Ode
Saya betul-betul tak ingat dimana
pertama kali mengenalnya. Yang paling jelas kuingat kalau ia juga menjadi salah
satu kader di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Komisariat Unhas
yang dulu juga kugeluti, dan kami benar-benar akrab ketika hampir tiap hari
saya pasti “berkunjung” ke fakultas tempat dimana ia berkuliah bersama beberapa
teman akrabku yang lain, Fakultas Kelautan Unhas. Bersamanya dan beberapa teman
lain di fakultas itu, kami akhirnya membentuk sebuah komune bernama Pijar
Imaji.
Ia bertubuh tak terlalu tinggi
namun lumayan berbentuk, maklum selain menggeluti aktivitas menyelam, ia juga
seorang pesepak bola handal. Sempat sesekali saya menyaksikannya bertanding di
lapangan pintu I Unhas, dan betul saja kemampuannya menggocek bola dipadu
dengan kecepatannya berlari membuatnya menjadi salah satu striker handal di
Unhas. Kalau tak salah, karena kemampuannya itu ia diajak bergabung dengan tim
sepak bola Unhas.
Tapi kecakapannya ini bertolak
belakang dengan performanya sehari-hari. Seingatku ia tak terlalu sering mengumbar
kata-kata dan lebih sering mengumbar senyum. Saat berbicara dengan siapa saja,
ia seringkali terlihat grogi apalagi dengan lawan jenis. Dan itu seringkali
membuat kami tertawa. Meski demikian, bukan berarti ia bukan seorang yang bisa
serius. Saat masih aktif berorganisasi di LMND dulu dan kemudian bersama aktif
di Pijar Imaji, kami sering terlibat dalam pembicaraan-pembicaraan yang serius,
membahas tentang kampus yang saat itu masih begitu hangat dengan isu swastanisasi,
dan tentu tentang negeri yang carut marut ini dan bertemu bersama di aksi-aksi
massa yang tak jarang berujung adegan kekerasan negara terhadap kami yang
menyebut “cinta bangsa” dengan cara yang berbeda. Ia seorang organiser ulung
yang tak suka berkoar-koar, ia lebih memilih banyak bekerja.
Saat Pijar Imaji masih aktif, ia
selalu jadi sosok yang kami rindukan karena ia tak terlalu intens bertemu
dengan yang lain. Tapi kami tau betul kalau ia memiliki aktivitas lain yang tak
kalah penting. Dan kami memakluminya. Dan saat ia hadir, kami pasti akan
menggodanya dan ia hanya membalas dengan sepatah dua patah kata sambil
mengumbar senyum yang tersipu dan menghangatkan. Dan setelah itu kerinduan kami
kembali ke peraduannya.
Pijar Imaji adalah fase pentingku
bersamanya dan bersama teman yang lainnya. Kami hanya bersepuluh. Hanya saya bersama
Ibunya maha yang bukan mahasiswa Kelautan. Setelah sebelumnya begitu giat
nongkrong dan bernyanyi di pinggir danau Unhas, kami akhirnya membentuk
komunitas Pijar Imaji. Kami memilih seni dan budaya sebagai concern, atau saat itu kami menyebutnya
sebagai alat perlawanan. Selebihnya seperti komunitas yang rada-rada politis di
kampus, kami berdiskusi tentang filsafat, ekonomi politik, dan lainnya. Karena
pilihan konsentrasi kami adalah seni dan budaya itulah yang membuat kami
beberapa kali menggelar pementasan-pementasan kecil. Selain teater kecil yang
kami garap sendiri, kami juga sering menggelar pementasan happening art di
berbagai aksi demonstrasi.
Seingatku saat happening art itu,
sahabatku ini kalau tak memilih menabuh jimbe, ia juga sering menjadi gitaris
dadakan. Dan untuk aksi teatrikal, meski ia agak susah mengatur ekspresi karena
perawakannya yang selalu grogi dan malu-malu tapi beberapa kali ia ikut pementasan
teater kecil kami dengan berbagai peran. Di malam 21 Mei kalau tak salah tahun
2004 misalnya, saat kami mementaskan sebuah karya untuk memperingati hari
jatuhnya Soeharto di Universitas Negeri Makassar, ia juga menjadi aktor yang
menggunakan topeng dan mendeklamasikan beberapa potong puisi hasil saduran
kami. Pada acara yang digelar Unhas untuk Gempa Jogja 2006, kami juga
mementaskan sebuah naskah dan saat itu ia menjadi salah satu aktor yang
memerankan orang yang mnggotong korban bencana yang diperankan oleh Ibunya
maha.
