Surat (Terbuka) Untuk Sang Ketua

Salam Hormat Pak Ketua,

Bagaimana kabarmu pagi ini? Kuharap dirimu tidak sedang baik-baik saja. Kuharap dirimu kini sedang dirundung gundah setelah selebrasi semalam. Dan membuatmu harus segera memutar otak untuk mengerjakan banyak hal, menyusun asa yang kini terserak dimana-mana.

Atau mungkin pertanyaan ini belum akan segera terjawab karena kini dirimu sama seperti ratusan juta orang lainnya di negeri ini yang masih terlilit rasa bingung dan marah melihat punggawa-punggawa negeri ini yang membiarkan kepala manusia dibiarkan lepas dari tubuhnya dengan begitu mudah. Tak ada pembelaan yang sepatutnya. Diplomasi dan negosiasi tiba-tiba hanya menjadi teks kaku semata. Tak ada keberanian. Memuakkan!


Tapi paling tidak ini semakin membenarkan pandanganku sejak dulu kalau diplomasi dan negosiasi bukan hanya sekedar urusan table manner dan tetekbengek keprotokoleran lainnya, yang sayang masih berusaha kita geluti demi cita-cita menjadi anak HI seutuhnya. Hahaha… Bagiku diplomasi adalah urusan ratusan bahkan jutaan manusia, sekali lagi manusia, dibalik nota kesepahaman atau apa pun yang dihasilkan dari negosiasi, diplomasi atau apa pun namanya itu.

Ah sudahlah, toh pertanyaan ini tak perlu kamu jawab sekarang. Tapi tak akan bosan kutanyakan kembali!

Suratku ini akan kumulai dengan kisahku di pagi itu…

Pagi itu tidak seperti biasanya saya harus ke kampus pagi-pagi. Dan yang agak kurang biasa selanjutnya karena sepagi itu saya sudah berada di depan sebuah pintu ruangan yang lumayan besar untuk sebuah sekretariat himpunan jurusan dan siap membukanya. Sendirian dan tak seorang pun teman disana saat itu. Ruangan itu tempatnya dulu agak tersembunyi tapi selalu ramai dan ia memiliki perpustakaan mini yang lumayan banyak memiliki koleksi buku. Setauku tak ada himpunan lain yang memiliki koleksi sebanyak itu dan memiliki manajemen yang cukup rapi. Senior-senior yang sedang mengerjakan skripsi begitu terbantu dengan koleksi buku-buku yang sudah dikumpulkan beberapa tahun sebelum kuterdaftar menjadi anggota di awal tahun millennium.

Kisah itu kualami di salah satu pagi pada awal minggu di pertengahan bulan tahun 2001. Sehari setelah kutertegun tak percaya karena telah terpilih menjadi ketua melalui mekanisme demokrasi “raba-raba”.
Saya tak begitu dikenal oleh banyak teman-teman di seputaran himpunan baik yang seangkatan dibawahku maupun senior-senior yang saat itu masih terhitung banyak sering nongkrong di kampus. Dan akan sangat mudah menjumpai mereka di pelataran baruga.

Saya juga bukan salah satu diantara teman-teman seangkatan yang begitu aktif berhimpunan sejak dinyatakan telah melewati masa kaderisasi yang meletihkan itu. Tapi saat itu saya termasuk diantara golongan yang jarang atau tepatnya begitu malas menggeluti kuliah-kuliah yang menjemukan itu. Saat teman-teman menikmati IPK rata-rata diatas tiga koma nol di awal semester, saya hanya bisa puas berada tepat dibawah standar itu, dua koma sembilan. Oh iya, karena kemalasanku itu saya dijuluki The Lost Boy oleh teman-teman yang selalu harus menyapa seolah lama tak bertemu saat akhirnya kuhadir di suatu siang untuk sekedar duduk malas di ruangan yang panas dan berisik karena celotehan mahasiswa-mahasiswa dari tiga jurusan menyaingi suara dosen yang entah sedang melakukan apa di depan sana.
Kesimpulannya, saya sama sekali sangat tidak memenuhi standar manapun untuk dipilih menjadi ketua organisasi yang kini lebih senang kusebut “keluarga”. Dan bahkan untuk menjadi bakal calon pun akhirnya kuiyakan karena “jebakan” dramatis yang dibuat teman-teman angkatanku di Malino. Tak bisa kulupakan malam itu, saat semua mata tertuju padaku dan berharap saya mau menjadi calon ketua. Saya selalu dibuat tertawa kalau mengingat malam-malam itu, saat seharusnya kami sudah menyerahkan nama-nama calon sesuai jadwal yang dibuat oleh steering mubes saat itu, dan teman-teman seangkatan malah memutuskan ke Malino dan menyiapkan “jebakan” itu. Dan sampai kini tak juga kutau alasan teman-teman membuat “jebakan” yang belakangan kusadari menjadi awal “kutukan” indah itu.

