Jiwaku-mu...

Panggung kosong, sorot lampu di sudut kiri panggung. Terlihat bayangan. Entah sesosok manusia, atau mungkin rongsokan barang yang ta berguna, perlahan bergerak, disertai musik mengalun begitu menyayat. Terdengar sebuah lagu dinyanyikan dengan kepiluan. Sosok tadi coba bergerak dengan tertatih. Semakin lama cahaya lampu makin jelas menyorot sosok, di depan panggung telah berdiri dua kuasa alam, menjalankan perannya sebagai memberi warna pada alam. Panggung kanan di sorot terlihat dua orang seorang sosok ibu sedang menangis dan berjalan menatap bayangan tadi

Ibu       : Aku takut menutup mata
               yang kulihat ia diseret, dicekik,
               kulit-kulitnya disileti.
               Aku takut menutup mata
               Kegelapan membuatku lemah dan tak berdaya
               Lalu apa yang harus kulakukan
               Saat tangan ku tak bisa menjaga anakku
Maka kupilih untuk mati di sana.

Terdengar langkah gagah nan bersahaja, keluar dari sisi panggung dan menenangkan alam yang bergemuruh. Musik masih terdengar, berganti-gantian dengan suara kuasa alam, seolah-olah ingin menceritakan sesuatu.

Pak       : Karena cinta kita yang buat dia besar
Melawan tiap hukum yang menindas kita
Lalu kenapa kita tidak berbangga
Sementara ia sedikit
Dan menggetarkan seluruh badan
Pecundang-pecundang di atas sana
Yang menjual perjuangan ini

Ini bukan untuk ditangisi
Biarkan ia membakar tubuh-tubuh penguasa yng berendam
Dalam kolam renang yang ia buat dari darah kita

Takkan air mata itu buat dia bungkam

Suara   : aaaaaaaaaaaaa,
              anjing, bangsat, lintah negara, apa yan bisa kau perbuat dari tubuh kurusmu??

Ibu       : (menutup telinga) aku bisa mendengar dia sedang di tersiksa
Bapak   : tapi dengar suranya.ma, itu bukan suara penderitaan itu suara perlawanan

Terdengar jeritan, tawa dan tangisan berganti-ganti.

Ibu       :  dengar, suaranya semakin memilukan!!!, dan tawa-tawa itu, makin memuakkan
Bapak     : Tidak..., coba dalami pendengaranmu!, tidakkah tangisan itu terdengar seperti lagu yang teriaakkan kebebasan, dan suara tawa itu.. dalami dengan bagus tidakkah diujung tawanya kau dengar getaran seperti tawa ketakutan??

Tawa, tangisan, jeritan, masih terdengar

Bapak   : Dengar-dengar jeritannya..., jeritan itu begitu kuat
bahkan sebentar lagi merobohkan penjara-penjara yang kita buat sendiri. 
dengar Bu!!!!!!
Dengar dengan telinga yang ada di sini bukan di sini.
Pikir bu?!! Pikir
Jangan cengeng seperti orang-orang besar,
yang takut kesempatan kaya akan pergi
sehingga berpikir dengan lutut.

Ibu       :  Tutup matamu!! Tutup matamu!!
Kau lihat?? Wajahnya penuh darah
Bahkan tak bisa lagi terlihat
Mukanya berlumuran darah
Hentikan itu!!!!
Anak kami  bukan penjahat
Ia kebetulan suka membaca
Apapun yang bisa terbaca
Bahkan membaca gelagat penguasa yang telah berlaku tidak adil
Dia Cuma senang pidato
Mengatakan yang benar dan betul terjadi
Lalu kenapa harus di culik ???
Ia Cuma gemar menulis
Membuat tulisan-tulisan tentang pikirannya
Yang bertentangan dengan pikiran orang banyak
Ia senang berbagi
sehinga datang pada orang-orang yang ia anggap mampu pecahkan kekalutannya
Lalu kenapa dituduh suversif??
Lau kenapa harus diculik??
Ia bukan penjahat!!!!!

Bapak   :  Ketika matamu menangis untuk kerelaan
Maka ia akan jadi benih kekuatan
Tapi ketika kau menangis karena ketakutan
Maka ia akan akan jadi boomerang

Subversif, komunis, anti negara,penjahat negara
Itu adalah senjata yang ampuh
Karena hanya itu yang mereka tahu

Biarkan air matamu jadi kekuatan baru
Bukan melemahkan

Ibu       :     Darah yan mengalir di dadannya adalah darahku
Ketika kulitnya tergores maka hatiku tersayat
Aku tidak bisa diam
Kuserahkan semua ini lalu menyerah

Wooooooooooii pada yang berkuasa
Apa yang kau pinta?
Maka akan kuberikan

Bapak   : Maka semua akan sia-sia
Ibu       : Dia anakku
Bapak   : Dia anakku juga
Ibu       : Tapi kau tak menyayanginya kau biarkan ia di bunuh
Bapak   : Kalau dengan itu kekuatan perlawanan akan lahir, kenapa kau harus tidak rela?   Dia lahir dari rahim yang kuat.
Ibu       : Itu  rahimku
Bapak   : Dia berjuang
Ibu       : Untuk siapa?
Bapak   : Untuk masa depan. Untuk pikiran yang terbuka, untuk kebebasan,
Ibu       : Haruskah aku rela?
Bapak   : Relakan!!

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Ibu       : Dia pergi
Bapak   : Akan lahir janin baru
Ibu       : Untuk mati lagi??
Bapak   : Untuk perlawanan baru

Suara alam makin menyayat

(ibu_maha)









Komentar

Postingan Populer