baju baru…


Tulisan ini tidak akan mengulas urgensi baju baru saat lebaran datang, juga tidak akan membahas butuh atau tidak butuhnya hari raya Idul Fitri dirayakan dengan baju baru. Semua itu sudah dikhutbahkan para pemuka agama jauh sebelum televisi menginvasi ruang keluarga kita. Tapi lebaran tetaplah lebaran, dia selalu berkisah tentang baju baru. Apalagi setelah memiliki anak. Kamu tidak akan rela membiarkan mereka berlari dengan kembang api atau ayam goreng di tangan mereka tanpa baju baru yang melekat. Saya yakin, kamu tidak kan tega.
Seingatku, lebaran selalu kami tunggu-tunggu. Di keluarga saya, lebaran adalah satu-satunya hari dimana kita bisa beli baju baru. Kenaikan kelas, tidaklah masuk hitungan, toh yang dibeli hanya seragam sekolah. Selebihnya, yang kami pakai kalau bukan milik kakak kami, berarti adalah barang-barang sejak dua atau tiga tahun lalu. kami, saat lebaran harus punya baju baru. Minimal 1 pasang. Sandal atau sepatu, ada gilirannya. Saya tidak tahu bagaimana mama mengatur uangnya yang hanya seiprit itu untuk ke lima anaknya. Berapa banyak yang mesti dia keluarkan untuk budget baju baru setiap lebaran tiba.
Sebagian besar kita setelah dewasa, mulai menggeser paradigma kita akan baju baru di hari raya. Saya mulai memilih dan ngotot membeli baju sendiri saat SMP kelas 3. Saya selalu kecewa dengan pilihan baju yang dibelikan mama atau Heri, kakak saya. Selalu tidak pernah betul-betul sesuai selera. Lalu kapan saya mulai merasa baju baru tidak sebegitu pentingnya untuk saya. Tentunya saat kuliah, saat saya sadar betul bahwa kita sedang memuskan hasrat kegilaan kita pada belanja. Tapi, baju baru tetap ada. Selalu ada saat lebaran datang. Jika uang yang diberikana mama, ketahuan hanya untuk beli buku, dia akan marah habis-habisan.
Kemarin, agenda persiapan lebaran mulai di list. Kemana harus pergi? Apa yang dibutuhkan? Dan berapa banyak jenisnya. Saya mulai dengan dua bocah ini, bapaknya dan terakhir saya. setelah memiliki keluarga, prioritas akan dirimu sendiri mulai berkurang. Lalu syaa bertemu dengan banyaaaak sekali manusia dengan tujuan yang sama, kami bertemu saling bersenggolan di pusat perbelanjaan yang ACnya tidak lagi dingin. Karena dipenuhi manusia.
Saat begini,  tujuan harus jelas. Waktu untuk berpikr seperti sudah habis. Apabila saat berada di counter baju anak-anak. Pemandangannya sangat crowded ditambah suara tangisan dan rengekan anak-anak di bulan puasa. Ooohh, betapa kuatnya orang tua mereka. Kami seperti sedang merangkak, menyelip, mencari jalan dalam sebuah konser music band yang digandrungi anak muda. Ini baru mengahiri minggu kedua. Seyogyanya memang adalah waktu yang tepat untuk krasak-krusuk belanja, minggu ketiga biasanya orang sudah mudik dan minggu kempat adalah persiapan lebaran.
Urusan belanja bukanlah urusan yang mudah, apalagi jika uangmu tidak berlebihan. Kita selalu mengincar barang dengan kwalitas bagus tapi dengan harga yang terjangkau. Saat seperti ini, kejelian matematis sangat dibutuhkan oleh ibu rumah tangga. Uang yang ada HARUS cukup untuk semua kebutuhan. Bapak biasanya hanya siap mendengar bagaimana cermatnya saya menggunakan uang, dan mendengar keluhan saya tentang barang-barang yang tidak bisa kami miliki karena dana yng terbatas. Dia hanya ingin tahu, bahwa kebutuhan terpenuhi dengan uang yang ia dapatkan yang  Insya Allah dari jalan halal.  
Perkara baju baru memang seharusnya tidak menjadi penting, sampai saya mengagendakannya untuk pergi sendiri tanpa gangguan dan rengekan anak kecil. Perkara baju memang seharusnya tidak perlu membebani siapapun. Tapi bukan juga tidak penting, karena  kamu tidak akan sanggup menatap mata anakmu, jika ia tahu ia tidak sedang memakai baju baru di hari lebaran. 

18 Ramadhan 2016
ibumahasuar   

Komentar

Postingan Populer