! Memang susah hidup dengan orang yang tidak pernah memikirkan orang lain “ paparnya dengan suara yang amat tinggi, dan dengan genggaman tangannya yang amat keras di bahuku. Kutatap matanya, kutenangkan diriku. Tapi,
       “ Kamu  mau pergi? Mau tinggalkan aku? Kali ini aku tidak akan melarang tapi, biarkan aku menjawab pertanyaanmu dulu. Aku yang tidak bisa mengerti, menurutmu. Tiap hari aku menungguimu membuat berita, tak peduli aku ngantuk, lelah dari latihan, aku tetap menyemangatimu, tapi kamu, kamu hanya menunggu beberapa menit, itupun bukan karena kesalahanku, kamu berfikir untuk meninggalkan aku. Setiap hari aku menanyakan keadaan Kertas Kita, dan pernah tidak kamu tahu sedikitpun tentang sanggar tariku? Aku besedia kamu ajak ke mana saja, bersama teman-temanmu, walaupun aku hanya bisa mendengar, tapi pernah tidak kamu bersedia untuk datang hanya sekedar  ngobrol dengan temanku atau melihatku latihan? Aku bersabar, ketika harus membatalkan jalan-jalan, makan berdua, jika kamu tiba-tiba harus mengahadiri kegiatan, tapi pernah tidak kamu melakukan hal yang sama? Aku mendukungmu, selalu berada di belakangmu, apapun yang kamu lakukan, lalu kamu, katamu kamu mendukungku, tapi pernah tidak kamu menonton pementasanku, sekali saja. Tidak kan? Menurutmu, aku tak memikirkanmu, aku memikirkanmu 25 jam dalam 24 jam yang kupunya, bahkan aku selalu merasa bodoh, aku selalu merasa khawatir jika dalam sehari tidak melihatmu. Aku memang tidak pernah memikirkan orang lain, itu dulu, dan kau tahu menurutku itu lebih baik. Aku tak perlu tepenjara dengan perasaan  khawatirku, tak perlu terpenjara dengan rasa cemburuku, rasa takutku, yang menjadikanku perempuan cengeng yang harus menangis tiap malam hanya untuk orang lain yang katanya juga mempedulikanku. Aku memang egois, tapi aku merdeka. Tak pernah seperti sekarang yang harus menunduk dan diam mendengar apapun yang kamu katakan. Kamu marah karena aku tak peduli akan masalahmu, membuatmu menunggu? Tahukah kamu kalau semalaman aku menunggumu? Dari pagi sampai pagi lagi, aku menunggumu, kamu tahu? Dan kamu tahu kenapa aku harus menunggu? kamu tahu ini tanggal berapa? Tentu kamu tahu, kamu bergelut dengan waktu dengan dead line, dengan berita, tapi ingatkah kamu? Semua memberiku selamat tepat pukul 00 dini hari, lalu kamu ke mana? Bergelut dengan komputermu? Apa semua tentangku tidak berarti umtukmu? Lalu aku siapa buatmu? Dan ini yang kau namai pengorbanan untukku? Sejak bersamamu aku belajar bersabar, kau memberitahuku bagaimana untuk mengerti orang lain, kau mengajariku mengendalikan emosiku? Kau yang mengajariku semua itu, tapi aku tak menemukannya di dirimu lagi. Menurutku aku melakukan segala yang bisa kulakukan, kalau menurutmu ini tidak cukup, aku biarkan kamu pergi. Kamu sudah lelah? Aku juga, bahkan aku takut semua ini akan membunuhku perlahan. Kalau untuk hidup berdampingan dan saling mengerti harus seperti ini, biarlah aku hidup sendiri. Ini terlalu sakit dan aku tak kuat lagi. “ Kuakhiri luapan hatiku dan berbalik, aku betul-betul  telah siap. Kutinggalkan Piro sendiri dan keluar melihat langit. Aku hanya ingin berarti untuk siapapun disampingku. Salahkah? Tanyaku pada langit Kudengar Piro melangkah, ia mengahmpiriku aku tak menatapnya. Ia duduk di sampingku. Menunduk. Aku tak mengerti. Entah besok apa lagi 


“Lalu,aku siapa?” aku sering bertanya seperti itu, selalu bahkan. Kepada beberapa orang, kepada ayah yang kadang memberi Adith, saudara laki-lakiku lebih banyak dariku. Kepada ibu yang rajin menanyaiku tentang semua teman-temanku, tentang kuliahku, dan memberiku ruang yang lebih sempit ketimbang Adith, saudaraku yang memang semata wayang. Kepada Pak Bachri, guru PPKn-ku di SMU yang tidak pernah berniat mendengar sedikitpun pendapatku. Kepada Riri, sahabatku yang takut merepotkanku sehingga tak pernah mau membagi masalahnya denganku. Dan aku berharap aku tak menanyakan ini lagi. Karena, aku hanya ingin berarti.


22 April 2005
_ibumaha_


Komentar

Postingan Populer