Di pagi yang tak biasa itu, akhirnya “pintu rumah keluarga” itu kubuka. Dan kemudian deretan panjang kisah dan sejarah tertoreh. Tak sadar aku sudah berada di penghujung waktu dan harus mempertanggungjawabkan banyak hal. Termasuk kealpaanku atas harapan banyak orang dan membuatku menyesal seumur hidup. Menyesal karena telah melewatkan waktu dan tak bisa berbuat banyak.
………………………

Pagi ini mungkin akan menjadi pagi yang berbeda saat dirimu sedang berada di depan “pintu rumah keluarga” kita itu. Kelebatan harapan yang seminggu lebih memenuhi ruangan musyawarah besar yang sayangnya tidak beradu dengan “asap rokok keseriusan” mungkin langsung memenuhi kepalamu, dan berharap segera berbuat sesuatu untuk mewujudkannya. Apalagi mendapati ruangan yang tak seberapa besar itu dalam kondisi “kotor” seolah lama tak “terjamah” oleh “sapu”.

Tapi kuyakin dirimu mampu mengatasi itu semua dan segera meyakinkan diri tidak sedang mengalami disorientasi yang sesaat bisa membuatmu tak bisa berpikir dan berbuat apa-apa. Toh, kamu punya kita semua yang selalu siap disibukkan untuk urusan keluarga kita itu.

Bagiku, tak perlu tergesa-gesa memulai semua ini. Mulailah dengan berpikir tidak hendak melakukan kerja-kerja itu sendiri. Pastikan bahwa begitu banyak teman-teman yang se visi dan sebenarnya ingin berbuat banyak untuk keluarga kita ini. Ajak mereka duduk dan berdiskusi bersama untuk melihat lebih jauh mengenai berbagai hal yang bisa kita lakukan esok. Tapi jangan terlalu lama berdiskusi karena waktu selalu enggan menunggu. Lakukanlah yang paling bisa dilakukan, meski kecil dan sering dianggap sepele. Setelah itu kembalilah berdiskusi tentang apa-apa yang telah dilakukan. Hanya sesederhana itu!

Selanjutnya, jangan sering membiasakan diri memblejeti dan menisbahkan diri sendiri (kepengurusan) sebagai yang selalu salah saat sebuah rencana tak berjalan begitu baik. Untuk urusan ini, biasakanlah diri melihat beyond dari kegagalan-kegagalan itu sehingga kita bisa mendapati dan memahami konteksnya. Untuk masalah kaderisasi misalnya, mulailah dengan memahami konteks yang melingkupinya. Sadarlah bahwa teman-teman sedang berhadapan dengan banyak hal yang mungkin begitu berpengaruh sehingga kaderisasi, yang sayangnya masih sering berpola usang, beberapa tahun belakangan selalu dianggap tidak berjalan baik. Dan sayangnya lagi kita lebih sering mengkritisi hal-hal teknis dan subjektif yang sering dianggap sebagai masalah pokok. Jadilah kita berdebat lama misalnya tentang mekanisme pendampingan yang tidak efektif, maba nya yang manja, pengurus yang lebih meilih kuliah dan bla bla lainnya.

