Masjid untuk Suar...

Suatu hari, setelah pulang dari shalat Magrib di mesjid yang tidak jauh dari rumah, Suar bercerita dengan tidak jelas pada Puang Ana.
“ Tadi to, syaya manjat bini (begini)” sambil memperagakan cara manjatnya di kursi atau di dinding kala itu.
“tyus to, itu ibu-ibu bini (begini)” sambil menaikkan telunjuknya dan memasanga wajah garang. Kami semua sontak tertawa, dan menyuruhnya mengulang adegan tersebut.  Beberapa kali diulang, saya kemudian membantunya menjelaskan kejadian yang tidak satupun dari kami yang melihatnya.
Jadi ceritanya, Suar seperti biasa tidak bisa diam. Aktivitas shalat di Mesjid menjadi menyenangkan untuknya, karena dia bisa lari-lari dengan lapang. Suar juga suka meneliti banyak benda di sana, kotak sumbangan dan pembatas yang terbuat dari kayu yang memisahkan jamaah laki-laki dan perempuan. Suar suka memanjati pembatas itu. Mengganggu tidak, tapi adegan itu cukup berbahaya. Dia bisa saja terjatuh ditimpa atau menimpa pembatas itu. Dua-duanya pasti akan sangat sakit di tubuhnya. Dan saat melakukan atraksi tadi, seorang ibu-ibu sempat menegurnya dengan menunjuknya dan diberi ekstra muka masam.
Suar senang sekali ke mesjid, selalu menangis jika saya tidak memperbolehkannya ikut saat kakak maha dan teman-temannya berangkat ke sana. Tapi, suar bukan tipe anak yang bisa diam saat semua orang diam. Dia malah berlari, berteriak, memanjat, berlari dari pintu satu ke pintu yang lain, berlari dari bapaknya menuju saya.  Dan aksi-aksi itu menurut banyak orang mengganggu orang lain yang sedang shalat.  Di Ramadhan tahun lalu, Suar diajak taraweh hanya duaatau tiga kali. Bapak bebi sempat kena semprot pengurus mesjid karena seolah tidak bisa mengatur anaknya yang membuat “kacau” ibadah.
Mesjid tidak seharusnya garang seperti itu pada anak-anak.  Saya kira, masa-masa itu hanya dirasakan oleh generasi kami. Dulu saat taraweh di mesjid di Bone, ada seorang pengurus mesjid namanya Pak Hadrawi. Semua nak seusia saya pasti mengingat nama itu. Dia dikenal sangat galak, tidak segan-segan memarahi dan bahkan memukul anak-anak yang main saat shalat. Di shaf perempuan ada istrinya, yang cantik namun juga ceriwis. Dia sering memarahi kami,anak-anak perempuan, saat sibuk mengunyah kwaci di sudut belakang saat penceramah menjelaskan entah apa. Pak Hadrawi, terbilang sangat jarang ikut taraweh di rakaat pertama dan kedua. Dia khusus menjaga barisan belakang laki-laki. Jika, anak-anak mulai macam-macam termasuk berteriak “amin” dengan kencang, Pak Hadrawi tidak segan-segan menghadiahi mereka dengan pukulan di bagian punggung mereka, yang terdengar sampai shaf perempuan di belakang. Sayangnya, kami sudah punya mesjid baru yang lebih dekat dari rumah, sejak lama saya tidak lagi pernah shalat di mesjid itu. Saya penasaran, apakah pak Hadrawi masih segarang dulu.  
Hingga kini, hampir semua mesjid yang kami datangi selalu tampak menyeramkan bagi anak-anak. Orang tua yang ingin ikut meramaikan mesjid mengurungkan niatnya demi tdak mampu menahan rasa tidak enak pada orang-orang yang melihat sinis saat anak-anak mereka ribut. Padahal manusiawi, jika anak-anak bermain, menangis atau berteriak-teriak di manapun. Termasuk mesjid. Anehnya, seluruh kebiasaan anak itu dianggap mengganggu, anak-anak tidak diharapkan kehadirannya di mesjid. Jadinya, mesjid mesjid kita selalu kekurangan anak muda. Mesjid dianggap hanya milik orang-orang  tua yang sudah malas berinovasi dan terkadang susah diajak berdiskusi.
Beberapa hari ini, suar begitu bersemangat menuju mesjid. Memakai baju koko, dan berulang kamimengingatkan kalau mesjid sudah bunyi,  demi untuk mengeksplorasi seiisi mesjid. Mesjid di Wesabbe ini terdiri atas dua lantai. Perempuan sebagian di lantai bawah dan jika di bawah sudah full, kami diijinkan mengisi lantai atas. Lantai atas sangat lapang, banyak anak-anak. Hari pertama Taraweh, saya kewalahan mengikuti Suar yang tidak berhenti berlarian. Bukan, saya sudah menepis rasa tidak enak akan ulah Suar. Walau panitia Ramadhan sudah mengumumkan sebelumnya kepada ibu-ibu untuk memantau anaknya agar tidak terlalu ribut. Hahaha. Pengumuman macam apa itu. Saya hanya takut, Suar terjatuh. Dia mengajak semua anak-anak yang kebanyakan perempuan untukmengejarnya. Dia tidak berhenti berteriak, menyanyi dan beraksi seolah di atas panggung.jika, anak-anak lain lelah, suar datang mengganggu mereka dengan menarik-narik mukenah mereka, sembari mendorong-dorongnya. Saya cukup lelah, belum lagi kalau dia minta ingin kencing. Saya pulang balik ke bawah dan dia seperti biasa, menikmati kelelahan saya.
Setelahnya, saya memilih datang setelah Shalat Isya.  Durasi ceramah yang hampir 20 menit menurutku adalah waktu yang lama bagi suar untuk melakukan banyak hal. Dan kemarin, hal itu berhasil. Dia masih bermain, berlari, berteriak tapi tidak seatraktif sebelumnya. Saya juga tidak lagi ingin mengancamnya, kecuali jika dia mulai menuju tangga atau menuju pembatas yang hanya berupa besi.
Saat saya tanya, Suar mengaku tidak cape’ shalat tarawih. Siip, berarti besok dan besok dan besok kita siap menuju mesjid. Mesjid untuk suar, mesjid untuk anak-anak.  

 5 Ramadhan
ibumahasuar

Komentar

Postingan Populer