Meraih Cita...

Sejak kecil saya punya ambisi menjadi guru.  Hingga saya besar, kuliah dan semakin sadar bahwa pengajar satu-satunya pekerjaan yang mengharuskanmu untuk terus belajar. Sejak meraih gelar sarjana, passion saya untuk mengajar bertambah besar. Saya mulai di beberapa tempat kursus, lalu sekolah formal yang swasta. Setelah berhenti, saya membuka kelas-kelas di rumah ada yang berbayar, ada yang gratis. Lalu saya membuat sekolah sendiri. Terhenti. Dan sekarang, saya kembali mengajar. Membuka kelas bahasa, seekali kelas kerajinan di rumah untuk anak di sekitar rumah. Semangatnya sederhana, saya butuh teman untuk maha suar supaya terkesan lebih serius. Padahal sasaran utamanya mereka. Apa yang didapatkan di sekolah tentunya jauh dari cukup, menjadi orang tua tentunya memastikan mereka siap menghadapi apa saja kelak. Sejak kecil, saya menggeluti apa yang saya inginkan dan tidak pernah ingin beranjak dari situ. Hanya mungkin, definisinya mulia bergeser tanpa harus menanggalkan esensinya. Saya mempelajari banyak hal dari situ.
Memiliki sesuatu yang kamu inginkan, sesuatu yang kamu sukai sejak kecil menurutku adalah salah satu hal penting yang sebaiknya dimiliki anak-anak. Itu akan membuat langkah-langkah dan keputusannya jelas. Tidak semata-mata mengikuti arus, mengandalkan keberuntungan, atau mengharapkan kebetulan-kebetulan. Walau tidak perlu dibuat terlalu serius, sampai terkesan memaksakan. Jika anak-anak sudah mulai memperlihatkan kecenderungan akan sesuatu, orang tua sebaiknya aktif menggali potensi, bakat atau hasrat mereka. Pekerjaan ini menjadi sulit, karena sebagian orang tua akhirnya terlalu bersemangat, mengarahkan potensi anak dengan berlebihan. Dan kemungkinan terburuknya, anak-anak tidak lagi menyukai apa yang seyogyanya ia senangi. Kita memang harus dengan sangat bijak menempatkan keinginan anak di atas ambisi kita.
Membesarkan anak di tengah lingkungan yang aman, dengan fasilitas lengkap, menurutku adalah sebuah anugerah. Setidaknya mereka merasa aman dan tumbuh selayaknya anak-anak. Kita selalu ada untuk mereka. Beberapa hari terakhir, televisi rajin menyoroti sisi lain kehidupan anak di belahan dunia sana, sangat miris. Anak-anak yang hidup di daerah konflik, yang setiap hari melihat kematian, yang setiap menit berteman kecemasan. Mereka tidak punya kesempatan untuk menemukan mimpi mereka. Satu satunya harapan besar mereka adalah merasakan perdamaian. Mereka terlahir untuk berhadapan dengan senjata, untuk menghindari maut  bahkan di saat mereka masih belia.  Jangankan mimpi, mereka bahkan  tidak memiliki masa anak-anak.
Saya bahagia melewati masa kanak-kanak dengan baik, bermain sampai senja lalu pulang saat mama berteriak-teriak. Memainkan segala jenis mainan yang ada di sekitar kita. Pergi dengan tangan kosong pulang dengan puluhan kelereng atau kertas wayang, biasa juga karet. Pergi dengan bersih,pulang dengan berkawan kubangan. Pergi dengan sehat walafiat atau pulang dengan tangisan akibat jatuh atau terkena bola saat main “boi”. Pergi dengan senang pulang dengan kepuasan-kepuasan yang tidak habis sampai besok datang lagi. Hampir semua kita di era yang jauh dari digital, menikmati masa kecil yang sangat membahagiakan dan membanggakan. Menurutku, semua pelajaran hidup di masa depan, telah kita dapatkan saat kita berani keluar rumah dan bermain. Bertemu dengan banyak teman, berkompetisi, menang, kalah, jatuh, bangun lagi, berjuang, berkelompok, bergotong royong. Masa kecil kita adalah pijakan besar yang membuat kita bisa berdiri seperti sekarang ini.
Sayangnya, ketika menjadi orang tua, kita terlalu takut membiarkan anak kita menghadapi masalahnya sendiri. Saya harap saya tidak menjadi ibu yang seperti itu. Yang tidak menebar ketakutan dan nacaman dalam langkah maha dan suar. Atau membebani punggungnya dengan harapan-harapan. Seingatku mama dan bapak tidak pernah seperti itu. Dan karena itu pula, saya selalu percaya diri dengan semua keputusan saya dan kemudian berani bertanggung jawab atas semua pilihan yang saya ambil.
Maha dan Suar tumbuh di zaman yang sama sekali berbeda dengan apa yang saya rasakan dulu. Dan untuk itu, saya tidak mau berhenti belajar. Saya tidak berhenti menjadi ”guru”. Demi agar dua lelaki kecil ini tumbuh dengan selayaknya lalu percaya pada diri mereka sendiri, seperti saya percaya pada mimpi-mimpi saya. 

8 Ramadhan
ibumahasuar

Komentar

Postingan Populer