...Di Makassar kutitip sebuah misteri....

Aku pernah bilang mempunyai seorang anak seperti kau punya buku tebal kosong yang hanya bisa terbaca saat kau telah melewati halamannya. Dia tidak bisa dibaca secara teratur, kadang kabur, tidak jelas, kadang tidak tebaca sama sekali. Penuh teka-teki dan kebingungan dan kadang, jawabannya ada di sudut, kadang ia tepat depan matamu. Dia seperti misteri yang hanya terpecahkan saat telah vis a vis dengannya.
Saat tidak enak badan, kalian akan menjumpai jagoanku mahatma mungkin dengan kerutan kening. Sepanjang hari, ia akan melewatkan harinya dengan menangis. Meminta sesuatu yang sangat sulit untuk diwujudkan. Misalnya, ia ingin es krim saat batuknya begitu parah dan kadang membuatnya tidak bisa tidur. Pernah juga ia ingin mandi di sore hari dan berendam di baskom padahal saat itu ia sedang demam. Kadang ia tidak ingin melepaskan bajunya padahal penuh dengan kotoran, karena seharian telah bermain dengan debu. Dan, jika semua permintaannya ini tidak dipenuhi maka jadilah harinya akan diisi dengan tangisan dan rengekan sepanjang hari. Walau menurutku, itu adalah cara yang dipilihnya untuk menerjemahkan rasa tidak enak di badannya. Tapi, sayangnya kesadaranku akan hal itu bisa saja tereduksi oleh emosi yang berlebihan menghadapi sikapnya.
Yah... cerita ini masih tentang maha kami....
 Perjalanan Bone Makassar seperti biasa adalah perjalanan panjang yang melelahkan. Membawa anak kemana-mana pada hakekatnya memang merepotkan, tapi menurutku, perjalananku mungkin tidak akan seberwarna ketika tidak kuajak maha bersamaku. Tapi, ceritanya lain, kalau ia sedang sakit seperti sekarang. Keputusan ke Makassar, memang tidak terlalu bulat, karena maha memang sedang batuk. Tapi, daripada ditinggal sendiri di rumah,aku  juga ikut rombongan keluarga kecil ini, lagian rinduku memang sudah lumayan tebal dengan kota ini.
Spanjang perjalanan, maha terlelap di pangkuanku, dan matanya telah cerah secerah mentari saat kami tiba di Makassar, jam 10.30 malam. Maka, jadilah! maha menghabiskan malamnya dengan para puang-puangnya yang cantik dan imut itu. maha mengeksplorasi dirinya dan tidak tanggung-tanggung hingga pukul 2 subuh. Keesokan harinya, maha terbangun dengan niatan besar ingin meggeledah kota makassar. Jalan-jalan seharian dan berakhir dengan reuni keluarga di Pelita hingga setelah makan malam. Dan seperti biasa, Puang Senna selalau mampu menjawab rasa lapar kami dengan cita rasa masakannya yang “penuh” di mulut.
Sampai di rumah, rasanya memang setimpal jika langsung berbaring dan terlelap. Kuharap maha juga akan melakukan yang sama, tapi tidak. Kelelahan yan beraduk dengan batuk berdahak yang sesekali datang, dilampiaskannyau dengan rengekan dan tangisan. Tapi, itu tidak terlalu lama, obatnya berpengaruh positif dan membuatnya mengantuk. Namun, pengaruh obat itu ternya tidak sampai pagi. Jam 2 subuh, ia bangun dan merengek minta diayun. Jika ayunannya di dalam rumah seperti di Bone, seyogyanya   tidak ada masalah. Tapi, ayunan ini, digantung di depan pintu. Liahatlah! Bagaimana caranya, aku bisa mengiyakan permintaannya. Ia tidur memang sudah tidak memakai baju, badannya hanya dilapisi secarik bedong*, lalu ia minta diayun jam 2 subuh, dan dinginnya tidak kepalang. Kubiarkan ia menangis sejadi-jadinya. Cape’ menangis, ia meminta tidur dengan Mama’nya (panggilan untuk sang nenek), yang kebetulan malam itu tidur di rumah sebelah. Hampir jam 3 di subuh hari dengan mata yang dirajai kantuk, dengan lelah yang menyelimuti badan, aku mengetuk pintu  rumah K Heri. Mama terbangun dan langsung menggendong cucunya. Lama...dan maha terlelap...
