Menjadi anak kedua…

Waktu berencana memiliki Suar, setelah maha berumur empat tahun kala itu. Saya khususunys sering khawatir bagaiamana menempatkan anak yang lain atas anak yang lain. Bagaimana menjaga perasaan mereka untuk sama sekali tidak merasa cemburu, tidak merasa lebih atau kurang dibanding yang lain. Saya sendiri, anak ketiga dari lima bersaudara. Hingga setua ini, saya tidak pernah merasa ada anak lain yang diperlakukan lebih istimewa dibanding saya.  Yang ada, saya merasa diperlakukan lebih istimewa dibanding yang lain. Anehnya, kakak dan adik saya, juga merasakan yang sama. Sama-sama merasakan lebih diistimewakan dibanding yang lain. Saya mungkin pernah cemburu, pernah merasa tidak disayang, pernah merasa tiidak dianggap di dalam keluarga. Tapi, saya tidak betul-betul ingat hal itu.  Yang saya ingat, saya adalah yang paling istimewa, begitupun dalam ingatan ke empat saudara saya yang lain. Menurutku itu adalah keberhasilan mamak dan bapak.mereka berhasil memperlakukan masing-masing kami secara istimewa.
Lalu, sebeum lahiran suar, kami menyiapkan maha untuk mulai siap berbagi. Dia merasa cemburu, awalnya. Tapi hal itu, bisa maha lalui dengan baik. Saya menyiapkan maha, tapi mungkin tidak menyiapkan suar. Kemungkinan, itulah yang banyak dilakukan oleh orang tua saat akan memilik anak kedua. Kita menyiapkan banyak hal untuk anak pertama saat akan memiliki adik, secara psikologis.  Menyiapkannya untuk berbagi, menyiapkannya untuk menjadi tauladan, menyiapkannya untuk saling mencintai. Tapi, kita tidak berbuat sebaliknya untuk anak kedua. Padahal menjadi anak kedua, membutuhkan upaya tersendiri.
Bayangkan selama hidupmu, selalu ada kiblat atau bukan kiblat untukmu. Selalu ada orang pertama yang pernah atau belum pernah melakukan sesuatu yang kamu lakukan. Selalu ada baju , mainan, sepatu, buku, bahkan barang-barang bekas lainnya yang harus kamu terima suka atau tidak suka. Selalu ada jalan untuk kasus yang kamu hadapi, selalu ada obat untuk setiap sakit, selalu ada perbandingan untuk setiap yang kamu lakukan. Menjadi anak kedua adalah bersiap untuk tidak mendapati dirimu sebagai kejutan. Menjadi anak kedua, jika kamu tidak dibekali dengan baik maka kamu akan dikuti bayang-bayang kakakmu seumur hidup.
Dalam banyak kasus, diantara teman-temana, selalu banyak yang mengeluh saat memiliki anak keduanya. Sayapun demikian. Saya mengeluh, karena Suar begini, suar begitu. Parahnya, saya tidak berhenti membandingkan maha dengan suar. Bukan hanya saya,  semua orang melakukan hal yang sama. Jika suar begini, maha tidak begitu. Jika suar begitu, maha dulu begini. Suar tidak berhenti terkait pada maha. Walau memang begitulah seharusnya kakak dan adik. Tapi, suar adalah individu yang merdeka, mereka berhak menjadi apa saja yang seperti atau tidak seperti kakaknya.
Dan Suar tanpa banyak bekal yang berarti, dia mencoba tumbuh menjadi dirinya sendiri. Keluar dari bayang-bayang kakak maha.  Dia suka berpetualang, eksploratif atau bahkan meledak-ledak. Dia suka bertemu orang baru, mengajaknya bercakap walau tidak mengenali orang itu. Dia suka saat disebut rock n roll. Dia suka keluar rumah tanpa meminta izin saya lebih dulu diusianya yang baru tiga tahun. Suar berani menghadapi apapun di depannya. Kecuali jika harus bertemu Pak RT atau kecoa. Itu dua hal yang ia takuti. Suar tidak mengenali hak milik. Ia mngekspansi mainan yang ia lihat dan merasa berhak untuk memainkannya dan kemudian merusaknya. Walau itu bukan miliknya.
Suar tumbuh berani dengan semua yang hampir tidak dimiliki kakaknya. Ia senang bukan kepalang dan dengan bangga menunjukkan figure Batman yang ia dapatkan dari Om Andi, yang menjadi figure super hero pertama yang ia miliki atas namanya dan bukan atas pemberian kakak maha. Dia merampas Hot Wheels yang adalah hadiah ulang tahun kk maha dari Om Bucca di ulang tahun ke lima, dan sekarang menjadi mainan favorit yang Suar ingin bawa kemana saja. Suar menambahkan coretan-coretan yang cukup banyak di beberappa karya orisnil kakak maha. Walau tahu, yang ia pakai adalah baju kakak maha, dia ngotot menyatakan kalau itu bajunya sendiri.
Suar tumbuh menggemaskan dan lebih banyak mendapat teriakan. Terkadang amarah. Dia menjadi pemicu akan marah bapaknya yang sebenarnya jarang muncul. Suar bersinar terang bahkan terkadang menyilaukan kami. Hingga kami tidak berpikir dua kali untuk meredupkan cahayanya. Dan itu salah.  Maha memiliki cahayanya sendiri. Dia lebih menyejukkan, lebih tenang dan meresap dengan lembut. Biasanya kita memuji hal ini. Lalu Suar memiliki cahaya yang menyilaukan. kita memilih menghindarinya. Tidak. Keduanya adalah cahaya, cahaya maha bisa saja redup cahaya suar mungkin saja tiba-tiba mati. Sebagai orang tuanya, kami tidak boleh, diharamkan untuk melakukan hal yang membuat cahaya mereka redup. Maha butuh tenaga untuk menambah cahayanya, untuk lebih berani mengeksplorasi dunia, untuk berani terjatuh. Suar butuh banyak penyerap cahaya agar ia bisa mengerti akan jeda.
Menjadi anak pertama atau kedua dan selanjutnya, memililiki pekerjaan sendiri. Kamu tidak perlu bersusah payah untuk keluar dari dirimu demi menjadi tauladan untuk adik-adikmu, dan kamu yang lain tidak perlu membebek usaha kakak-kakakmu. Cukup dengan menikmati masa kanak-kanak dengan bahagia, rasa sayang, rasa tanggung jawab akan muncul dengan sendirinya.
Jadi, suar tetaplah seperti suar yang kamu inginkan. Ibu bapak akan lebih banyak belajar. Percayalah.

4 Ramadhan
ibumahasuar

Komentar

Postingan Populer