90’s Night

Motor kembali dimasukkan ke kandangnya. Kami tak jadi mengendari motor menuju tempat berakhir pekan. Tiga mobil yang dibawa kawan ternyata cukup mengangkut kami yang tak seberapa itu. Dan sebelum berangkat menuju tempat tujuan akhir pekan itu, kami berkumpul dan bersama “memarahi” keterlambatan di Bundaran UGM. Lama dan tak pasti!
Mungkin ini kebiasaan anak HI se dunia. Kalau berjanji sering tidak tepat waktu. Dan kalau semuanya sudah berkumpul, inisiatif untuk beranjak pergi sama seperti menunggu negosiasi perdamaian antara Palestina dan Israel. Lama dan berlika-liku!
Semoga ini bukan refleksi lelet nya punggawa negeri ini dalam menjawab banyak hal. Tetep…
Entah pukul berapa dan berapa banyak gorengan kami habiskan selama menunggu di angkringan dekat bundaran UGM, akhirnya kami beranjak juga setelah memastikan semuanya telah sesuai prosedur standar pelaksanaan diplomasi dan negosiasi. Hahaha… Ribet.
Saya bersama tiga teman pria dan tumpukan barang (mulai dari telur yang terus kugenggam seperti tak akan terpisahkan hingga kasur yang teronggok di jok belakang) menggunakan Kijang putih model lama. Dari stiker Jamiroquai yang tertempel di kaca belakang mobil, tentunya bisa kita tebak selera musik si empunya.
Kami tak langsung menuju Kaliurang yang menjadi tujuan kami merayakan dan sekaligus menangisi akhir pekan. Sebelumnya, kami menuju selatan menjemput si Ucok penggila Lazio itu. Membiarkannya menikmati seolah menjadi pangeran. Pangeran Kodok! Hahahaha…
Si Kijang melaju tak terlalu kencang menyusuri utara Jogja yang lumayan hingar namun tak begitu padat. Melewati Ringroad Utara, hawa dingin Kaliurang mulai mencubit. Namun Manifesto Postmodernisme milik Jenny dari gadget kawan di sebelahku lumayan berhasil menghangatkan. Tetap melaju tak begitu kencang. Mulai menanjak dan agak berkelok. Sejenak teringat secuil kisah menyusuri kelokan menuju Malino. Namun tiba-tiba…
Dua mobil teman-teman di depan berhenti. Terlihat mobil sedan milik salah satu teman mengeluarkan asap. Kami berhenti.   Tepat di depan pintu gerbang menuju area wisata dan peristrahatan Kaliurang.
Beberapa teman mulai membantu mengecek apa yang bermasalah dari mobil itu. Saya yang tak mengerti secuil pun tentang urusan ngutak-ngatik alat elektronik apalagi kendaraan, mobil pula, tentu tak bisa berbuat banyak. Akhirnya, yang paling bisa kulakukan yah seperti biasa. Foto-foto. Tepatnya menjadi objek foto. Hobi yang tak bisa kukendalikan.
Setelah usaha macam-macam termasuk mendorong, nah kalau ini saya juga bisa, akhirnya kami bisa melanjutkan perjalanan. Dan tiba di villa yang sudah di booking sebelumnya di saat malam sudah mulai larut.
Villanya lumayan nyaman. Terdiri dari empat kamar dengan perlengkapan tidur yang sangat memadai. Perabotan dapur juga komplit. Semuanya lumayan tersedia sehingga beberapa perlengkapan dan perabotan yang dibawa tak terpakai. Dari halaman depan lampu-lampu kota Jogja di malam hari cukup terlihat indah. Dan mulailah kami mengeja malam yang pasti tak akan terasa panjang.
Setelah beres-beres dan mengeluarkan semua perlengkapan dan perabotan dari bagasi mobil, perapian mulai disiapkan.  Beberapa teman terlihat begitu cakap menyalakan perapian yang akan digunakan meski air mata ikut bercucuran layaknya hendak ditinggalkan sang pujaan hati. Sepertinya, beberapa dari mereka dan saya diantaranya merupakan eks anggota gerakan kepanduan yang di Indonesia berubah jadi semi militer. Setelah bara mulai membara, maka saatnya ritual bakar-membakar dimulai. Membakar apa saja termasuk rasa jengah akibat rutinitas yang serasa tak pernah mau berhenti. Ayo bakar!
Dan menu pertama adalah jagung bakar. Jagung yang tak seberapa itu dikeluarkan dari tempatnya dan beberapa teman mulai membakarnya di atas bara sambil terus mengipas agar panasnya tetap terjaga. Tapi mungkin karena para “pembakar” ini kurang lama jadi penjual jagung bakar jadi hasilnya tidak terlalu maksimal. Atau mungkin karena bahan olesan seperti mentega yang seharusnya tersedia, saat itu tak terbawa. Yah, menu pertama ini tidak terlalu berhasil. However,It’s a  Nice Try Dude!
