Bukan hanya harinya Udi..

19 Juni 2004, pagi…
Saya bangun pagi seperti biasa. Badan  saya masih sakit pasca operasi seminggu lalu. Jika bukan karena hal yang sangat mendesak, mama tidak mungkin meninggalkan saya dan adik-adik di rumah menuju Makassar. Bapak sudah terbangun dan sejak pagi sudah siap-siap akan berangkat ke Makassar. Di usia bapak yang sudah 50an, dia masih getol bekerja siang dan malam membanting tulang. Berangkat pagi menjemput penumpang, membawanya ke Makassar lalu di sore hari biasanya menjelang Magrib pulang menuju Bone lagi, di salah satu pengangkutan tua di Bone. Megah Buana.
Udi datang dari Makassar beberapa hari lalu, dia sudah lulus SMU dan sedang menunggu hasil ujiannya. Sejak bangun, dia sudah mendapat omelan dari bapak. Bapak memang dikenal dan dimaklumi sangat temperamen. Dia selalu menyelesaikan masalah dengan marah. Dan marahnya tidak tanggung-tanggung, suaranya akan menggelegar hingga ke jalan raya. Semua yang dilakukan yang tidak sesuai inginnya akan berbuah marah. Kami anak-anaknya, sudah hapal betul akan sifat buruk bapak. Kuncinya, semua yang dikatakannya tidak perlu dimasukkan dalam hati. Seiring waktu, bertambah besar kami, anak-anak perempuannya semakin jarang dimarahi. Bapak mulai memilah-milah saat ia akan marah. Tapi tidak untuk dua anak lelakinya. Nanang dan Udi. Bapak masih selalu memarahi Nanang yang sudah hampir menyandang gelar sarjana dan Udi yang akan memasuki bangku kuliah.
Melalui jendela, kuliat Udi tersenyum senyum kecil sesekali tertawa mendengar bapak yang memarahinya karena cara mencuci motornya tidak bersih. Bapak menunjuk sana-sini mana yang masih harus dicuci, yang butuh dilap. Saya mulai menyusun rencana.

19 Juni 2004, siang….
Saya dan Ana sudah berada di salah satu toko pakaian di pusat perbelanjaan kota Tua, yang tepat berada di 0 km, kota Bone. Toko ini, lumayan baru dan menjajakan baju serta perlengkapan anak-anak pecinta alam. (sekarang toko ini tidak ada lagi) saya lupa nama tokonya. Kami memilihkan baju hitam bergambar  sesorang dengan ransel sedang melakukan perjalanan yang didominasi warna biru. Baju itu untuk Udi. Kami sepakat membelikannya hadiah untuk ulang tahunnya hari ini. Saya sedih melihat tidak satupun yang mengingat ulang tahunnya bahkan sejak pagi dia sudah mendapat omelan bapak.
Saya tepatnya memaksa Puang Beda, tante yang menjaga kami selama mama ke Makassar, mengijinkan saya keluar bersama Ana. Setelah bapak pergi tentunya. Ana yang baru tau bawa motor beberapa bulan lalu belum terlalu dipercaya apalagi untuk membonceng saya yang baru saja menjalani operasi pengangkatan tumor di payudara. Tapi saya memaksa.
Kami membeli bungkus kado dan bernecana menuju rumah Tiana untuk membungkus kadonya
***
Motor yang kami kendarai tiba-tiba oleng padahal kecepatan Ana sangat normal, Ana menghindari jalan yang diperbaiki dan menngambil jalur sedikit ke kanan, tiba-tiba sebuah motor dari depan melaju kencang.
Daaaannnnnn…. 2 detik, 5 detik, 7 detik….
Saya mencoba melepaskan diri dari himpitan motor yang menimpa tubuh saya. Saya menyentuh payudara bekas operasi dan tidak ada yang tidak normal. Saya melihat Ana sudah telungkup memeluk motor. Saya membalik badannya dan darah dimana-dimana. Dia pingsan. Tidak sadar sementara darah terus mengalir hangat di tangan saya.
Orang-orang mulai berdatangan dan tidak ada yang ingin mendekat. Saya berteriak keras meminta tolong dan menggoyang-goyang tubuh Ana yang sama sekali tidak bergerak. Orang-orang mulai menyetop mobil. Saya menyuruh mereka mengantar ke Apotek Madani, Klinik yang berada tepat di depan rumah dan memberi nomor telpon rumah agar mereka menunggu di depan. Perjalanan yang seharusnya dekat itu terasa angat lama. Saya masih memangku Ana yang pingsan, namun sesekali segukan dan mengluarkan darah dari mulutnya. Saya sama sekali tidak menangis. Saya terus berteriak “Mati adekku?? Mati adekku? Mai Adekku?” tanpa jawaban. Orang yang menemaniku di mobil Open Cup itu juga hanya biasa terdiam dengan tatapan yang nanar.
Puang Beda dan beberapa tetangga sudah berdiri di pinggir jalan saat mobil yang membawa kami menepi. Semua orang histeris demi melihat darah yang ada di baju dan tangan saya. saya berteriak bahwa saya tidak apa-apa. Ana diangkat beberapa suster lalu menuju ruang operasi.
19 Juni 2004 magrib…
Ana baru keluar dari ruang perawatan. Dia masih tidak sadarkan diri. Tapi dokter bilang, dia sudah melewati fase kritis. Tiba-tiba tangis saya meledak. Tangis itu harusnya keluar sejak siang tadi. segala rasa berkumpul lalu bermuara jadi tangis. Saya tidak berhenti menangis di samping Ana yang masih tidak sadarkan diri. Bibirnya robek terkena kaca spion dan dijahit bagian luar dalam hingga puluhan jahitan sampai ke bawah hidungnya. Darahnya tertelan dan membeku di tenggorokan. Karena itu dia tidak sadarkan diri, jalan nafasnya tersumbat. Tapi beruntung, karena penanganan dokter sangat cepat dan dia bisa selamat.