Ceritanya tidak berakhir sampai di situ, pagi setelah terbangun. Perasaannya masih tidak bagus. Rengekan, tangisan mengawali pagiku yang masih merindukan tidur. Lalu, ia minta susu.
“Bu cucu...”katanya. aku megambil dot, lalu memasukkan air di dalamnya. Ia teriak sambil menangis
“jangan...jangan...nda mau pake air” katanya. Aku mulai heran, apalagi yang diinginkan anakku ini?
“jadi, pake apa?” tanyaku. Aku ambil susunya, pikirku mungkin ia akan makan susu, seperti yang sering ia lakukan. Tapi, teriakannya terdengar lagi
“nda.....nda...nda... nada mau pake iitu?” aku mengerutkan kening. Aku berbalik padanya, dan mencoba mengajaknya bicara seperti biasa saat ia sedang marah
“mau apa maha?” tanyaku dengan suara pelan
“mau minum cucu...” katanya terisak
“trus? Kl buat susu pake air to?” tanyaku
“nda...nda mau pke air! Tegasnya sambi menatapku dengan mata yang digenangi air mata.
“o...maha mau simpan susunya di piring, baru di makan?” tanyaku lagi”
Ndaaaaaaaaaaaaa. “teriaknya panjang
“nda mau pake cucu nda mau pake air” katanya sambil merebut dot di tanganku dan melamparkannya. Aku menahan marah. Kucoba membuka –buka kotak memoriku. Apa lagi yang dilakukannya beberapa hari terakhir yang mungkin berhubungan dengan pintanya ini. Kucoba menerka-nerka sembari mendengarkan tangisannya yang semakin memecah pagi. Tapi, tidak juga kutemukan. Aku buntu. Mungkin karena terlalu ngantuk, cape’ dengan amarah yang tertahan. Amarahku lebih karena aku tidak mampu melindunginya dari kondisi yang membuatnya tidak nyaman, hingga mengganggu harinya. Dan, jika seperti ini, telingaku tebal mendengar tangisnya.
“bagaimana caranya na’? mo minum susu tidak pake air..tidak pakai susu...” tanyaku berulang. Ia masih saja menangis. Saat tangisnya reda, kuambil dotnya dan coba membuat susu kembali, tentu dengan air. Tapi, tangisnya malah semakin membahana . Aku kebingungan. Kupanggil mama untuk memecahkan pintanya. Tapi, sama. Kehadiran mama dengan pertanyaan yang sama yang kulontarkan padanya  membuatnya makin naik pitam. Dan...kami membiarkannya menangis, batuknya semakin menjadi, flunya juga bertambah parah. Kucoba untuk terpejam, tapi tidak bisa. Pikirku terganggu dengan pintanya. Hampir sejam. Ia menangis, kelelahan dan akhirnya
“bu...mo bobo ayun...” katanya masih terisak. Sambil menganyunnya di pintu, masih dengan selembar kain bedong tanpa baju dan celana, ia mulai tertidur. Akupun sayup-sayup menyanyikannya lagu pengantar tidur sambil masih terus berpikir, apa sebenarnya yang ia minta. seperti apa minum susu tanpa air dan susu?
Dan ia terlelep. Pagi itu..pintanya untuk minum susu tanpa air dan susu kuharap bisa ia kabulkan di mimpinya. Dan, setelah bangun bahkan setelah meninggalkan makassar, ia tidak lagi mengulang pintanya. Tapi, hingga tulisan ini terbit, aku tidak tahu bagaimana membuat susu tanpa air dan susu, seperti pintanya. Mahatma...mahatma...

*kain untuk bayi yang hingga sekarang selalu bersama maha saat tidur dan minum susu.....

100611
Sembari mengayun 2 jagoan kecil rumah ini

Komentar

Postingan Populer