Ramadhan Tanpa Bapak Bebi
Tahun ini, tanpa mengurangi rasa bahagia akan kedatangannya, Ramadhan
datang dibarengi perdebatan klasik Pemerintah versus Muhammadiyah
tentang kedudukan hilal, metode melihat hilal, yang berakhir selalu
dengan jawaban yang sama “ikuti yang kalian yakini karena semuanya
benar”. Sepanjang ingatanku, ini kali pertama perdebatan 1 Ramadhan
berlangsung sengit, biasanya perdebatan macam itu muncul di akhir
Ramadhan. Perdebatan yang secara pribadi mengurangi “gairah” beribadah
yang seharusnya dilakukan berjamaah. Tapi sudahlah, aku bukan ingin
membahas itu.
Ini bukan kali pertama, aku dan maha ditinggal
komrad saat kami seharusnya mencicipi nikmat Ramadhan dalam kebersamaan.
Tahun lalu, komrad menghabiskan 1 minggu pertama Ramdhan di Jogja,
tahun ini aku dan dia tidak kuasa mengatur rencana bersama sebelum
proyek akhir komrad yang harusnya dan semoga terselesaikan sebelum Idul
Fitri. Aku memang sudah mempersiapkan mental tidak mengharapkan banyak
untuk hal yang satu itu, berkali-kali harapan kami jatuh tergerus
hal-hal besar dan kecil, tapi kali ini aku berserah.
Maha yang
sudah menyambut Ramdhan dengan persiapan baju koko dan peci punya versi
sendiri menjalani Ramadhan tanpa bapak bebi. Setiap terbangun di pagi
hari, dia akan bertanya
“bu..pulangmi bapak bebi?” aku akan
menjawab sediplomatis mungkin takut ia akan membunuh rindunya jika tahu
bapaknya mungkin masih berhari-hari lagi di sana.
“ sabar..nak! kalau selesai kerjanya, papa bebi pulang.”
“aduh..lamapa
bapak bebi, rinduki sedding “ ah…hampir beberapa pagi ia menanyakan hal
yang sama. Setiap bapaknya menelpon, ia juga akan menanyakan hal yang
sama dan menyatakan betapa ia merindukan bapaknya.
“bapak rinduka sama maha bu?” tanyanya satu hari
“ oh..iyya dong,”
“ih..kenapa
bapak rindu? Bapak kan di joga…kalau maha, rindu… karena maha di Bone. “
untuk kalimat ini mungkin ia berpikir, hanya dia yang ditinggal yang
akan merasakan rindu.
Ya…ramadhan mungkin terasa berbeda, apalagi
ia harus taraweh tanpa bapaknya. Ramadhan versi maha adalah ke mesjid
untuk sahalat taraweh di malam hari. aku belum berani, menjelaskan
tentang puasa. Alasannya jelas, maha yang sekarang ini merasa sudah
besar dan mampu melakukan hal-hal yang dilakukan orang besar, takutku
akan menolak makan dan niat berpuasa juga demi diakui kalau dia sudah
besar. Dan itu bahaya bukan?? Tapi, beberapa hari ini, jika bertemu
orang, maha akan biasanyai ditanyai
“maha puasa?” aku yang akan
menjawab dengan cepat dan mengatakan maha sudah puasa dan tadi bukanya
jam 10 pagi. Dia mengangguk bangga. Kemarin dia bertanya lagi
“bu, kenapa maha tidak puasa?”
“ maha puasa nak, tapi kalau pagi buka puasami.” Begitu jawabku
“
kakak resa juga? Kakak haekal juga, kakak accang juga?” tanyanya demi
meyakinkan dirinya kalau dia melakukan seperti yang dilakukan sepupuku
yang memang sudah besar. Dan aku menganngguk.
Perkara “maha sudah
besar” ini adalah perkara yang menggampangkan tapi kadang menyulitkanku.
Seperti saat aku bersamanya taraweh di mesjid, dia sama sekali tidak
akan menangis, menggangguku, atau membuat keributan di mesjid. Walau
cape dan lelah, ia selalu berusaha mengikuti gerak demi gerak kami
berjamaah. Lucunya, saat tasyahud akhir, dia pasti akan mencari
telunjukku di bawah mukenah, dan memastikan aku sudah menunjuk, lalu ia
pun melakukan hal yang sama, setelah salam, mesjid yang biasanya senyap,
akan dirusak oleh suara cemprengnya
“sudahmi bu?” dia
melakukannya setiap setelah 1 taraweh hingga ia pulang. Senyumnya akan
sumringah saat hanya kunaikkan 1 tangan berarti ia tinggal sekali
shalat.
“karena maha sudah besar” begitu katanya. Dan itu selalu berhasil, hanya saat-saat genting saja kadang itu tidak manjur
Lalu,apa
yang berbeda untukku tanpa komrad. Banyak. Tapi, yang paling jelas dan
terasa saat buka puasa. Komrad adalah seorang yang begitu memperhatikan
makanan. Ia peduli menu apa yang mama siapkan untuk buka dan sahur. Ia
tidak suka saat kami menyiapkan yang biasa-biasa saja apalagi dengan
pembenaran atas kemalasanku. Jangankan di bulan puasa, komrad sering
turun tangan untuk urusan perutnya, apalagi memang nota bene dia lebih
jago mengeksplorasi dapur dibanding aku. Komrad pernah memintaku
“komrad, nanti haruski seperti mama, yang total menyiapkan makanan sahur apalagi buka puasa.” It’s a big homework!
Hampir
seminggu Ramadhan, buka dan sahur terasa sepi. Apalagi saat buka, mama
dan bapak buka puasa di mesjid, aku dan mami ditinggal berdua. Dan kami
sama-sama akan menyantap apapun yang disuguhkan di atas meja. Eh tapi
bukan berarti komrad pemilih dalam makanan, ia makan apa saja…hahaha!
Ah..jadi rindu kamu!!
Kebiasaan komrad ini diamini oleh mama yang
memang setiap Ramadhan tidak berhenti menyuguhkan racikan masakannya
untuk kami. Bahkan di saat kami hanya berempat seperti ini,
walhasil..kulkas dipenuhi makanan yang bertumpuk. Dibagi sama tetangga
juga, masih saja bersisa. Terlalu banyak makanan, dan terlalu sedikit
waktu untuk makan, begitu kataku saat mama selalu mengeluh jika banyak
kue yang tersisa. Mama dan aku selalu berceletuk
“kalau bobhy ada, ai..habis semua ini..” hahahah. Artinya????????
Selebihnya….ini
Ramadhan yang berbeda, tapi aku lebih berlapang dada menerima semua
kemungkinan. Baik dan buruk. Walau aku tidak berhenti berusaha. Dan aku
berbahagia, Sang Maha memberikan kami kesempatan bertemu Ramadhan
kembali dan dengan ceritanyayang setiap tahun selalu berbeda. Dan
Ramadhan tidak akan berlalu begitu saja, ia akan menyisakan nilai-nilai
yang selalu bisa kami pelajari lalu kami bagi. Thanks God.
6 Ramadhan…(versi pemerintah)
July 26, 2012
Komentar
Posting Komentar