Sebaiknya kita mulai menyadari misalnya bahwa kita sedang berhadapan dengan pragmatisme dunia pendidikan yang mewujud mungkin dalam aturan atau bahkan model pengajaran di bangku kuliah yang langsung atau tidak langsung berimplikasi pada rendahnya minat berlembaga. Sederhananya, ngapain berhimpunan kalo nda membantu dapat nilai A. Dan kondisi lembaga mahasiswa (intra maupun ekstra) yang mati takut hidup pun enggan seolah semakin membenarkan anggapan-anggapan tersebut.

Selanjutnya, meski sering mendiskusikannya tapi sering tidak menyadari bahwa kapitalisme yang mewujud dalam pragmatisme, individualisme maupun hedonisme telah mendapatkan bentuk nyatanya di kampus hari-hari belakangan ini bahkan semakin akut. Hey, ini tidak terjadi secara alamiah. Ini bagian dari strategi dari upgrading rantai nilai yang lebih global sehingga logika “beli dan beli” menjadi seolah sabda yang pantas diamini. Akibatnya organisasi dan komunalisme dianggap kolot dan hanya menjadi cita-cita para mahasiswa yang masih mengagumi Che Guevara atau jadi media para senior untuk merebut hati si manis A di angkatan baru dengan retorika busuk khas senior. Hahaha…

Lalu kita yang merasa paling organisatoris mulai menghakimi teman-teman yang tak mau duduk berdiskusi dan lebih memilih ke mall. Tak sadar kita sedang mempraktekkan satu bentuk kesalahan berpikir a la Kang Jalal, Blaming The Victim. Kita sibuk menyalahkan mereka yang tak mau berhimpunan dan lebih memilih (lebih sering tidak sadar) menjadi korban kapitalisasi rasa yang mendapatkan kepuasan sesaat setelah membeli, bukan pada saat memakainya. Selanjutnya, mulailah batasan-batasan itu kita buat seolah tak mungkin lagi ada potensi “belajar” dari mereka. Benarkah? Saya tak yakin.

Ini hanya sekelumit hal yang sebenarnya sedang dihadapi namun sering tak kita sadari atau kita lebih memilih mengacuhkannya. Padahal membaca semua itu menjadi penting dan tetap relevan apalagi dalam kerangka menentukan style berhimpunan seperti apa yang akan kita pakai.

Dan bagi saya, dari semua itu yang paling utama perlu disadari bahwa berhimpunan adalah proses internalisasi nilai. Atau lebih tepatnya sebagai proses aktualisasi potensi nilai etis yang kita semua miliki. Berhimpunan bukan sekedar berharap mendapatkan skill ini itu, bisa mendapatkan pengetahuan manajerial, atau berharap dapat link sana sini untuk karir masa depan. Sama sekali bukan. Berhimpunan bagi saya adalah proses yang kelak akan selalu menjadi pengingat bagi kita bahwa saat menjadi pengambil kebijakan maka seharusnya lah memikirkan yang “kecil”, saat kerja di bank seharusnya jangan sampai menilap uang nasabah, kalau kerja di NGO maka janganlah menjadikan proyek pemberdayaan masyarakat jadi sumber finansialisasi pribadi dan keluarga, kalau jadi dosen janganlah lebih sering memberi tugas dari pada mengeksplorasi tema kuliah dan seterusnya.

Hasil berhimpunan atau kaderisasi tentu tidak bisa kita liat esok pagi saat matahari menelisik masuk tanpa permisi ke dalam kamar kosan tapi mungkin sepuluh tahun lagi saat matahari menerobos masuk di lantai 35 tempat kamu sedang memimpin rapat menentukan nasib republik antah berantah ini. Uh…

Hey, bergembiralah saat berhimpunan. Eksplorasilah “selera” berhimpunan teman-teman dan jangan bosan bertanya dan mencari jawaban di tempat-tempat lain. Yakinkan diri bahwa jadi anak HI itu selalu keren dalam makna yang pragmatis dan substantive. Hahaha…

Pak Ketua, tak perlu kau ambil hati surat ini. Kawanmu ini memang selalu sok tua dan ingin terus bercerita dan berbagi. Dan sebenarnya juga ingin berbagi “kutukan”….hahaha……..

Terakhir, kudoakan dirimu sehat selalu. Amin.


21 Juni 2011
Teras Rumah Bajoe
Saat ku begitu dekat dengan mereka berdua.

Komentar

Postingan Populer