Bertemu kawan lama #part3

Sore itu, tidak begitu panas dinatara semua keinginan warga kota kecil ini menikmati derap langkah yang menyemarakkan 17 Agustus yang berberapa tahun ini diperingati sebelun sebelumnya. Gerak jalan. aku dan maha turut berbondong-bondong menonton gerak jalan sore itu. Dan aku bertemu dengannya.
Namanya, Rahmiati. Aku memanggilnya Rahmi, kaka dan keluarganya memanggilnya Emi. Aku mengingat berkenalan dengannya saat aku baru saja mendeklamasikan diri mampu mengikat sepatu dengan benar. Kelas 1 SD. Aku ingat betul, tubuhnya kurus putih dengan rambut lurus dan tipis.
Aku tiba-tiba saja dalam memoriku yang tidak lagi penuh, mengingat aku sudah akrab dengannya. Saban pagi, setelah aku sampai di sekolah sebelum jam 7, aku selalu bertandang ke rumahnya, menungguinya lalu sama-sama ke sekolah. Bahkan saat rumahnya, masih lebih jauh dari sekolah.
Jika aku ke sekolah dengan naik sepeda, aku akan singgah menjemputnya. Dan dia selalu kubonceng. Tubuhnya yang selalu kelihatan lemas, saat itu belum mampu mengayuh sepeda sendiri. Rumahnya adalah rumah keduaku saat itu. Sejak kelas 6 SD, aku dan teman-teman sering belajar bersama. Selain karena rumahnya sangat besar dan nyaman, dia salah satu teman kami yang cukup diproteksi untuk sering keluar mengingat tubuhnya yang sakit-sakitan.
Tapi walau dibalut dengan tubuh kurus dan sering sakit, rahmi adalah temanku yang ceria, dan bersemangat. Saat SMP, walau tidak satu kelas, hubunganku dengan dia semakin dekat. Aku sering menginap di rumahnya, karena dulu aku tidak begitu menemukan “kenyamanan” versi anak muda di rumahku. Dalam seminggu, aku pasti menginap di sana. banyak hal yang kami lakukan bersama, belajar,  pacaran, cinta-cinta monyet, dan pastinya menghabiskan malam kami dengan curhat tentang idaman hati. Hahahaha…
Dia adalah tipe perempuan setia, bahkan sejak cinta belum kami definisikan dengan benar. Dia bahkan bertahan dengan 1 orang pujaan hatinya, yang ia telpon setiap malam, tanpa bicara, hanya untuk mendengar suara Sang pujaan hati. Laki-laki yang jika tak sempat ia lihat dalam tiga hari, akan membuatnya kelimpungan dan membuat kami harus turun tangan mengantarnya melewati rumah sang pujaan. Dia bahagia walau hanya dengan melihat rumahnya. Dan tidak tanggung-tanggung, ini dilakukannya selama hampir enam tahun. Dan aku menjadi saksi atas semua itu, kami melewati banyak tangis dan tawa yang pada akhirnya kami tertawai beberapa tahun ke depan. Saat jarak mulai memishkan kami. Aku ke Makassar dan dia tetap di Bone, pertimbangannya satu, ibunya tidak ingin jauh darinya. Hubungan kami masih sama dekatnya, setiap pulang liburan, aku selalu menginap di rumahnya, setiap ada masalah, kami tidak berhenti berbagi. Hingga kami masing-masing telah berkeluarga. Dia salah satu teman terbaik yang pernah kukenal.
Sore itu, aku bertemu dengannya dalam wujud yang berbeda, dalam wujud seorang anak laki-laki umur 2 tahun. Ia adalah versi ibunya dengan tubuh gemuk dan kulit hitam. Matanya, mulutnya, tulang pipinya, wajahnya, semua adalah replika ibunya. Tiba-tiba aku melihatnya tersenyum, menyapaku. Begitu dekat namun tak bisa terjangkau. Aku tahu, ia telah bahagia di sana, di tempat di mana kita semua akan berakhir.
…………….
Sebulan sebelum ramadhan dua tahun lalu, Rahmi berpulang. Perjuangannya melahirkan putra pertamanya, berujung kematian. Proses persalinanya lancar, anaknya lahir normal dan sehat. Namun ternyata dia memiliki riwayat penyakit jantung yang tidak terdeteksi. Pasca melahirkan, ia berjuang bertahan. Tapi, umur telah dituliskan. Tak seorang pun yang mampu mengelak, saat waktu telah berakhir. Ia meninggalkan anaknya yang belum sempat mengenalnya.
Pertemuanku dengannya setelah ia meninggal, terbilang sering. Dalam mimpi, ia sering menemuiku. Tapi sore itu, dia seolah dekat lewat wajah anaknya, Qais, yang kali pertama kujumpai. Aku merindukannya, merindukan semua masa yang pernah kulewati bersamanya.  

 30 Juli 2012
#Fun English Speaking

Komentar

Postingan Populer