...maha dan televisi..

Aku sudah pernah cerita tentang maha dan kotak 24 inci bernama televisi, seingatku. Aku cerita bagaimana ia senang melototkan matanya di depan benda itu, dan tidak bergerak sama sekali. Sayangnya, aku betul-betul tidak menyukai kebiasaannya itu. Dan sayangnya lagi, ketidaksetujuanku atas kegemarannya tidak begitu ia gubris. Lalu, apa yang harus kulakukan???
Kesukaannya menonton tivi hingga hari ini tidak berkurang, banyak hal positif yang berpengaruh terhadap perkembangannya dan tidak kupungkiri ia dapat dari televisi. Utamanya perkembangan kemampuan memorinya menghapalkan sesuatu. Ia sudah mulai mengenal banyak tampang-tampang yang sering muncul di televisi. ia tahu judul dan jam tayang film kartun kesukaannya, lagu jangan dikira, ia sudah hapal banyak, walaupun lagunya kadang menurutku tidak masuk akal dan seharusnya tidak perlu ia dengar. Untuk yang satu ini, kadang saya keterlaluan.
Perkembangan positif ini harusnya bisa kujadikan "kali nol" terhadap kemungkinan segala hal buruk yang ia dapat dan hingga hari ini tidak terlalu signifikan. Dan itu sering jadi masalah sendiri, soalnya aku tahu betul efek negatif di kemudian hari lebih besar. Walau aku mampu mengimbangi dengan berusaha selalu menemaninya saat menonton. Aku mencoba meluangkan banyak waktu untuk menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh ia tiru, apa yang seharusya tidak ia lihat dari adegan per adegan yang muncul dan ia pilah pilih di kepalanya. Membuang televisi, menurutku bukan hal yang bijak untuk dilakukan. Dalam beberapa hal aku membutuhkannya. Pilihannya hanya mencoba bersikap tegas untuk waktu menonton. 
Siklus nonton maha, kurang lebih seperti ini. Jika bangun lebih pagi, maha akan kusodori film kartun Handy Manny, seorang ahli memperbaiki yang bekerja sama dengan semua perkakasnya untuk memperbaiki setiap kerusakan yang terjadi di kota itu. Jika bangunnya agak siang, maha lebih kubiarkan menonton Spongebob daripada si Oscar, seekor kadal di gurun pasir yang kerjanya bertengkar dengan beberapa hewan lain utuk mendapatkan makanan. Nah saat pagi begitu, aku memanfaatkan waktu nontonnya dengan memberinya sarapan. Itu mujarab dan ia pasti makan dengan lahap ditemani cerita tentang tokoh-tokoh kartun kesayangannya yang sedang ia tonton. Setelah sarapannya habis, disitulah aksi dimulai. Jika tidak sedang melakukan banyak hal, aku akan mencari kegiatan untuknya, menyuruhnya bersepeda, menulis, menggambar, melipat, menggunting, apa saa yang bisa mengusirnya jauh dari depan telivisi. Dan itu bisa berhasil, tapi saat aku harus melakukan sesuatu di pagi hari, tentunya akan jadi masalah besar. Aku hanya akan meyuruhnya pergi dari depan tivi, tanpa bisa menemaninya bermain atau beraktivitas. Dan itu tidak akan lama, ia akan lari dan menyalakan televisi kembali setelah bosan bermain sendiri. Jika kerjaanku tidak bisa ditunda, aku sering mencabut kabel televisi yang sayangnya beberapa hari ini bahkan telah ia pahami cara kerjanya. Jalan terakhir, aku sering menurunkan sekring lampu dan mengatakan kalau “listrik mati”. Saat itu, ia akan mencari hal lain untuk membuatnya sibuk, bermain dengan mobil-mobilannya atau dengan teman-teman imajinernya.
Menemaninya tidur siang, aku menyukai pilihannya. Jelang Siang, Si Bolang, laptop Si Unyil. Dan aku menonton bersamanya tentunya, dan diselingi dengan berceloteh bersama, bermimpi pergi menjelajah suatu saat.  Jika malam datang, ini dia yang tidak bisa kutolak, kecuali, jika harus mendengar tangisan dan bertemu degan mukanya yang marah. Makanya, aku mentaktisinya dengan membiarkanya bermain seharian tanpa tidur siang. Hasilnya, matanya tidak akan bertahan sampai pukul 8 malam, dimana tontonan untuknya memang telah berakhir, karena  begadang untuknya berarti menonton sepanjang malam.
Pagi ini, karena tante Omi tidak datang, aku harus membereskan rumah sendiri. Tidak ada waktu bermain bersamanya untuk sementara, dan pintaku untuk berhenti menonton tidak ia gubris. Aku mematikan sekring lamu, dan ia lari
“Bu...mati lampu” begitu katanya. Aku mengiyakan dan melanjutkan kerjaan rumahku. Ia bermain bersama aira dan segudang mainannya yang telah rusak. Setengah jam lalu, ia mulai bosan dan meyalakan tivi. Tivi tidak menyala. Dari bawah kuteriakkan kalau lampu masih mati, pastinya ia tidak melihat kalau kabel tivi sudah kucabut. Ia datang kepadaku dan memelas, tapi tidak berhasil. ia tidak bisa berbuat apa-apa.  Tiba-tiba, ia menuju kamar dede Aira, menuju saklar lampu dan menekanya.
“ih...bu menyalami lampuuuuuu” begitu teriaknya dan aku tersenyum kalah sambil mengakui kalau anakku semakin pintar saja. Ia datang dengan bangga sembari memberitahu kalau listrik sudah menyala, artinya ia bisa menonton. Aku ngeles dan berkata
“ohh..kaya’nya kabel tivi nda terpasang. Aduh...ibu...” kataku padanya. Dia tersenyum dan menyalahkanku karena lupa. Dan aku menyalakan tivi lagi untuknya, dan kuhadiahkan karena telah melakukan hal cerdas pagi ini.
Sementara tulisan ini dibuat, dia sedang menikmati susu di depan tivi. Aku sadar, segala hal baik dan buruk akan ia hadapi kelak, mungkin tanpaku, tanpa bapaknya. Ia lelaki, dan kelak akan sendiri. Untuk itu, aku percaya saat-saat ini adalah saat penting bagiku, dan masa keemasan untuknya belajar untuk menerima dua hal tersebut dalam hidupnya. Aku berhak dan wajib memberikannya alternatif atas banyak pilihan yang akan ia lihat kelak, karena aku bertanggung jawab atas hidupnya puluhan tahun ke depan. Aku tahu ini pekerjaan berat, tapi aku mencintai pekerjaan ini...

Ibu Nhytha
9 juli 2012
# menontonmahaairaberaksi

Komentar

Postingan Populer