Dan yang paling tak terlupa tentu
saat kami menggelar Festival Anti Globalisasi di gedung kesenian Societeit
setelah sebelumnya selama berminggu-minggu kami menggelar persiapan baik di
bangunan dekat danau Unhas (yang kini menjadi Gedung Ipteks) maupun di kosan
Ibunya maha di sekitaran Kampus Cokro. Ia
menjadi salah satu dari kami yang paling ulet mengerjakan pembuatan properti hajatan
kami itu. Ia ulet, tak senang menunda-nunda pekerjaan dan tak suka terlambat. Dan
yang terpenting, semuanya ia lakukan dengan senyum dan dedikasi yang tinggi.
Terakhir saya bertemu dengannya
entah beberapa tahun lalu di sekitaran pondokan Unhas. Ia bercerita tentang
aktivitasnya yang sering ke luar provinsi khususnya sebelah timur Indonesia. Setelah
kuliah setauku ia memang concern di
lembaga yang berurusan dengan masyarakat pesisir dan berbagai hal yang berhubungan
dengan persoalan kelautan, paling tidak seperti itu yang kuamati dari
status-statusnya di facebook. Di percakapan kami yang tak lama itu, ia masih
tetap bersemangat bercerita tentang mimpi-mimpinya terhadap perbaikan kondisi masyarakat
pesisir dan mimpi-mimpi besarnya yang lain, dan yang tak berubah ia masih
selalu grogi dan terlihat malu-malu saat bercerita.
Oh iya, sebelumnya ia bersama
sahabat di Pijar Imaji (Ladung, Ace, Arman) pernah ke rumah di bilangan Asal
Mula tak lama setelah saya dan Ibunya Mahatma menikah. Seperti ketika bertemu
sebelum-sebelumnya, kami bergosip, “macalla” dan menggodai kawan kami yang
pemalu ini. dan moment itu sempat kami abadikan dengan berpose bersama didepan
laptopku yang kini tinggal hard disk nya yang tersisa. Ah, saya rindu bersama
mereka lagi.
………………..
Sore kemarin, saat sedang berada
di kerumunan orang di pasar Beringharjo Jogja ponselku berdering, kulihat
dilayar ponsel tertera nama Ladung Pijar Imaji, perasaanku tiba-tiba gusar.
Kucoba menenangkan diri dan
bertanya “kenapa?”
“Ode nda ada mi Bob,” jawab
Ladung dengan nada pelan.
Sesaat tiba-tiba kelebatan memori
bersama teman, sahabat dan saudara yang kami panggil dengan nama “Ode” itu
muncul satu persatu dihadapanku menggantikan wajah-wajah yang kupandangi di
kerumunan. Tiba-tiba senyumnya nampak jelas mengumbar malu dihadapanku. Sore kemarin
ia menghadap Sang Maha setelah dua hari berjuang dari koma.
Selamat jalan saudaraku, disana
pasti ada pijar yang lebih terang menemanimu. Kami merindukanmu!
Kami hanya punya
doa untukmu…
Bantaran X-Code, Jogja
7 Juli ‘12
Selamat jalan Komrad Ode, damai sejahtera bersamamu.
BalasHapusBerulang kali berusaha tenang utk menyelesaikan bacaan ini, tapi air mata terus mengusiknya dengan berderai
BalasHapusDengan penuh kerendahan hati, saya adik Almarhum Kak Iwan, mewakili keluarga besar, memohonkaan maaf, jikalau semasa hidup, Almarhum Kak Iwan pernah berbuat salah kepada teman semua, baik yang disengaja, maupun tidak.
Kita semua merasa kehilangan, saya pun sebagai adiknya kehilangan sosok pencerah dan motivator selama ini, Selamat jalan Kak Iwan.. Kami semua mencintaimu.. tapi Allah SWT lebih mencintaimu.. Selamat beristirahat Kakakku..