19 Juni 2016
Setiap Udi merayakan ulang tahunnya, saya pasti akan mengingat momen ini.  Ana tidak pernah bisa mengingat detil kejadiannya. Dia bahkan lupa, tempat dimana ia kecelakaan. Namun saya mengingat smua itu dengan baik sampai sekarang. saya harap itu bukan karena rasa bersalah. hahaha. Hingga sekarang luka itu membekas di wajah Ana, beberapa kali pernah diusahakan untuk dibuka tapi harus melalui operasi ulang. Saya selalu berandai-andai, andai saja hari itu tidak perlu membujuk Ana untuk keluar bersama, atau andai-andai yang lain tentunya mungkin dia tidak akan memiliki cacat di wajahnya yang harus ia bawa sampai sekarang.
19 Juni bukan hanya menjadi hari jadi Udi, tapi juga untuk Ana. Bekas luka bagi perempuan apalagi di wajah menurutku sangat signifikan.  Tapi Ana tidak pernah terpuruk, atau merasa kekurangan apapun karena itu. Dia bahkan membuktikan bahwa untuk bersinar terang bukan hanya kecantikan yang dibutuhkan seorang perempuan, tapi kecerdasan dan prestasi jauh lebih utama. Menurutku, bekas luka itu membantunya menjadi pribadi yang tangguh.  Walau jika berkecukupan kelak, bekas luka itu tetap harus tetap dihilangkan. Hehehe…
Yah…selamat ulang tahun Puang Udi. Cerita ini kembali mengingatkan kamu bahwa segala marah, segala pertengkaran, segala peristiwa, yang dilalui dalam keluarga adalah wujud dari cinta. Kami selalu mendukung segala langkah yang kamu ambil.  Jika salah, kami pasti akan marah agar kamu tidak perlu melakukan kesalahan yang sama untuk kedua  kalinya. Untuk itu, jangan pernah berputus asa akan dirimu. Kamu mungkin akan merasa lemah, akan jatuh, akan terpuruk, tapi itulah gunanya keluarga. Kamu selalu bisa pulang kapan saja untuk menemukan kekuatan baru, lalu memulai langkah-langkah baru.
Selamat ulang tahun Puang Udi...
 
14 Ramadhan
ibumahasuar  

Komentar

Postingan Populer