gelora mei....
Selalu ada yang menggairahkan di bulan Mei. Bangsa ini pun,
punya banyak hal yang harus dilihat ulang, dibenahi saat Mei datang. Mei
beberapa belasan tahun lalu adalah mei yang membuktikan bahwa suara tidak akan bisa
terpenjara selamanya.
Mei tahun ini, bisa jadi adalah bulan tersibuk kami.
Buku-buku yang biasanya keluar dua atau tiga kali sebulan, di bulan ini
mencapai delapan kali. Tentunya angka itu adalah kabar bahagia, semakin sering
kami keluar, semakin besar potensi untuk mendapatkan nominal penjualan yang
besar. Jangan ditanya nilainya, tidak akan membuat kami kaya, tapi setidaknya
membuat kedai buku dan perpustakaan ini bernafas lega mungkin untuk beberapa
bulan ke depannya. Saya kira urusan dapur di kedai buku yang kami kelola 5
tahun belakangan ini adalah rahasia umum, dan juga adalah permasalahan di
hampir seluruh komunitas berbasis paguyuban.
Dan semakin membuat saya entah bersemangat atau marah setelah beberapa
hari kemarin mendapati uang dengan digit yang lumayan banyak tapi tidak tepat
sasaran atau malah mungkin tidak memiliki sasaran.
Yah, kembali pada Mei
yang bergelora. Hampir sebulan ini saya tidak memasak di rumah, itu berarti
kami berada di luar seharian atau mungkin hingga larut, saling membagi kerja
antara saya, komrad dan Ana. Di awal
bulan, kami menempuh perjalanan panjang demi bersua dan berbahagia bersama
kawan Adam dan Dani di Bantaeng. Menjadi awal yang sangat hati-hati karena
insiden Suar di ujung malam di Pantai Seruni, memberi kami (saya dan komrad) alarm
untuk tetap focus walau kami tengah menikmati nostalgia bersama kawan lama. Di
usia kisaran 30-an, salah satu reuni yang paling efektif adalah menghadiri
pernikahan seorang teman.
Minggu kedua, saya isi dengan beberapa kegiatan workshop
sulap sampah di kampus. Sembari mengisi dua kali seminggu jam pelajaran Bahasa
inggris di salah satu kampus swasta untuk level dasar. Minggu-minggu ini adalah minggu dimana
mahasuar rela hanya bersama Ana di rumah. Minggu ketiga dan terakhir Mei adalah
yang paling melelahkan. MIWF, di pertengahan bulan bersamaan dengan persiapan
komrad menuju visitasi jurusan yang baru beberapa bulan ini berada di bawah
kepemimpinannya.
Hari-hari MIWF seperti hari-hari penuh drama. Empat malam
kami pulang di ujung malam, memakai motor dan atau dengan dua orang anak kecil
bersama kami. Siangnya, saya dan atau Ana menembus matahari Makassar, maha
biasanya memilihi singgah di kampus bersama komrad yang saat MIWF, hanya bisa
terlihat saat matahari sudah mulai tenggelam. Jadilah saya menjadi begitu
perkasanya menyusun megangkat buku di siang hari, menjagainya sembari meladeni
Suar yang semakin aktif. Hari-hari itu begitu melelahkan. Tapi MIWF dengan semua
suguhannya, seperti membayar lunas semua lelahku. Ini adalah tahun ketiga kami
bersama MIWF, dan tahun ini pelakasanaannya sangat rapih, banyak pengunjung
dengan suguhan pertunjukan yang keren. Bukan hanya itu, issu literasi yang
menjadi issu utamanya dipadukan dengan kebebasan berkarya, sebagai reaksi atas
tindakan pemusanahan dan pembakaran buku atau
pembubaran kegiatan yang mencederai kebebasan berpendapat yang di bulan
Mei 18 tahun lalu, diperjuangkan dengan berdarah.
Minggu selanjutnya, buku-buku digelar lagi. Beberapa event
kampus mengangkut buku-buku, dan diakhir minggu saya (lagi) harus
berpartisipasi dalam sebuah event yang digelar oleh radio swasta yang cukup
tenar di kota ini. Dan ini ini salah satu event yang sangat tidak memuasakan
kami. Bukan dari segi ekonomis tentunya, walau itu juga salah satu
indikatornya. Lapak sebenarnya adalah salah satu piknik keluarga kami. Rasanya
menyenagkan mwmbawa maha suar di tengah
banyak pelaku ekonomi atau kelompok kreatif yang lain. Bagi yang sudah sering
bekerja sama dengan kami, pasti paham itu. Dan kami juga selalu memahami jenis
kegiatan yang kami ikuti, mungkin yang satu ini luput dari pemantauan. Bukan
karena disponsori rokok, kami juga beberapa kali ikut lapak dengan sponsor
rokok, tapi kali ini rasanya agak mengganjal. Kami memutusakan melanjutkan
lapak di acara kampus STIE NOBEL di Balaikota.
Dan dikahir pecan terakhir di bulan Mei, adalah puncak dari
semua kelelahan. Minggu malam, kami meninggalkan Drive di Balaikota menuju
Panakukkang. Bertemu dengan perempuan berparas menawan yang berbulan-bulan
sejak kali pertama melihatnya dalam rupa CD di Kedai Buku Jenny telah menjadi
topic pembicaraan yang hangat. Danilla. Salah satu penjualan terlaris di record
store kecil kami. Adalah Si Ridho yang membeli CD itu sampai empat kali dan
menghadiahkannya untuk empat perempuann berbeda. Motifnya? Entahlah. Boleh
ditelisik di dalam lagunya. Malam itu menjadi malam penghujung Mei yang sendu
tapi membahagiakan. Alunan nada-nada jazz yang seksi membuat saiapapun yang
tidak menikmati malam itu bisa jadi merugi.
Dan dipenghabisan Mei kemarin, saya menghabiskannya dengan
melototi angka-angka yang berkeliaran berkejaran, dan menumpuk entah oleh orang
atau lembaga. Jelasnya, nomor-nomor itu cukup untuk mengerjakan helatan besar
yang bisa dinikmati banyak kalangan.
Mei tahun ini, tidak hanya bergelora, dia menjanjikan banyak
hal. Untuk terus dikerjakan, untuk terus dibenahi…..
Juni tiba-tiba datang
ibumahasuar
Komentar
Posting Komentar