Janji Bersatu Melawan Kelaparan*

Oleh: Zulkhair Burhan**

Saat membuka website FAO (Food And Agriculture Organization), sebuah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa yang membidangi masalah pangan dan pertanian, saya langsung terperanjak mendapati fakta yang terpampang di tag line website kalau ada sekitar 1 milyar orang di seluruh dunia yang sedang berada dalam kondisi kelaparan yang kronis. Tragis!
Data diatas dikeluarkan oleh FAO menandai perayaan Hari Pangan Sedunia yang jatuh tiap tanggal 16 Oktober setiap tahun. Pada perayaan Hari Pangan Sedunia tahun ini, Jacques Diouf (Direktur Jendral FAO) bersama Paus Benediktus XVI, dan Paul Kagame (Presiden Rwanda) menyerukan persatuan global untuk melakukan aksi yang tegas dan kongkret dalam rangka mengatasi masalah kelaparan dengan memproduksi pangan secara maksimal di negara-negara yang masih menderita kelaparan. Seruan ini sejalan dengan tema besar kegiatan Hari Pangan Sedunia tahun ini yaitu “Bersatu Melawan Kelaparan”.

Negara versus Pasar

            Dalam rangka Peringatan Hari Pangan Sedunia tahun ini masyarakat dunia masih menitikberatkan perhatian pada masalah krisis pangan yang mendera banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Rentetan persoalan kelaparan, malnutrisi dan gizi buruk yang masih terus terjadi menandakan bahwa ada persoalan penting yang perlu untuk segera ditangani serius dalam hal penyediaan bahan pangan yang berkualitas bagi masyarakat. Sekali lagi bukan hanya tersedia dan mencukupi namun harus berkualitas. Strategi mengenai masalah pangan sudah sering menjadi bahan pembicaraan oleh berbagai kalangan terkait dan saya yakin juga bahwa berbagai program telah dijalankan untuk mengatasi masalah ini.
            Memang menjadi sebuah ironi bahwa sebagai salah satu negara agraria terbesar di dunia, kita justru masih diperhadapkan oleh masalah-masalah diatas. Melihat persoalan ini secara state centric memang justru akan menjauhkan kita dari pokok masalah sebenarnya, yaitu penerapan mekanisme pasar dalam sektor pangan termasuk didalamnya sektor pertanian. Inilah hal penting yang saya kira perlu untuk terus dikritisi mengingat ekses negatif yang ditimbulkannya dan parahnya selalu paling dirasakan oleh masyarakat kecil.
            Penerapan mekanisme pasar dalam sektor pangan tentunya bukan hal yang baru dan tiba-tiba saja terjadi. Ia merupakan bagian dari komitmen negara untuk mengintegrasikan dirinya dengan sistem ekonomi politik global melalui berbagai macam kesepakatan-kesepakatan dengan berbagai lembaga baik negara (negara maju) maupun lembaga non-negara (IFAD, IMF, Bank Dunia dan WTO). Melalui kesepakatan-kesepakan itulah sehingga negara mau tidak mau harus menjalankan berbagai macam praktek kebijakan yang sekali lagi justru menyengsarakan masyarakat kecil.
            Saya kira ini bukan hanya sekedar menisbahkan kesalahan atas kealpaan negara dalam hal pemenuhan hak rakyatnya terhadap kelompok negara-negara maju dan lembaga-lembaga multilateral diatas, namun kalau jeli melihat berbagai kesepakatan-kesepakatan mengenai pangan dan pertanian yang diratifikasi negara maka akan kita dapati bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut justru merugikan. Lihat saja bagaimana pemerintah kita meliberalisasi sektor pertanian dengan membuka pasar pertanian seluas-luasnya dan perlahan-lahan mencabut subsidi sektor pertanian yang justru semakin mengurangi proktivitas petani. Namun di sisi yang lain, negara-negara maju yang juga meratifikasi kesepakatan ini justru memproteksi pasar mereka dan semakin meningkatkan subsidi bagi petani mereka. Tercatat bahwa petani Amerika Serikat dan Uni Eropa menerima subsidi per tahun rata-rata 21.000 dollar AS dan 16.000 dollar AS. Sekitar 78 persen pendapatan petani padi di OECD, misalnya, berasal dari bantuan pemerintah. Padahal di dalam WTO dianut prinsip Most Favoured Nation (MFN) atau non-diskriminasi yang berarti bahwa suatu negara anggota WTO tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap sesama anggota WTO.
            Pertanyaannya kemudian adalah apakah kepentingan modal internasional menjadi lebih prioritas dibandingkan kepentingan nasional (baca:rakyat)? Dibanyak kasus yang terjadi memang pemerintah kita ketika berhadapan vis a vis antara kepentingan negara dan pasar, maka negara akan selalu memprioritaskan kepantingan pasar dengan asumsi bahwa integrasi dengan pasar adalah hal yang tidak dapat dielakkan karena berbagai macam pertimbangan. Meski sekali lagi taruhannya adalah rakyat kecil.