Nah, ini yang seru. Menu kedua. Mie rebus rasa kayu bakar. Bagaimana pula rasanya itu? Hahaha…
Mungkin karena rasa lapar yang sudah tak tertahankan, maklum jam sudah menunjukkan waktu yang sebenarnya sudah saatnya tidur tapi perut belum juga terisi. Menunggu nasi tertanak lalu makan bersama tentu bukan usul yang lumayan bijak. Maka jadilah usulan memasak mie rebus di atas bara api menjadi usulan paling rasional dan tentunya bijaksana khususnya untuk “kampung tengah” kami.
Satu per satu mie instan di ceburkan ke dalam air yang sebetulnya belum terlalu mendidih. Kibasan kipas tetap terjaga dari beberapa arah oleh beberapa teman seakan tak sabar untuk segera menyantapnya. Setelah menunggu beberapa saat, gelembung air yang masih seadanya mulai terlihat. Dan tak perlu menunggu gelembung selanjutnya disemua wadah wajan, satu per satu teman mulai mengambil bagiannya dengan piring masing-masing. Serta menuangkan menuangkan bumbunya sendiri sesuai selera. Beberapa tak sabar menyantap hingga tak perlu menunggu piring. Mie instan rasa kayu bakar itu langsung disantap di wadahnya, wajan.
Menikmati sajian mie instan beramai-ramai mengingatkanku pada masa-masa di pesantren dulu. Kalau malam itu kami menyantap mie instan diwajan itu berlima, dulu kami bisa menyantap sarapan pagi bisa sampai bersepuluh. Padahal menunya hanya nasi putih dan mairo* dan se gelas besar teh panas. Masa lalu yang indah dan di malam akhir minggu kemarin aku seperti menyaksikan masa lalu itu di depan mataku.
Perut telah terisi. Saatnya merayakan malam bersama-sama. Mencoba melepas penat sambil memandangi langit yang seolah menatap sambil tersenyum melihat tingkah aneh kami yang sebenarnya tak begitu muda lagi untuk kekonyolan-kekonyolan khas anak muda masa kini. Angin gunung berhembus sepoi  dan mulai mengusik. Memaksa beberapa teman segera membaluti tubuh dengan jaket berharap kehangatan menyatu dengan hembusan nafas yang tak henti membahasakan dingin.
Tak lengkap tentunya melewati malam tanpa alunan. Kumulai dengan beberapa lagu yang begitu kuhafal chord gitarnya. Dengan pukulan seadanya, kunyanyikan beberapa lagu-lagu Padi dan Dewa 19. Serak dan tak begitu enak tapi aku selalu bersyukur dengan sedikit yang kubisa itu. Yah, lumayanlah beberapa ikut bernyanyi dan akhirnya kecewa karena beberapa lagu yang mereka request tak bisa kumainkan. Iyalah, entah sejak tahun kapan belajar main gitar, lagu yang bisa kumainkan dengan gitar ya itu-itu saja. Kadang bertambah tapi tidak lama pasti akan kulupa lagi. Kecuali kalian memintaku menyanyikan lagu-lagu aksi zaman mahasiswa dulu, maka akan kumainkan sampai kalian bosan. Itu pun karena chord untuk semua lagu hampir sama. Hahaha…
Seorang teman perempuan pencinta tembang lawas melanjutkankan perayaan kami dengan nomor-nomor lama milik Tommy J. Pisa, seperti Di Batas Kota. Pance Pondaag dengan Demi kau dan Si Buah Hati yang membuatku seperti merasa berada di atas pete-pete* di era 90’an saat sambil menyusuri bilangan Urip Sumoharjo Makassar yang saat itu belum mengenal kosa kata “macet”. Betul-betul nostalgi(l)a. Hahaha…  Ingat lirik ini?
Rembulan di malam hari/ Lelaki diam seribu kata/ hanya memandang/ hatinya luka/ hatinya luka/”
Lagu milik (Alm.) Franky Sahilatua itu kami lantunkan agak terbata-bata. Bukan karena terharu mengingat sang vokalis handal yang baru saja menutup usianya, tapi karena tak satu pun dari kami yang betul-betul menghafal salah satu lagu keren yang dinyanyikan almarhum ini. Lagu ini juga jadi akhir untuk performa si teman perempuan laskar bergitar itu. Bukan apa-apa. Jemarinya sudah mulai tidak indah lagi. Bengkak. Tapi perayaan belum berakhir dan malam masih setia menemani. Dingin merasuk tajam.
