Komitmen maha….

Seperti kebanyakan orang, Ramadhan juga dinanti-nanti maha. Ramadhan berarti lebaran dan liburan. Maha menyukai keduanya. Menyukai lebaran, karena ia akan berkumpul bermain dengan semua sepupunya di Bone. Menyukai liburan karena…liburan. Siapa yang tidak menyukainya? Maha sejak berumur berumur tiga tahun telah mengenal Ramadhan. Umur berikutnya mulai sering bertanya tentang puasa dan tarawih, tahun berikutnya mulai belajar bangun sahur. tahun setelahnya, maha sudah belajar puasa setengah hari.  Puasa sampai pukul 12, buka, lalu lanjut lagi sampai magrib.
Tahun ini, maha sudah berumur tujuh tahun. Sebelum Ramadhan, maha menyatakan komitmennya untuk berpuasa full tahun ini. Saya dan semua orang tentu mendukung. Seperti biasa, puasa kali ini kami jemput di Bone. Selalu tidak terasa lengkap jika kami tidak pulang ke Bone, satu atau dua hari diawal puasa.
Sahur pertama, maha bangun dengan semangat.makan dengan cukup lahap. Dan kembali mengingatkan kami akan komitmennya, untuk berpuasa full. Dia selalu bersemangat, jika kami satu persatu mulai bercerita bagaimana kami sewaktu kecil kewalahan, kelelahan, kelaparan saat puasa kali pertama. Mungkin hal itu, membuatnya penasaran dan ingin mencoba melakukannya.
Maha kami sarankan tidur setelah shalat subuh. Dia terbangun sekitar jam 9, dan mulai beraktivitas. Saya hampir setiap jam, menainya apakah maha bisa atau tidak. Terlebih setelah di pukul 12 ade’ aira angkat tangan dan berbuka duluan. Dia mulai goyah. Mulai menampakkan wajah lemas, dan lebih bayak diam. Saya menyarankan untuk menonton dan berbaring saja. Atau sekalian tidur. Tapi menurutnya, tidur membuat dia capek.
“begitu memang puasa nak. Lapar. Puasa itu dari kata shaum, maha. Artinya menahan. Jadi maha harus latihan menahan –nahan.” Kataku saat dia kembali meminta buka di pukul 2. Dia akhirnya tertidur dan terbangun dengan sangat lemas di pukul 4 menjelang setengah 5. Bapak bebi membawanya ke bajoe, ngabuburit melihat pelabuhan dan laut lepas.  Dia pulang sekitar lima belas menit sebelum buka. Itu adalah waktu-waktu krusial untuk puasa pertama. Kami semua memuji bagaimana kuatnya dia. Kami menceritakan pengalaman masing-masing yang tidak sekuat dia saat menjlani puasa pertama.
Hari pertama ini adalah hari yang menentukan perjuangan maha. Semua orang bahkan turut andil dalam usahanya. Mama menyiapkan bubur kacang ijo, menu buka puasa yang ia inginkan, aira dan Suar bersedia untuk tidak makan di depannya, membelikannya makanan yang ia inginkan. Dan menjanjikan uang Rp. 5.000,- jika ia berhasil. Iming-iming uang ini mungkin tidak begitu bagus tapi ampuh menambah semangat juangnya. Dia berhasil menuntaskan puasa pertamanya dengan badan yang sudah dingin dan gemetaran. Kami tersenyum bangga dan tidak berhenti memuji usaha besarnya.
Kami memberikan semua yang ia inginkan malam itu. Tapi maha dasarnya bukan tipe anak yang macam-macam, ia hanya menikmati apa yang sudah ia miliki saat buka. Bapak bebi memberinya uang 10.000,- dua kali lipat dari  yang dijanjikan. Maha tersenyum, tetapi meminta agar di hari kedua dia bisa puasa setengah hari saja. “ selang seling” katanya. Kami setuju.
Hari kedua, maha bangun sahur masih dengan semangat. Makan dan membisikkan kalau dia tidak bisa berpuasa full. Lagi-lagi kami mengiyakan. Ia tertidur setlah Subuh dan bangun di pagi hari. Setelah mandi, dia berkata “ ibu, kayanya saya bisa puasa full lagi.” Katanya dengan yakin. Kami tentunya mendukungnya. Hari kedua dilalui seperti skeneario di hari pertama. Dia mengakui kalau hari kedua tidak terlalu berat baginya. Saat ditanya oleh Puang Ana tentang apa yang lebih berat saat puasa, lapar atau haus. Maha menjawab
“ lebih berat itu melihat orang makan di depanta’ sama melihat makanan” begitu pengakuannya. Hari kedua berjalan mulus, karena ade Aira juga berpuasa. Dan dia mendapat 5.000 lagi magrib itu. Maha memutuskan unuk menghabiskan liburan di Bone, kami harus pulang karena bapak bebi memang seharusnya tidak libur. Maha sangsi bisa berpuasa di hari ketiga. Tentang siapa yang akan membangunkannya, apa yang akan dia makan, dan tentang uang yang akan ia terima. Tapi, saya memastikan bahwa semua bisa diatasi oleh Mama’. Dia setuju, namun beberapa jam sebelum mobil angkutan kami datang, dia berkata
“ibu, nda usahmi saya dikasi uang lagi. Puasa itu harusnya bukan karena uang, saya ikhlasmi puasa.” Katanya dengan sangat bijaksana. Saya terharu dan bangga mendengarnya. Maha selalu punya sudut pandangnya sendiri. Yang terkadang terlalu dewasa. Saya tersenyum dan berbisik..”kenapa anak kecil sudah tahu arti iklhas?” tanyaku tanpa meminta jawaban. Dia tersenyum bangga sekali.
Pagi tadi, dia mengabari akan terus berpuasa, walau subuh tadi makannya sedikit karena ngantuk. Sampai tulisan ini selesai, saya belum tahu apakah menuntaskan puasa ketiga atau tidak. Tapi kami percaya pada maha jika sudah berkomitmen, dia teguh dan gigih. Tapi, tidak perlu seserius itu nak. Santai saja.

3 Ramadhan
ibumahasuar

Komentar

Postingan Populer