Kedaulatan Pangan sebagai Alternatif

            Logika akumulasi yang inheren dalam mekanisme pasar membuatnya sangat susah menjadi solusi atas persoalan krisis pangan saat ini. Makanya perlu untuk melirik alternatif lain sebelum berbagai persoalan lain terus menyeruak. Sejak tahun 1996, La Via Campesina, sebuah organisasi petani internasional, telah mengajukan sebuah konsep alternatif yang disebut sebagai kedaulatan pangan yang lebih mengedepankan prinsip-prinsip pra-produksi, produksi, distribusi dan konsumsi yang diinginkan rakyat. Konsep ini juga sebagai konsep alternatif terhadap konsep ketahanan pangan yang mengadopsi model mainstream neoliberal. Selain itu, konsep ini juga mengatur tentang akses sumber daya produktif yang harus dikuasai oleh rakyat, seperti tanah, air, benih dan lainnya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk pasar yang adil melawan kendali distribusi dan pasar yang cenderung didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar dan menomorduakan pasar lokal dan domestik.
            Penting untuk dicatat bahwa kedaulatan pangan merupakan hak sebuah negara dan rakyatnya. Substansi kedaulatangan pangan adalah bagaimana sebuah negara bisa secara mandiri mengatur sendiri kebijakan pangannya. Soal perdagangan, konsep ini melihat bahwa produk pangan mesti diprioritaskan untuk konsumsi dalam negeri sehingga menjamin hak pangan bagi setiap. Sehingga upaya untuk mengakhiri persoalan kelaparan sesuai harapan MDGs ditahun 2015 menjadi kenyataan.

Berperan Aktif

            Dalam konteks kekinian, pembaharauan dalam sektor pangan dan pertanian membutuhkan berbagai kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pemenuhan bahan pangan namun juga berusaha untuk memaksimalkan potensi pangan dalam negeri sehingga negara ini tidak terus bergantung pada produk pangan luar negeri. Sudah saatnya negara kita berusaha untuk mewujudkan produksi pangan berbasis kemandirian dalam negeri. Dan hal ini bukan tidak mungkin karena negara-negara di Amerika Latin seperti Kuba, Venezuela, Bolivia telah mempraktekkan model kedaulatan pangan.
            Selanjutnya, kita sebagai masyarakat tentu tidak cukup dengan hanya mengharapkan political will dari pemerintah namun lebih dari itu bagaimana masyarakat bisa lebih kritis atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersentuhan langsung dengan sektor pangan. Saya kira ini menjadi sangat penting karena sektor pangan adalah salah satu sektor yang langsung bersentuhan dengan kelangsungan hidup kita dan khususnya anak cucu kita. Jadi membiarkan kebijakan pangan kita tidak dikelola tanpa keberpihakan tentu sama saja dengan membatasi akses anak cucu kita terhadap bahan pangan dan bukan tidak mungkin membiarkan mereka menjadi bagian dari deretan angka yang juga merasakan kelaparan. Semoga tidak!
Seruan dunia untuk “Bersatu Melawan Kelaparan” tentu akan mendapatkan manifestasinya secara utuh tentu tidak dalam bentuk ritual tahunan namun dia akan lebih kongkret jika semua kelompok maupun individu mulai berani melihat alternatif-alternatif solusi atas persoalan kelaparan yang betul-betul meresahkan kita sebagai umat manusia. Akhirnya, Selamat Hari Pangan Sedunia.


* Tulisan ini dibuat bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia tanggal 16 Oktober 2010
**Penggiat Tamalanrea School (Pusat Studi Globalisasi dan Hubungan Internasional) Makassar

tulisan ini juga dimuat di http://www.himahiunhas.co.cc/
 

Komentar

Postingan Populer