Layaknya guess star, si teman berambut kriting berombak (tapi tidak memabukkan…hahaha) dengan dua piercing serupa cincin menghiasi daun telinga yang juga pencinta Jamiroquai dan Benny Likumahua menjadi gitaris berikutnya yang sepertinya juga akan menutup malam dengan skill gitar yang tidak bisa dibilang standar. Dan bagian ini yang paling kunikmati. It’s Men’s Night!
Halaman villa malam itu sekejap seperti menjadi Gang Potlot saat beberapa lagu Slank dari album-album saat band itu masih dengan formasi Kaka, Bimbim, Bongky, Pay dan Indra mulai mengalun manis bertautan dengan hembusan angin. Formasi terbaik dan tak akan tergantikan menurutku. Kalian pasti kenal lagu-lagu ini, Mawar Merah, Foto dalam Dompetku, Bali Bagus, Terbunuh Sepi, HAMburger, Terlalu manis. Deretan lagu-lagu itu kami nyanyikan perlahan dan silih berganti dan beberapa dengan agak terburu-buru karena tidak semua lagu kami hafal dengan baik. Dan saya yang paling semangat. Meski agak kecewa karena sang gitaris tak terlalu ingat lagu favoritku, Tepi Campuhan. Tapi tak apa. Aku puas telah diantar ke masa lalu dimana pertama kali kukenal akrab band ini. Di sebuah kamar yang tak terlalu bersih  saat masih mondok empat belas tahun yang lalu. Slank Unplugged Session diakhiri dengan Kamu Harus Pulang yang seolah mengajak kami segera bercengkrama dengan kasur karena udara yang semakin tak bersahabat. Tapi tidak, kami masih ingin merayakannya. Dan, Surti Tejo mengalun. Nakal.
Sesuai request dari yang lain, berikutnya adalah lagu-lagu kepunyaan band rock asal Cimahi, Jawa Barat. Jamrud. Band yang tak begitu kusuka lagi setelah si suara serak Krisyanto tak lagi menjadi vokalisnya. Tapi lagu-lagu lamanya yang usil dan nyeleneh masih begitu membekas. Nomor-nomor seperti Dokter Suster, Asal British, Selamat Ulang Tahun, Pelangi Di Matamu, Maaf, Terima Kasih kami nyanyikan bersama dan tentu saja diselingi gelak tawa yang memecah keheningan malam saat lirik-lirik aneh terdengar. Dan yang paling kutunggu mungkin juga yang lain. Jauh. Lagu yang punya cerita sedniri di masa lalu. Hahahaha… Tebak selanjutnya!
Nirwana, Damai Saja, Oo..Oo..Oo, Terbang, Andai. Hmm, GIGI. Band yang selalu membuatku dan kini kuharap jagoan kecilku kelak menjadi bassist kalau melihat atraksi si Thomas dengan bass nya. Damainya cinta untukmu/ yang tak akan mungkin hilang semua/ lembutnya cinta untukku/ kan kupeluk selamanya. Uh, berat dan menghujam tepat di bagian yang paling vital. Hati.
Lanjut…iyalah. Kami sudah terlanjur berjanji untuk wujudkan semua mimpi yang selalu menggoda. Ya, selalu menggoda. Seperti kata GIGI dalam Janji.
Dan siapa yang tak terkapar saat intro Just Take My Heart mulai mencabik-cabikmu. Apalagi saat Eric Martin mulai menggumam dan “It's late at night and neither one of us is sleeping” merasuk pelan. It’s Mr. Big’s session. Band yang mengingatkanku pada seorang kawan di S1 dulu. Saban hari kami mengadakan kegiatan di luar kampus selalu saja ia menyanyikan lagu-lagu Mr. Big. Goin Where The Wind Blow, To Be With You dan beberapa yang lain. Sama seperti kami di penghujung malam yang sebentar lagi bersembunyi itu. Tapi kami tetap ingin bersama. Seperti janji kami, I'm the one who wants to be with you/ Deep inside I hope you feel it too/ Waited on a line of greens and blues/Just to be the next to be with you.
Tapi umur tak bisa menipu, mata begitu berat dan gontai. Seusai  photo session dengan pilihan gaya aneh dan melelahkan, akhirnya kami terlelap dan berharap bermimpi bertemu Paul Gilbert dan meminta penjelasan mengapa stelan gitarnya harus naik setengah not untuk lagu tertentu.Hahaha…

The 90’s Night. Keren. Tak salah kami memuja masa itu.

Terlalu manis untuk dilupakan.

13 Juni ‘11
Bantaran X Code
Saat si kompie mulai lagi bisa tertawa…

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer